Liputan6.com, Jakarta THR adalah akronim dari Tunjangan Hari Raya yang menjadi salah satu hal yang sangat dinanti oleh pekerja menjelang hari raya keagamaan. THR, yang merupakan tambahan penghasilan khusus yang diberikan oleh pemberi kerja, sudah dikenal di Indonesia lebih dari 70 tahun.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Tradisi pemberian THR ini memiliki makna yang sangat penting, tidak hanya sebagai bentuk penghargaan atas kinerja pekerja selama setahun, tetapi juga sebagai salah satu cara untuk meningkatkan daya beli dan kesejahteraan pekerja menjelang perayaan hari raya.
Selama bertahun-tahun, pemberian THR telah menjadi tradisi yang bertahan lama di Indonesia, mencerminkan hubungan harmonis antara pemberi kerja dan pekerja. Sebagai gaji tambahan, THR berfungsi untuk membantu pekerja dalam memenuhi kebutuhan saat merayakan hari raya, seperti membeli kebutuhan pangan, pakaian baru, dan lain-lain. THR juga menjadi simbol kebahagiaan bersama dalam keluarga besar perusahaan atau tempat bekerja, serta mendorong semangat kerja yang lebih tinggi.
Pemberian THR kini diatur dengan jelas dalam peraturan pemerintah, seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2024. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi pekerja terkait hak mereka untuk menerima tunjangan hari raya. Dengan adanya peraturan ini, pemberian THR tidak hanya menjadi tradisi, tetapi juga hak yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja demi kesejahteraan karyawan, terutama menjelang hari raya yang penuh berkah. Lantas apa makna dari THR? Dan bagaimana sejarahnya di Indonesia?
Berikut ini Liputan6.com ulas mengenai pengertian THR, beserta makna, sejarah, dan tradisinya di Indonesia yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Sabtu (11/1/2024).
Makna THR
THR adalah akronim dari Tunjangan Hari Raya. THR adalah pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan pemberi kerja kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan di Indonesia. THR ini wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya Idul Fitri.
Dikutip dari buku yang berjudul Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015) karya Jafar Suryomenggolo. menyebutkan bahwa THR awalnya merupakan upaya pemerintah untuk meredam militansi gerakan buruh. Upaya ini dilakukan dengan mengakui THR sebagai hak ekonomi buruh.
Meskipun secara resmi THR dikenal sebagai hak atau gaji ke-13 bagi pekerja, makna pemberian THR semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Banyak pihak yang kini memahami bahwa THR tidak sekadar sebagai tambahan penghasilan, melainkan sebagai bentuk apresiasi dari pemberi kerja kepada karyawan atas kontribusi yang telah diberikan sepanjang tahun. Ini mencerminkan penghargaan yang lebih dalam terhadap dedikasi dan kerja keras para pekerja.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemberian THR juga memiliki peran penting dalam memotivasi pekerja. Memberikan THR dapat dianggap sebagai hadiah yang tidak hanya mendukung kesejahteraan finansial pekerja, tetapi juga memberikan dorongan psikologis untuk bekerja lebih baik di masa mendatang. THR menjadi simbol penghargaan atas kinerja yang baik, serta mendorong peningkatan produktivitas dalam jangka panjang.
Lebih dari itu, THR memberi kesempatan bagi pekerja untuk mempersiapkan diri menyambut hari raya dengan lebih baik. Dengan tambahan penghasilan menjelang perayaan, pekerja dapat merencanakan berbagai kebutuhan, seperti membeli pakaian baru, makanan, atau memberikan hadiah kepada keluarga. Dalam konteks ini, pemberian THR bukan hanya soal finansial, tetapi juga tentang menciptakan kebahagiaan dan persiapan merayakan momen penting bersama orang tercinta.
Advertisement
Sejarah Tradisi THR di Indonesia
Menurut Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), istilah Tunjangan Hari Raya (THR) pertama kali dikenal di Indonesia pada era 1950-an. Istilah ini diperkenalkan pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo, yang menjabat dari 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
Pada masa itu, Indonesia baru saja menyelesaikan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) dan berubah menjadi negara serikat yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS). Kondisi ini membuat pemerintah berfokus pada pembangunan dan stabilisasi ekonomi, salah satunya melalui kebijakan kesejahteraan bagi pegawai negeri.
Salah satu program kerja yang dijalankan oleh Kabinet Sukiman adalah meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Program ini diwujudkan dengan pemberian tunjangan khusus bagi para pegawai negeri menjelang hari raya.
Tunjangan ini diberikan untuk membantu para pegawai negeri dalam mempersiapkan perayaan hari raya. Tunjangan tersebut awalnya dikenal dengan sebutan "Hadiah Lebaran," sebuah bentuk penghargaan pemerintah kepada pegawai negeri yang telah memberikan kontribusi dalam menjalankan roda pemerintahan negara.
