Duck Syndrome: Kondisi Seseorang Tampak Tenang, Tapi Sebenarnya Tak Baik-baik Saja

Duck syndrome adalah kondisi psikologis di mana seseorang terlihat tenang dan bahagia di permukaan, tetapi sebenarnya sedang berjuang dengan banyak tekanan dan masalah di dalam dirinya.

oleh Ricka Milla Suatin diperbarui 02 Sep 2024, 16:48 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2024, 16:48 WIB
perempuan tenang
Perempuan tenang sedang menikmati kesendiriannya/copyright unsplash.com/Bach Tran

Liputan6.com, Jakarta Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang tampak baik-baik saja di luar, tetapi sebenarnya hatinya sedang gelisah karena harus menghadapi berbagai tekanan atau masalah? Ternyata, kondisi ini memiliki istilah khusus. Istilah tersebut adalah duck syndrome.

Duck syndrome adalah kondisi psikologis di mana seseorang terlihat tenang dan bahagia di permukaan, tetapi sebenarnya sedang berjuang dengan banyak tekanan dan masalah di dalam dirinya. Istilah ini pertama kali diperkenalkan di Stanford University untuk menggambarkan pengalaman mahasiswa yang merasa harus memenuhi ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar.

Duck syndrome sering dialami oleh remaja dan orang dewasa muda, terutama di lingkungan yang kompetitif seperti universitas atau tempat kerja. Memahami ciri-ciri, penyebab, dampak, hingga cara mengatasinya menjadi hal penting agar orang dengan duck syndrome dan orang-orang di sekitarnya dapat memberikan dukungan yang diperlukan untuk mengatasi tekanan yang dihadapi.

Ciri-ciri duck syndrome

Mengenal Duck Syndrome, Kondisi Seseorang yang Tampak Tenang Tapi Aslinya Lagi Tak Baik-Baik Saja
Kredit gambar oleh Pexels.com/Ketut Subiyanto

1. Wajah tenang, hati gelisah

Orang yang mengalami duck syndrome sering kali menampilkan wajah yang tenang dan bahagia di depan orang lain. Mereka mungkin tersenyum, berinteraksi dengan baik, dan menunjukkan sikap positif, meskipun di dalam hati mereka sedang bergulat dengan kecemasan dan tekanan.

2. Menyembunyikan masalah

Individu dengan duck syndrome cenderung menutupi masalah yang mereka hadapi dari orang lain. Meski sedang mengalami stres, mereka berusaha keras untuk tidak menunjukkan tanda-tanda kesulitan, sehingga orang lain tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

3. Tekanan untuk berprestasi

Banyak orang dengan duck syndrome merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar, seperti keluarga, teman, atau institusi pendidikan. Mereka merasa harus selalu tampil baik dan sukses, yang sering kali menjadi beban berat.

4. Kecemasan dan stres yang tersembunyi

Walaupun tampak baik-baik saja, mereka sering kali mengalami kecemasan yang mendalam dan stres yang tidak terlihat. Ini bisa berkaitan dengan tuntutan akademik, pekerjaan, atau kehidupan sosial yang membuat mereka merasa tertekan.

5. Kesulitan mengelola emosi

Orang dengan duck syndrome mungkin mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya. Mereka bisa merasa terjebak antara keinginan untuk menunjukkan kekuatan dan kenyataan bahwa mereka merasa lemah atau tidak mampu.

6. Perasaan terasing

Meski dikelilingi oleh orang-orang, mereka sering merasa terasing karena tidak dapat berbagi perasaan dan masalah yang sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan rasa kesepian dan isolasi.

7. Dampak pada kesehatan mental

Jika tidak ditangani, duck syndrome dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti depresi dan gangguan kecemasan. Tekanan yang terus-menerus untuk tampil baik dapat menguras energi mental dan emosional.

Penyebab duck syndrome

Ilustrasi penyakit mental (pexels)
Ilustrasi penyakit mental (pexels)

1. Ekspektasi tinggi dari lingkungan

Banyak individu yang mengalami sindrom bebek merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi tinggi dari orang tua, teman, atau institusi pendidikan. Tuntutan untuk meraih nilai bagus, mencapai prestasi akademik, atau tampil sempurna dalam berbagai aspek kehidupan dapat menciptakan tekanan besar. Hal ini sering kali membuat mereka merasa perlu menyembunyikan kesulitan yang dihadapi agar tidak mengecewakan orang lain.

2. Pola asuh yang terlalu protektif

Pola asuh helikopter, di mana orang tua selalu mengawasi dan mengontrol setiap aspek kehidupan anak, dapat berkontribusi pada perkembangan sindrom bebek. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan seperti ini sering kali merasa takut untuk gagal dan merasa bahwa mereka harus selalu tampil baik untuk mendapatkan pengakuan dan kasih sayang.

