Senjakala Tengtengan, Lampion Lokal Khas Ramadan

Teknologi gawai mampu merangsek segala lini kehidupan, namun permainan tengtengan sebuah lampion putar lokal tetap mendapat tempat khusus di Purwosari Semarang.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 26 Mei 2019, 00:20 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2019, 00:20 WIB
tengtengan
Mohammad Saechu, warga Purwosari Perbalan Semarang ini heran dengan kebijakan pemakaian lampion impor untuk berbagai even di Semarang. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Namanya tengtengan. Ini sebenarnya sebuah mainan yang fungsional sebagai penerang pengganti lampu. Tengtengan merupakan sebuah mainan karena bentuknya berupa lampion yang bisa berputar otomatis karena kekuatan panas lilin.

Adalah Kampung Purwosari Perbalan di Semarang yang menjadi pusat pembuatannya. Berdasar banyak penuturan, termasuk dari budayawan Semarang Djawahir Muhammad, nama tengtengan bisa merujuk pada dua hal.

Pertama, karena lampion Semarang itu dibawa dengan ditenteng. Awalnya disebut lampion tentengan, lama-lama pengucapan berubah menjadi tengtengan.

"Pendapat kedua, nama tengtengan merujuk pada kosa kata ting (huruf i dibaca seperti huruf e pada kata tempe). Sebuah lampion yang berarti lampu dan sampai sekarang masih dilestarikan di Solo. Karena berbeda, maka disebut ting-tingan atau ting mainan. Lama-lama berubah menjadi tengtengan," kata Djawahir.

Tengtengan Purwosari pertama kali diperkenalkan pada 1942. Saat itu nama tengtengan dikenal dengan nama dian kurung, artinya 'lampu yang dikurung'.

Pembuatan tengtengan terdiri dari rangka dari bambu. Bentuk rangka ini bermacam-macam. Mulai dari segi empat serupa kubus, balok hingga bentuk yang tak beraturan. Namun, umumnya segiempat dan segi delapan.

Simak video menarik terkait tradisi tengtengan berikut ini.

 

Mainan yang Fungsional

tengtengan
Potongan kertas berbagai motif akan menghasilkan efek bayangan seperti animasi bergerak ketika dinyalakan. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Muchammad Saechu, warga Purwosari, menjelaskan bahwa selain rangka utama yang menjadikan bentuk dasar, ada pula rangka lain yang diletakkan di dalam rangka utama dan ditempel potongan kertas berbagai motif.

"Ada motif binatang, kubah masjid, wayang, hingga pesawat terbang. Lalu bagian tengahnya diberi tatakan untuk tempat lilin," kata Saechu.

Saat lilin dinyalakan, udara panas akan memutar bagian dalam itu, sehingga potongan kertas berbagai bentuk itu berputar dan memberi bayangan yang menarik.

Saechu menjelaskan bahwa produksi tengtengan dilakukan hanya saat bulan Ramadan. Sebab, merujuk pada sejarahnya, tengtengan ini awalnya dibuat sebagai penerangan.

Seorang warga Purwosari Semarang memasang tengtengan di teras depan sebagai penerangan. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

"Pada tahun 1942 itu wilayah Purwosari sangat gelap. Yang akan ke musala kemudian membawa obor. Agar anak-anak senang ke masjid atau musala, maka dibuatkan obor yang bisa untuk mainan. Jadi, saat Ramadan memang tengtengan dibuat khusus," kata Saechu.

Pembuatan tengtengan ini sekaligus memanfaatkan waktu menunggu beduk Magrib dengan lebih produktif.

Pada masa sekarang, tengtengan sering dianggap sebagai tradisi budaya dakwah. Tengtengan adalah salah satu media dakwah. Tahun 1960-an, masyarakat Purwosari Perbalan membawa tengtengan sambil berselawat.

"Berjalan menuju musala untuk mengusir sepi anak-anak berselawat. Menurut saya, tengtengan ini bisa menjadi simbol keberagaman," kata Saechu.

 

Mengapa Harus Lampion Impor?

tengtengan
Lilin berfungsi sebagai penerang dan efek panasnya berfungsi sebagai penggerak mekanis rangka bagian dalam. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Tengtengan sering juga dianggap sebagai simbol keberagaman. Rangka bambu dianggap sebagai simbol manusia Jawa yang lentur, kertas minyak sebagai simbol tradisi Cina, dan putaran di dalam kurungan sebagai simbol budaya Timur Tengah.

Rezim gawai merangsek ke semua lini kehidupan, tak terkecuali ke Purwosari. Anak-anak mulai enggan bermain tengtengan, apalagi lampu penerangan sudah dikuasai listrik.

"Meskipun kecil, tengtengan ini masih menjaga kerajaannya di Purwosari. Anak-anak Purwosari masih banyak yang bermain tengtengan," kata Saechu.

Bandingkan dengan mainan dian kurung ala Gresik maupun ting gaya Solo yang masih bersaudara dengan tengtengan. Dua lampion saudara tengtengan itu malah semakin jauh ditinggalkan masyarakat.

Muhammad Saechu kemudian menyebutkan bahwa perlu sebuah gerakan masif jika ingin tengtengan bertahan. Apalagi saat ini tren masyarakat sedang kembali menggemari hal klasik.

"Festifal tengtengan bisa menjadi salah satu alternatif. Nanti disatukan dengan lampion-lampion lokal semacam Damar Kurung dan Ting," kata Saechu.

Semua acara lokal, sebaiknya menggunakan lampion lokal. Tak perlu lagi mengimpor, dengan alasan apapun. Karena perputaran uang ada di warga Semarang.

"Kalau sekarang kan lampion pakai lampion yang didatangkan dari luar," kata Saechu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya