Liputan6.com, Jakarta Bagi umat Muslim, kewajiban bayar hutang puasa Ramadhan merupakan tanggung jawab penting yang tidak boleh diabaikan. Setiap Muslim yang memiliki hutang puasa karena berbagai alasan yang dibenarkan syariat, seperti sakit, perjalanan jauh, atau bagi wanita karena haid, wajib untuk segera melakukan bayar hutang puasa tersebut. Proses bayar hutang puasa Ramadhan ini dalam istilah fikih dikenal dengan qadha puasa, yaitu mengganti puasa yang tertinggal pada waktu yang memungkinkan di luar bulan Ramadhan.
Memahami tata cara bayar hutang puasa menjadi sangat penting karena menyangkut kesempurnaan ibadah seorang Muslim kepada Allah SWT. Dalam pelaksanaannya, bayar hutang puasa memerlukan niat khusus yang harus dilafazkan sebelum melaksanakan ibadah tersebut. Tanpa niat yang benar, puasa qadha yang dilakukan tidak sah dan tidak menggugurkan kewajiban seseorang untuk membayar hutang puasa Ramadhannya.
Advertisement
Baca Juga
Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang segala hal yang perlu diketahui dalam rangka bayar hutang puasa Ramadhan, mulai dari pengertian, niat, hukum, hingga waktu yang tepat untuk melaksanakannya. Dengan pemahaman yang benar, diharapkan umat Muslim dapat menunaikan kewajiban bayar hutang puasanya dengan sempurna dan diterima oleh Allah SWT sebagai bentuk ketaatan dan keimanan.
Advertisement
Berikut ini penjelasan lengkapnya, yang telah Liputan6.com rangkum pada Selasa (25/3).
Qadha: Mengganti Puasa yang Terlewat
Qadha secara harfiah berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti menunaikan atau memutuskan. Namun dalam istilah fikih, qadha berarti mengganti, yaitu mengganti ibadah yang ditinggalkan pada waktunya karena adanya udzur (alasan) yang dibenarkan syariat. Dalam konteks puasa Ramadhan, qadha puasa berarti mengganti puasa yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan atau dengan kata lain membayar hutang puasa di bulan tersebut.
Bayar hutang puasa atau qadha puasa menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena adanya halangan yang dibenarkan syariat. Halangan tersebut bisa berupa sakit, dalam perjalanan jauh (safar), haid bagi wanita, nifas, atau kondisi lain yang membuat seseorang tidak mampu menjalankan ibadah puasa pada saat itu.
Ketika halangan tersebut telah hilang dan kondisi seseorang sudah kembali normal, maka ia memiliki kewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya. Hal ini merupakan bentuk kesempurnaan ibadah dan kepatuhan terhadap perintah Allah SWT.
Kewajiban mengganti puasa (qadha) bagi orang yang memiliki udzur syar'i memiliki dasar hukum yang kuat dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 184:
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa orang yang sakit atau dalam perjalanan dan tidak berpuasa, wajib mengganti puasanya di hari-hari lain. Ini menunjukkan bahwa qadha puasa adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang memiliki hutang puasa Ramadhan.
Selain itu, kewajiban qadha puasa juga didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW dan ijma' (kesepakatan) ulama. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah RA:
"Saya mempunyai tanggungan utang puasa Ramadhan. Saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya'ban. Menurut Yahya, Aisyah mengqadha di bulan Sya'ban dikarenakan ia sibuk melayani Nabi Muhammad SAW." (Muttafaq alaih)
Hadits ini menunjukkan bahwa qadha puasa adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan, meskipun waktunya tidak harus segera setelah Ramadhan berakhir.
Advertisement
Pentingnya Niat dalam Ibadah
Dalam Islam, niat menjadi hal fundamental sebelum melakukan amalan ibadah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
"Sesungguhnya amal perbuatan itu diiringi dengan niat, dan sesungguhnya bagi setiap insan akan memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dibenarkan hijrahnya itu oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya untuk dunia yang hendak diperoleh atau wanita yang hendak dipersunting, maka ia akan mendapatkan apa yang diingini itu saja." (HR Bukhari dan Muslim)
Niat, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya Fiqih Niat, artinya adalah tujuan. Sementara Imam Nawawi mengartikan niat sebagai menuju ke sesuatu dan berkeinginan untuk melakukannya. Jadi, niat merupakan suatu tujuan dan keinginan yang menjadi dasar dari setiap amalan yang dikerjakan.