3. Persepsi diri yang rendah

Orang dengan sindrom bebek sering kali memiliki harga diri yang rendah. Mereka mungkin merasa tidak cukup baik dan berusaha keras untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh orang lain. Ketidakmampuan untuk menerima kekurangan atau kegagalan dapat membuat mereka merasa terjebak dalam siklus berpura-pura bahagia.

4. Pengaruh media sosial

Di era digital saat ini, media sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi diri. Melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna di platform media sosial dapat membuat individu merasa tidak puas dengan diri mereka sendiri. Mereka mungkin merasa perlu untuk menunjukkan citra yang ideal, meskipun di balik layar mereka mengalami kesulitan.

5. Peristiwa traumatik

Pengalaman traumatik, baik di masa lalu maupun saat ini, dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Orang yang mengalami trauma mungkin merasa perlu untuk menyembunyikan rasa sakit dan kesedihan mereka, sehingga mereka berusaha untuk tampil baik di depan orang lain.

6. Kecenderungan untuk perfeksionisme

Sifat perfeksionis dapat menjadi penyebab utama sindrom bebek. Orang yang memiliki kecenderungan ini sering kali menetapkan standar yang sangat tinggi untuk diri mereka sendiri dan merasa tidak puas jika tidak dapat mencapainya. Hal ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan yang mendalam.

7. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi

Banyak orang dengan sindrom bebek kesulitan dalam mengelola emosi mereka. Mereka mungkin merasa terjebak antara keinginan untuk menunjukkan kekuatan dan kenyataan bahwa mereka merasa lemah. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan perasaan ini dapat menyebabkan akumulasi stres dan tekanan.

Cara mengatasi duck syndrome

Melakukan terapi
Melakukan terapi sebagai pengobatan retardasi mental. (Foto: Freepik)

1. Mencari bantuan profesional

Salah satu cara paling efektif adalah dengan berkonsultasi kepada psikolog atau terapis. Psikoterapi atau terapi bicara dapat membantu mereka yang mengalami duck syndrome untuk memahami dan mengatasi emosi mereka. Terapis dapat memberikan dukungan serta strategi untuk mengelola stres dan kecemasan yang mungkin dirasakan.

2. Mengubah pola pikir

Mengubah pola pikir yang mungkin berkontribusi pada duck syndrome sangat penting. Ini termasuk mengurangi ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri sendiri dan belajar menerima bahwa tidak ada yang sempurna. Menerima kekurangan dan kegagalan sebagai bagian dari kehidupan dapat membantu mengurangi tekanan yang dirasakan.

3. Mencari dukungan

Membangun hubungan yang kuat dengan teman dan keluarga dapat memberikan dukungan emosional yang sangat dibutuhkan. Berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang-orang terdekat dapat membantu mengurangi rasa kesepian dan memberikan perspektif yang lebih positif.

4. Menerapkan mindfulness dan relaksasi

Teknik mindfulness, seperti meditasi dan pernapasan dalam, dapat membantu mereka yang mengalami duck syndrome menjadi lebih sadar akan perasaan mereka dan mengurangi stres. Meluangkan waktu untuk relaksasi dan refleksi diri juga penting untuk menjaga keseimbangan emosional.

5. Menetapkan tujuan yang realistis

Mengatur tujuan yang realistis dan dapat dicapai dapat membantu mengurangi tekanan. Menggunakan pendekatan SMART (Spesifik, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) dalam menetapkan tujuan dapat membantu mereka yang mengalami duck syndrome merasa lebih terarah dan mengurangi rasa gagal.

6. Hindari membandingkan diri dengan orang lain

Menghindari membandingkan diri dengan orang lain, terutama di media sosial, dapat membantu mengurangi perasaan tidak cukup baik. Setiap orang memiliki perjalanan dan tantangan masing-masing, dan penting untuk fokus pada kemajuan pribadi.

7. Menerapkan gaya hidup sehat

Menjaga kesehatan fisik melalui pola makan yang baik, olahraga teratur, dan tidur yang cukup dapat berkontribusi pada kesehatan mental yang lebih baik. Kesehatan fisik dan mental saling terkait, sehingga menjaga tubuh tetap sehat dapat membantu mengatasi stres dan kecemasan.

8. Mendokumentasikan perasaan

Menulis jurnal tentang perasaan dan pengalaman sehari-hari dapat membantu mereka yang mengalami duck syndrome memproses emosi mereka. Ini juga dapat menjadi cara untuk mengidentifikasi pola pikir negatif dan menggantinya dengan yang lebih positif.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya