Liputan6.com, Jakarta Pernahkah kamu mendengar istilah "toxic masculinity"? Istilah ini semakin sering muncul dalam berbagai diskusi, terutama ketika membahas bagaimana norma-norma maskulinitas memengaruhi perilaku laki-laki dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar.
Baca Juga
Advertisement
Dalam banyak budaya, terutama patriarki, laki-laki sering kali diharapkan untuk tampil kuat, tidak menunjukkan emosi, dan mendominasi. Ini merupakan sebuah standar yang bisa menjadi beban besar bagi mereka sendiri maupun orang-orang di sekitarnya.
Toxic masculinity tidak hanya membatasi ekspresi diri laki-laki, tetapi juga berdampak negatif pada hubungan sosial, peran gender, dan kesejahteraan mental. Maskulinitas bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi ketika diterapkan secara kaku dan ekstrem, dampaknya bisa merugikan semua gender.
Berikut penjelasan tentang apa itu toxic masculinity, bentuk, penyebab, dampak, dan cara menghadapinya, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Sabtu (23/3/2025).
Apa Itu Toxic Masculinity?
Toxic masculinity merujuk pada serangkaian kepercayaan, kecenderungan, dan perilaku yang berbahaya dan merugikan, berakar pada peran tradisional laki-laki tetapi dibawa ke tingkat ekstrem. Ini bukan berarti maskulinitas itu sendiri buruk, melainkan perilaku dan cara berpikir tertentu yang diasosiasikan dengan maskulinitas yang menjadi bermasalah.
Konsep ini menekankan dominas dan agresi, serta berdampak buruk pada kesehatan mental semua jenis kelamin dan memiliki konsekuensi sosial yang serius. Banyak definisi toxic masculinity muncul dalam penelitian dan budaya populer. Pada intinya, toxic masculinity adalah kepatuhan pada standar sosial yang membatasi dan berpotensi berbahaya yang ditetapkan untuk laki-laki.
Penting untuk diingat bahwa maskulinitas itu sendiri bukanlah sesuatu yang buruk atau beracun. Yang bermasalah adalah interpretasi dan penerapan norma-norma maskulinitas yang ekstrem dan merugikan.
Advertisement
Asal Usul Istilah Toxic Masculinity
Melansir Medical News Today, istilah "toxic masculinity" berakar pada gerakan kaum pria mythopoetic di tahun 1980-an. Gerakan ini, yang didirikan oleh pria untuk pria, bertujuan untuk memberikan pria wadah untuk mengekspresikan 'kejantanan' mereka. Beberapa kelompok pria merasa mereka tidak lagi mampu mengekspresikan perilaku tradisional laki-laki atau maskulin dalam masyarakat modern yang menganggap sifat-sifat tersebut merusak.
Anggota gerakan tersebut percaya bahwa jika mereka tidak mampu bertindak berdasarkan karakteristik laki-laki ini, pada akhirnya akan memanifestasikan diri sebagai chauvinisme atau agresi terhadap perempuan. Konsep toxic masculinity versi awal ini, sebagaimana didefinisikan oleh gerakan pria mythopoetic, segera mendapat tantangan, terutama karena masih menyiratkan bahwa maskulinitas memiliki satu bentuk murni, yang kenyataannya tidak demikian.
Contoh Toxic Masculinity
Berikut beberapa contoh toxic masculinity dalam kehidupan sehari-hari:
- Seorang anak laki-laki di sekolah yang tidak bertindak sesuai dengan cara maskulin tradisional, dan dia diintimidasi oleh anak laki-laki di kelasnya karena 'terlalu feminin'.
- Seorang anak laki-laki menangis dan ayahnya menyuruhnya untuk 'bertahan' atau bahwa 'laki-laki tidak menangis'.
- Seorang pria memanggil perempuan 'jalang' atau 'pelacur' karena berhubungan seks di luar hubungan monogami.
- Seorang pria memberi tahu pasangannya apa yang boleh dan tidak boleh mereka kenakan, dan dengan siapa mereka boleh dan tidak boleh menghabiskan waktu..
- Seorang pria takut untuk menjadi rentan secara emosional dengan pasangannya karena takut terlihat 'lemah'.
- Seorang pria yang berjuang dengan kesehatan mentalnya tidak ingin menemui terapis karena dia harus 'bertahan' atau 'melewatinya'.