Untuk ibadah puasa qadha atau bayar hutang puasa Ramadhan, niat menjadi syarat sahnya puasa tersebut. Tanpa niat yang benar, puasa qadha yang dilakukan tidak sah dan tidak menggugurkan kewajiban seseorang untuk membayar hutang puasa Ramadhannya.
Lafadz Niat Bayar Hutang Puasa
Untuk bayar hutang puasa Ramadhan, niat yang diucapkan sedikit berbeda dengan niat puasa Ramadhan biasa. Niat puasa qadha yang sempurna adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin 'an qadhā'i fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta'âlâ.
Artinya: "Aku berniat untuk mengqadha puasa bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT."
Lafadz di atas adalah lafadz yang lengkap dan sempurna. Namun, jika lafadz ini dianggap terlalu sulit untuk dihafalkan atau diingat, maka bisa diringkas menjadi:
نَوَيْتُ صَوْمَ قَضَاءِ رَمَضَان
Nawaitu shauma qadhā'i Ramadhāna.
Artinya: "Aku berniat untuk menqadha puasa Ramadhan."
Yang terpenting dalam niat adalah pemahaman dan kesadaran bahwa puasa yang akan dilakukan adalah untuk mengganti puasa Ramadhan yang tertinggal, bukan puasa sunnah atau jenis puasa lainnya.
Waktu Berniat Qadha Puasa
Mengutip buku Fikih Empat Madzhab Jilid 2 susunan Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, pengamalan niat puasa bayar hutang Ramadhan ialah pada malam hari hingga terbit fajar, sebagaimana bunyi sabda Rasulullah SAW:
"Barangsiapa yang belum berniat (untuk puasa) di malam hari sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya." (HR Ad-Daru Quthni dan Al-Baihaqi)
Berdasarkan hadits tersebut, niat untuk membayar hutang puasa harus dilakukan pada malam hari sebelum puasa dilaksanakan. Ini berbeda dengan puasa sunnah yang boleh diniatkan pada pagi hari sebelum dzuhur, asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
Oleh karena itu, bagi siapa pun yang hendak melaksanakan qadha puasa Ramadhan, hendaknya mempersiapkan niat pada malam hari sebelum terbit fajar.
Kapan Waktu Terbaik Membayar Hutang Puasa
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu terbaik untuk membayar hutang puasa Ramadhan. Sebagian berpendapat bahwa qadha puasa sebaiknya dilakukan segera setelah Ramadhan berakhir dan halangan telah hilang, sebagai bentuk kehati-hatian dan menghindari penundaan kewajiban.
Namun, pendapat lain menyatakan bahwa qadha puasa boleh dilakukan kapan saja sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah RA:
"Saya mempunyai tanggungan utang puasa Ramadhan. Saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya'ban. Menurut Yahya, Aisyah mengqadha di bulan Sya'ban dikarenakan ia sibuk melayani Nabi Muhammad SAW." (Muttafaq alaih)
Hadits ini menunjukkan bahwa Aisyah RA mengqadha puasanya di bulan Sya'ban, yang merupakan bulan terakhir sebelum Ramadhan berikutnya. Ini menandakan bahwa qadha puasa boleh ditunda, asalkan dilaksanakan sebelum datangnya Ramadhan berikutnya.
Meski demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa menyegerakan qadha puasa adalah lebih utama untuk menghindari risiko lupa atau tertundanya kewajiban tersebut. Mereka berpendapat bahwa semakin cepat hutang puasa dibayar, semakin baik.
Ketentuan Khusus untuk Kondisi Tertentu
Ada beberapa kondisi khusus yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan qadha puasa:
1. Bagi yang Meninggal Dunia Sebelum Mengqadha:
Jika seseorang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan, maka menurut sebagian ulama, ahli warisnya (keluarganya) boleh mengqadhakan puasa tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
"Barangsiapa meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa, maka walinya hendaklah berpuasa untuknya." (HR Bukhari dan Muslim)
Namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ahli waris cukup membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang tertinggal.
