Liputan6.com, Jakarta Zikir merupakan salah satu ibadah sunah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan pentingnya amalan ini bagi umat-Nya, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوا اللّٰهَ ذِكْرًا كَثِيْرًاۙ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (Al Ahzab/33:41).
Advertisement
Baca Juga
Dalam praktiknya, salah satu alat yang banyak digunakan untuk membantu dalam berzikir adalah tasbih. Meskipun tasbih dikenal luas di kalangan umat Islam, penggunaannya dalam tradisi ini tidak berasal dari praktik Nabi dan para sahabat. Mereka lebih sering menggunakan jari-jari mereka untuk menghitung zikir, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
"Hitunglah dengan jari-jemari, karena kelak mereka ditanya dan diminta berbicara." (HR Abu Dawud).
Tasbih dikenal di Timur Tengah dengan nama subhah dan dalam bahasa Sanskerta kuno disebut jibmala, telah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun tasbih tidak digunakan oleh Nabi dan sahabat, manik-manik ini telah menjadi simbol bagi umat Islam dalam menjalankan zikir. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sejarah penggunaan tasbih dalam islam yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (24/9/2024).
Cara Rasulullah SAW Berzikir
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan bagi umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan zikir. Dalam menghitung zikir seperti "Subhanallah", "Alhamdulillah", dan "Allahu Akbar", beliau memiliki cara yang spesifik dan sederhana.
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid menjelaskan bahwa Rasulullah SAW menghitung zikir menggunakan jari tangannya, bukan dengan alat atau cara lain. Para sahabat dan generasi setelahnya mengikuti jejak Rasulullah dalam praktik ini, menjadikannya tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.
Syaikh Athiyah Muhammad Salim, seorang guru di Masjid Nabawi, merinci cara menghitung zikir dengan menggunakan tangan kanan. Setiap jari memiliki tiga ruas, yang dapat dimanfaatkan untuk menghitung setiap tasbih, tahmid, dan takbir. Dengan demikian, setiap ruas jari dapat dihitung sebagai satu unit zikir. Jika setiap ruas digunakan untuk satu zikir, dihitung dari lima jari, totalnya akan mencapai tiga puluh tiga zikir jika diulang. Ini sesuai dengan praktik yang dicontohkan oleh Rasulullah dan diingatkan melalui hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar.
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.
Artinya:Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha. [HR Bukhari dan Muslim].
Syaikh Athiyah juga menekankan bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai penggunaan ruas jari dalam menghitung zikir. Namun, yang jelas, Rasulullah SAW menggunakan jari tangannya sebagai alat untuk menghitung zikir, seperti yang disaksikan oleh Abdullah bin Umar.
Advertisement
Perjalanan Tasbih Manik sebagai Alat Bantu Hitung Zikir
Tasbih, yang kita kenal sebagai alat bantu menghitung zikir dalam praktik ibadah umat Islam, memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Dari akar yang berawal dalam tradisi berbagai agama hingga peran pentingnya dalam ibadah Muslim, tasbih telah mengalami banyak transformasi.
Menurut Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, tasbih telah ada sejak zaman prasejarah dan digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan, termasuk agama Buddha dan Hindu. Orang-orang Buddha menggunakan tasbih sebagai sarana untuk menyelaraskan ucapan dan perbuatan saat berdoa, sementara para pendeta Hindu juga menerapkannya dalam ritual keagamaan mereka. Seiring waktu, penggunaan tasbih menyebar ke kalangan Kristen dan pengikut agama lainnya. Tasbih kemudian memasuki dunia Islam pada abad kedua Hijriah, saat kaum Muslim mulai mengenal penggunaannya.
Pada awalnya, umat Islam tidak menggunakan tasbih dalam menghitung zikir. Mereka lebih memilih menghitung zikir dengan jari, batu kerikil, atau biji kurma. Sahabat-sahabat Rasulullah seperti Abu Hurairah dan Sa'ad bin Abu Waqqash sering kali menggunakan kerikil untuk menghitung jumlah zikir mereka. Ini menunjukkan bahwa, sebelum adanya tasbih, cara menghitung zikir lebih bersifat alami dan sederhana.
Tasbih baru mulai diperkenalkan kepada umat Islam secara luas pada abad ketiga Hijriah, terutama di kalangan sufi. Sufi Abul Qasim bin al-Junaid merupakan salah satu tokoh yang pertama kali terlihat menggunakan tasbih, meskipun pada awalnya ada protes dari kalangan tertentu. Ia menjelaskan bahwa tasbih adalah alat yang membantunya dalam beribadah. Dari sinilah muncul penerimaan yang lebih luas terhadap tasbih sebagai bagian dari praktik ibadah.
Perdagangan manik-manik juga berkontribusi dalam penyebaran tasbih. Pada abad ke-7 hingga ke-12 Masehi, manik-manik yang digunakan untuk tasbih diperdagangkan di berbagai pusat perdagangan seperti Nishapur, Siraf, dan Fustat. Variasi bentuk dan bahan manik-manik menunjukkan penggunaan mereka yang beragam, termasuk tasbih yang terdiri dari 33 atau 99 butir manik-manik yang sering kali memiliki tulisan nama-nama Allah.
Kontroversi dan Penerimaan
Meski tasbih kini umum digunakan, awalnya ada penolakan dari sebagian kalangan. Sahabat Nabi seperti Abdullah bin Mas'ud dan Aisyah pernah mengingkari praktik penggunaan biji atau kerikil untuk menghitung zikir. Mereka berpendapat bahwa menghitung dengan jari adalah cara yang lebih tepat dan sesuai dengan ajaran Islam. Namun, seiring waktu, kelompok sufi dan pengikut tarekat menjadikan tasbih sebagai bagian integral dari ritual ibadah mereka.
Salah satu alasan utama penggunaan tasbih adalah untuk membantu dalam menghitung zikir yang banyak. Bagi mereka yang sering melakukan zikir, menghitung dengan jari dapat menjadi sulit dan memicu kebingungan. Oleh karena itu, tasbih dianggap sebagai solusi yang memudahkan, memungkinkan individu untuk tetap fokus dalam beribadah tanpa terganggu oleh penghitungan.
Ulama, seperti Syaikh Bakr Abu Dzaid, berpendapat bahwa tidak ada satu pun hadits sahih yang membolehkan penggunaan alat lain selain jari tangan untuk menghitung zikir. Meskipun demikian, terdapat beberapa hadits yang sering digunakan sebagai dalil untuk mendukung penggunaan tasbih.
Hadits Shafiyah binti Hayyi
عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ سَعِيدٍ الْكُوفِيِّ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
Artinya: Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian korma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. (Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu).
Hadits Sa’ad bin Abi Waqqash
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ.
Artinya: Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.
Hadits Abu Hurairah
كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى
Artinya: Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
Advertisement