Advertisement
Ciri-ciri Toxic Masculinity
Ciri-ciri toxic masculinity meliputi:
- Ketahanan fisik tanpa syarat
- Menunjukkan agresi fisik
- Tidak mau berbagi emosi
- Menunjukkan diskriminasi terhadap orang yang bukan heteroseksual
- Mempraktikkan hiper-kemandirian
- Menunjukkan agresi atau kekerasan seksual
- Menunjukkan perilaku anti-feminis
- Membela heteroseksualitas sebagai norma yang tidak dapat diubah
- Kekerasan
- Dominan
- Ketidakpekaan emosional
Penyebab Toxic Masculinity
Melansir Healthline, sulit untuk menentukan satu penyebab toxic masculinity, sebagian besar karena konsep maskulinitas bervariasi di berbagai budaya, agama, dan kelas. Bahkan dalam satu budaya, agama, atau kelas, cita-cita maskulin dapat bervariasi di berbagai kelompok umur.
Di Amerika Serikat, toxic masculinity sering diperkuat oleh sikap masyarakat. Sebuah survei tahun 2018 oleh Pew Research Center, misalnya, menemukan bahwa responden menganggap perilaku protektif sebagai sifat positif bagi laki-laki. Namun, bersikap penuh kasih sayang atau emosional dipandang sebagai sesuatu yang negatif.
Banyak orang sekarang memandang maskulinitas dan peran gender yang dihasilkannya sebagai kombinasi perilaku yang dibentuk oleh beberapa faktor, termasuk usia, ras, kelas, budaya, seksualitas, dan agama.
Advertisement
Dampak Sosial Toxic Masculinity
Sebagian orang berpendapat bahwa maskulinitas toksik dapat merugikan karena membatasi perkembangan individu serta pemahaman mereka tentang identitas sebagai pria. Hal ini dapat menimbulkan konflik, baik dalam diri seseorang maupun dalam hubungannya dengan orang lain.
Konsep ini disebut konflik peran gender, yang memberikan tekanan pada laki-laki yang tidak memenuhi standar maskulinitas tertentu. Ketika seorang anak laki-laki atau pria dewasa melihat dunia melalui sudut pandang yang terbatas berdasarkan standar maskulinitas yang dilebih-lebihkan, mereka mungkin merasa bahwa mereka hanya bisa diterima jika menyesuaikan diri dengan ekspektasi tersebut.
Toxic masculinity dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti perundungan, masalah disiplin sekolah, tantangan akademis, penjara, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, perilaku berisiko, penyalahgunaan zat, bunuh diri, trauma psikologis, kurangnya persahabatan atau koneksi yang tulus.
Toxic masculinity juga berkontribusi pada budaya perkosaan, kekerasan, dan pengucilan sosial. Ini juga dapat mencegah laki-laki mencari bantuan untuk masalah kesehatan fisik dan mental karena takut terlihat lemah.
Dampak Psikologis Toxic Masculinity
Toxic masculinity dapat memengaruhi kesehatan mental laki-laki yang tidak memenuhi tuntutan ini tetapi merasa tertekan untuk melakukannya. American Psychological Association mencatat bahaya mencoba untuk mematuhi sifat-sifat maskulin yang berlebihan ini. Laki-laki dan anak laki-laki yang dipaksa untuk berpegang pada sifat-sifat ini sering mengalami efek buruk dan mungkin menghadapi masalah seperti depresi, masalah citra tubuh, fungsi sosial yang buruk, penyalahgunaan zat, dan stres.
Karena merasa emosional atau berbicara secara terbuka tentang perasaan bertentangan dengan nilai-nilai maskulin tradisional ini, ada risiko tambahan bahwa laki-laki yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin tidak mencari perawatan profesional atau bahkan membicarakan kesulitan mereka dengan teman atau keluarga.
Advertisement
Cara Menghadapi Toxic Masculinity
Mengubah toxic masculinity tidak akan terjadi dalam semalam. Namun, seiring semakin banyak orang mulai mendefinisikan versi maskulinitas mereka sendiri dan memasukkan pengalaman manusia lain dalam definisi tersebut, peran gender akan terus berubah dalam skala yang lebih besar.
Pada tingkat pribadi, cukup sederhana bagi seseorang untuk mendidik diri mereka sendiri tentang sikap mereka terhadap maskulinitas dan menyediakan ruang bagi orang lain untuk membantu mengubah definisi mereka. Mengundang teman untuk berbagi emosi atau perasaan mereka tentang topik tersebut, dan mendiskusikannya secara terbuka tanpa penilaian atau kritik dapat menjadi cara yang baik untuk maju.
Dengan secara sengaja mempertanyakan dan melawan sifat-sifat yang berlebihan, dapat membantu seseorang dan orang-orang di sekitar mereka untuk mendefinisikan kembali maskulinitas dan mengatasi pola pikir yang usang dan berpotensi merusak, seperti yang diciptakan oleh toxic masculinity.