2. Bagi yang Tidak Mampu Mengqadha karena Usia atau Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh:
Bagi orang tua renta atau orang yang menderita sakit kronis yang tidak ada harapan sembuh, dan tidak mampu melaksanakan qadha puasa, mereka dibolehkan untuk membayar fidyah sebagai ganti dari qadha puasa. Fidyah adalah memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
3. Bagi Wanita Hamil dan Menyusui:
Wanita hamil dan menyusui yang khawatir akan kesehatan dirinya atau anaknya jika berpuasa, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Namun, mereka tetap memiliki kewajiban untuk mengqadha puasanya ketika kondisi sudah memungkinkan. Sebagian ulama berpendapat, selain mengqadha, mereka juga diwajibkan membayar fidyah, namun pendapat yang lebih kuat hanya mewajibkan qadha saja.
Advertisement
Fidyah: Alternatif untuk Kondisi Tertentu
Fidyah berasal dari kata "fadaa" yang artinya mengganti atau menebus. Dalam konteks puasa, fidyah adalah tebusan yang dikeluarkan sebagai pengganti puasa bagi orang-orang yang tidak mampu melaksanakan puasa atau qadha puasa karena alasan tertentu yang dibenarkan syariat.
Dasar hukum fidyah terdapat dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 184:
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin."
Ayat ini menjadi landasan bagi kewajiban membayar fidyah bagi orang-orang yang tidak mampu berpuasa atau mengqadha puasa karena kondisi tertentu.
Siapa yang Boleh Membayar Fidyah
Tidak semua orang diperbolehkan mengganti puasa dengan fidyah. Ada kriteria khusus untuk orang yang boleh membayar fidyah sebagai ganti puasa atau qadha puasa, di antaranya:
- Orang tua renta (lansia) yang tidak memungkinkan untuk berpuasa: Bagi lansia yang karena usianya tidak mampu berpuasa, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan untuk qadha, mereka boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan fidyah.
- Orang sakit parah yang kecil kemungkinan sembuh: Bagi orang yang menderita sakit kronis dan tidak ada harapan untuk sembuh, sehingga tidak mampu berpuasa, mereka diperbolehkan membayar fidyah sebagai ganti puasa.
- Ibu hamil atau menyusui yang khawatir dengan kondisi diri atau bayinya: Menurut sebagian ulama, ibu hamil atau menyusui yang khawatir dengan kondisi dirinya atau anaknya jika berpuasa, boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan fidyah. Namun, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa mereka tetap wajib mengqadha puasanya ketika kondisi sudah memungkinkan, dan fidyah menjadi tambahan jika mereka khawatir atas keselamatan anaknya.
- Orang yang menunda qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa udzur: Bagi mereka yang menunda qadha puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat hingga masuk bulan Ramadhan berikutnya, selain wajib mengqadha, mereka juga diwajibkan membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang ditunda.
Besaran dan Cara Membayar Fidyah
Para ulama berbeda pendapat mengenai besaran fidyah yang harus dibayarkan:
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i:
Fidyah yang harus dibayarkan adalah sebesar 1 mud gandum (kira-kira 675 gram atau 0,75 kg) atau makanan pokok setempat untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Menurut Ulama Hanafiyah:
Fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum (sekitar 1,5 kg) untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Fidyah dapat dibayarkan dalam bentuk makanan pokok atau uang senilai harga makanan tersebut. Misalnya, jika seseorang tidak puasa selama 30 hari, maka ia harus menyediakan fidyah 30 takar (30 x 1,5 kg = 45 kg) makanan pokok atau uang senilai harga makanan tersebut.
Fidyah boleh dibayarkan kepada beberapa orang fakir miskin atau satu orang saja. Misalnya, fidyah untuk 30 hari puasa boleh diberikan kepada 30 orang fakir miskin (masing-masing 1 hari) atau kepada beberapa orang saja (misalnya 2 orang, masing-masing mendapat fidyah untuk 15 hari).
Menurut kalangan Hanafiyah, fidyah juga boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku, yaitu 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversi menjadi rupiah.
Bayar hutang puasa atau qadha puasa merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang memiliki hutang puasa Ramadhan karena alasan yang dibenarkan syariat. Kewajiban ini didasarkan pada Al-Qur'an, hadits, dan ijma' ulama.
Dalam pelaksanaannya, qadha puasa harus diniatkan pada malam hari sebelum fajar dengan niat khusus untuk qadha puasa. Waktu pelaksanaan qadha puasa sebaiknya disegerakan, meskipun syariat memberikan kelonggaran untuk melaksanakannya kapan saja sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya.
Advertisement