Pada tahun-tahun berikutnya, tunjangan ini dikenal lebih luas sebagai THR, meskipun masih terbatas hanya untuk pegawai negeri. Menurut catatan, besaran THR pertama kali untuk pegawai negeri adalah sekitar Rp200, yang setara dengan 17,5 dolar AS pada masa itu.
Jika dikonversikan ke nilai rupiah saat ini, THR pertama itu setara dengan sekitar Rp1,1 juta hingga Rp1,75 juta. Meskipun nilainya tergolong kecil, tunjangan ini tetap dianggap sebagai bentuk apresiasi yang sangat berarti bagi pegawai negeri pada waktu itu, terutama di tengah kondisi perekonomian negara yang relatif stabil.
Namun, meskipun pemberian THR telah dilakukan untuk pegawai negeri, muncul ketimpangan yang dirasakan oleh para pekerja swasta. Mereka yang juga turut berperan dalam membangkitkan perekonomian Indonesia merasa tidak mendapatkan hak yang setara dengan pegawai negeri.
Hal ini menyebabkan munculnya protes dan tuntutan dari serikat buruh agar para pekerja swasta juga diberi hak yang sama untuk memperoleh THR. Protes ini semakin menguat hingga akhirnya menyebabkan terjadinya aksi mogok kerja pada 13 Februari 1952. Para buruh mendesak pemerintah untuk memberikan tunjangan yang serupa dengan pegawai negeri.
Gelombang protes ini akhirnya berhasil meredam perhatian pemerintah, yang kemudian meminta perusahaan-perusahaan untuk memberikan THR kepada pekerja mereka. Meskipun begitu, penetapan peraturan resmi terkait THR baru bisa dilakukan beberapa tahun setelahnya, bahkan setelah terjadi pergantian kabinet. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada tuntutan dari serikat buruh, peraturan yang mengatur pemberian THR memerlukan waktu untuk dirumuskan dan disahkan oleh pemerintah.
Setelah pergantian kabinet, kebijakan mengenai THR terus berkembang, dan peraturan resmi baru muncul pada masa Orde Baru. Pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 yang mengatur tentang THR Keagamaan bagi pekerja.
Peraturan ini secara resmi menjadikan THR sebagai hak yang wajib diberikan kepada seluruh pekerja di perusahaan, bukan hanya terbatas pada pegawai negeri saja. Dengan adanya peraturan ini, THR menjadi salah satu hak pekerja yang dijamin oleh negara, dan perusahaan wajib memberikannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya, peraturan mengenai THR semakin disempurnakan seiring berjalannya waktu, terutama dengan terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU ini, ditetapkan bahwa setiap pekerja yang telah bekerja lebih dari 3 bulan berhak menerima THR. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memastikan hak-hak pekerja dihormati dan dipenuhi oleh pemberi kerja, sekaligus menjamin kesejahteraan pekerja menjelang hari raya.
Pada tahun 2016, pemerintah kembali menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2016. Dalam peraturan ini, diatur bahwa pemberian THR harus dilakukan selambat-lambatnya 7 hari sebelum hari raya keagamaan.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pekerja memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menyambut perayaan hari raya dengan baik. Ketentuan ini juga menunjukkan adanya perbaikan dan penegasan yang semakin mendetail mengenai pemberian THR, yang kini menjadi hak yang harus dipenuhi oleh semua pemberi kerja di Indonesia, baik di sektor pemerintah maupun swasta.
Apakah Tradisi THR Cuma Ada di Indonesia
Tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) tidak hanya ada di Indonesia, meskipun di Indonesia THR merupakan bagian yang sangat melekat dalam budaya ketenagakerjaan, terutama menjelang hari raya keagamaan seperti Idul Fitri. Di negara-negara lain yang juga merayakan hari raya keagamaan, ada beberapa bentuk tunjangan atau bonus yang diberikan kepada pekerja, meskipun mungkin tidak disebut dengan nama yang sama atau tidak memiliki mekanisme yang serupa.
Di beberapa negara lain, seperti di Timur Tengah dan beberapa negara Asia, pemberian bonus atau tunjangan kepada pekerja menjelang hari raya juga umum terjadi. Misalnya, di negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, banyak perusahaan yang memberikan bonus atau hadiah kepada karyawan menjelang Idul Fitri atau Idul Adha sebagai bentuk apresiasi dan untuk membantu karyawan dalam mempersiapkan perayaan. Namun, sistem dan regulasi terkait pemberian tunjangan ini tidak selalu seformal di Indonesia.
Meskipun demikian, konsep pemberian tunjangan khusus untuk hari raya yang diatur secara hukum seperti di Indonesia, di mana THR menjadi hak pekerja yang wajib diberikan, adalah sesuatu yang relatif unik dan lebih terstruktur di Indonesia. Pemberian THR di Indonesia diatur oleh peraturan pemerintah, yang mewajibkan pemberi kerja memberikan THR kepada pekerja yang memenuhi kriteria tertentu, yang belum tentu berlaku di negara-negara lain dengan ketentuan serupa.
Advertisement