Ramadan Selalu Meriah di Masjid Agung Garut

Masjid Agung Garut menjadi salah satu saksi bisu perjalanan masyarakat Garut hingga saat ini. Masjid yang berdiri megah di wilayah Alun-alun Kota Garut ini tak pernah pengunjung sepi saat bulan Ramadan.

oleh firda suci fahrunnisa diperbarui 31 Mei 2019, 12:45 WIB
Diterbitkan 31 Mei 2019, 12:45 WIB
Masjid Agung Garut di bilangan jalan Ahmad Yani, Garut Kota, Jawa Barat
Masjid Agung Garut di bilangan jalan Ahmad Yani, Garut Kota, Jawa Barat (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Jakarta Masjid Agung Garut menjadi salah satu saksi bisu perjalanan masyarakat Garut hingga saat ini. Masjid yang berdiri megah di wilayah Alun-Alun Kota Garut ini tak pernah sepi pengunjung saat bulan Ramadan. Beragam kegiatan keagamaan dilakukan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan.

Memasuki bulan suci Ramadan menjadi keberkahan tersendiri bagi Masjid Agung Garut. Pasalnya, masjid ini selalu ramai pengunjung sejak diberlakukannya libur sekolah pada tahun 1983.

Beragam kegiatan keagamaan, khususnya Pesantren Kilat (Paskil) Ramadan, tak pernah berhenti sejak masa pemerintahan Presiden Suharto. Kegiatan ini menjadi pilihan para orang tua di sekitar Kota Garut untuk menitipkan anaknya belajar agama.

“Karena buat kami keberadaan paskil sangat penting untuk bekal dan dasar mereka kelak,” ujar KH A. Aceng Nauval Mimar, pengurus Masjid Agung Garut, Minggu (12/5/2019).

Akibatnya, kondisi masjid menjadi lebih ramai daripada biasanya. Ratusan anak-anak berbagai usia tampak antusias mengikuti jalannya Paskil Ramadan. Masjid ini juga menyediakan kelas khusus untuk perguruan tinggi.

Pelajaran yang diberikan pihak masjid saat pesantren kilat merupakan pelajaran dasar ajaran Islam, seperti mengaji Alquran, mulai tajwid hingga hafalan surat-surat pendek.

Selain itu, ilmu fikih, tauhid, hingga akidah akhlak juga diajarkan kepada santri paskil. Nauval menambahkan, banyak tokoh pemerintahan Garut yang menjadi santri paskil Masjid Agung saat kecil.

Meskipun pesantren kilat hanya diadakan selama dua pekan, pola pengajaran yang diberikan mampu memberikan pengetahuan agama yang cukup bagi santri.

“Kami sifatnya pelajaran dasar agama, sehingga ke mana pun atau di mana pun mereka berada, punya pegangan agama yang kuat,” ujar Aceng menjelaskan pentingnya kurikulum dasar yang diberikan.

Sampai saat ini, Paskil Ramadan di Masjid Agung masih menjadi primadona warga Garut saat bulan Ramadan. Bahkan, beberapa kegiatan keagamaan lain seperti seminar keagamaan, semakin membuat aktivitas keagamaan Masjid Agung lebih hidup. 

Sementara saat hari biasa, Masjid Agung diisi dengan berbagai kegiatan, seperti salat berjemaah lima waktu, salat jumat, pengajian rutin dan tablig akbar bagi masyarakat umum.


Asal-usul Masjid Agung Garut

Masjid Agung Garut setelah dilakukan renovasi pertama pada 1940 silam
Masjid Agung Garut setelah dilakukan renovasi pertama pada 1940 silam (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Dalam catatan sejarah, Masjid Agung Garut diperkirakan dibangun sekitar tahun 1813. Namun, sebagian berpendapat pembangunan dilakukan pada tahun 1809. Pembangunan masjid ini mejadi salah satu dari empat paket pembangunan infrastruktur yang dibangun perwakilan Belanda di wilayah Priangan kala itu.

“Kebetulan ibu kota Garut mau dipindah dari Balubur Limbangan ke wilayah sekarang ini,” ujar Aceng sambil menunjuk ke arah denah masjid.

Masjid Agung Garut dibangun bersamaan dengan pembangunan gedung pendopo dan tempat tinggal bupati. Bersamaan pula dengan pembangunan kantor asisten residen yang saat ini menjadi Kantor Badan Koordinator Wilayah Garut, serta bangunan penjara yang berhadapan langsung dengan masjid.

Saat itu dibangun pula bangunan kecil mirip pesanggrahan berbentuk panggung di sisi selatan alun-alun, atau tepatnya di antara masjid dan pendopo. Bangunan kecil ini disebut dengan 'babancong'.

Babancong digunakan oleh bupati atau pejabat pemerintahan lainnya saat memberikan pidato ke masyarakat.

Awalnya, pembangunan masjid diprakarsai Bupati RAA Wiratanudatar yang berkuasa hingga 1815, kemudian disempurnakan oleh bupati selanjutnya, Adipati Suria Karta Legawa, yang berkuasa pada 1829.

“Perkembangan masjid lebih ramai menjadi pusat kegiatan kegamaan masyarakat setelah dipegang Adipati Mohammad Musa Suria Kartalegawa putranya Adipati Suria Karta Legawa yang menggantikannya berkuasa,” kata dia.

Awalnya pembangunan masjid seluas 4.480 meter persegi itu, hanya diperuntukkan bagi kegiatan ibadah salat lima waktu. Seiring berjalannya waktu, Masjid Agung Garut mulai difungsikan untuki salat Jumat, salat Idul Fitri, dan kegiatan keagamaan Islam lainnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya