Bunda, Ini Ketentuan Islam Tentang Donor ASI

Seorang ibu boleh memberikan ASI kepada anak yang bukananak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, seorang anak boleh menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya sepanjang memenuhi ketentuan syar’i

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Sep 2022, 18:30 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2022, 18:30 WIB
Kekurangan Susu Formula Bayi di AS Picu Lonjakan Donor ASI
Botol berisi ASI donor yang dipasteurisasi disimpan di lemari es di University of California Health Milk Bank, San Diego, Jumat (13/5/2022). Kelangkaan susu formula bayi di Amerika Serikat telah memicu gelombang minat di kalangan ibu yang ingin menyumbangkan ASI untuk membantu menjembatani kesenjangan pasokan serta mereka yang ingin bayi mereka tetap makan. (AP Photo/Gregory Bull)

Liputan6.com, Jakarta - Donor air susu ibu (ASI) belakangan marak di dunia. Beberapa organisasi di Indonesia juga telah menginisasi donor ASI.

Donor ASI banyak manfaatnya. Misalnya, untuk ibu yang karena sesuatu hal, misalnya karena penyakitnya, tidak bisa menyusui anaknya dengan maksimal. ASI diketahui adalah makanan terbaik bayi di fase awal kehidupannya.

Di lain sisi, ada pula ibu-ibu yang jumlah ASI-nya berlebih. Sudah menjadi kebiasaan, ASI tersebut disedot lantas dibuang jika tak dikonsumsi oleh anaknya.

Tentu sayang jika makanan terbaik di dunia ini dibuang begitu saja. Karena itu, donor ASI begitu cepat populer terutama bagi wanita-wanita yang jumlah ASI-nya berlebih.

Ada sejumlah keuntungan donor ASI. Di satu sisi menghindari ASI dibuang percuma, di sisi lain menjadi solusi untuk anak-anak yang kekurangan ASI karena ibunya tidak bisa memberikan ASI dengan jumlah cukup.

Namun begitu, ada beberapa kaidah dalam Islam yang patut dicermati dalam program donor ASI ini. MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa tentang masalah-masalah terkait dengan berbagi air susu ibu (Istirdla').

Sebab, meski tidak dilakukan secara langsung, donor ASI yang dilakukan secara terus-menerus hukumnya sama dengan hukum yang berlaku dalam ibu susuan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Ketentuan Hukum

Pentingnya Peran Ibu Menyusui bagi Bayi di Masa Pandemi
Ilustrasi ibu dan bayi (pexels.com/Sarah Chai)

Ketentuan Hukum:

1. Seorang ibu boleh memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, seorang anak boleh menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya sepanjang memenuhi ketentuan syar’i.

2. Kebolehan memberikan dan menerima ASI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  • Ibu yang memberikan ASI harus sehat, baik fisik maupun mental.
  • Ibu tidak sedang hamil

3. Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ketentuan angka 1 menyebabkan terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan).

4. Mahram akibat persusuan sebagaimana pada angka 2 dibagi menjadi depan kelompok sebagai berikut:

  • Ushulu Al-Syakhsi (pangkal atau induk keturunan seseorang), yaitu: Ibu susuan (donor ASI) dan Ibu dari Ibu susuan tersebut terus ke atas (nenek, buyut dst).
  • Al-Furuu’ Min Al-Radhaa’ (keturunan dari anak susuan), yaitu : Anak susuan itu sendiri, kemudian anak dari anaksusuan tersebut terus ke bawah (cucu, cicit dst).
  • Furuu’ Al-Abawaini min Al-Radhaa’ (keturunan dari orang tua susuan), yaitu: Anak-anak dari ibu susuan,kemudian anak-anak dari anak-anak ibu susuan tersebut terus ke bawah (cucu dan cicit).
  • Al-Furuu’ Al-Mubaasyirah Min Al-Jaddi wa Al-Jaddatimin Al-Radhaa’ (keturunan dari kakek dan nenek sesusuan), yaitu: Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari suami ibu donor ASI dan Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari ibu donor ASI. Adapun anak-anak mereka tidaklah menjadi mahram sebagaimana anak paman/bibi dari garis keturunan.
  • Ummu Al-Zawjah wa Jaddaatiha min Al-Radhaa’ (ibu sesusuan dari Istri dan nenek moyangnya), yaitu: Ibu susuan (pendonor ASI) dari istri, kemudian ibu dari ibu susuan istri sampai ke atas (nenek moyang).
  • Zawjatu Al-Abi wa Al-Jaddi min Al-Radhaa’ (istri dari bapak sesusuan dan kakek moyangnya),yaitu : Istri darisuami ibu pendonor ASI (istri kedua, ketiga atau keempat dari suami ibu pendonor ASI), kemudian istri dari bapak suami ibu pendonor ASI sampai ke atas (istri kedua, ketiga atau keempat dari bapak suami ibupendonor ASI sampai ke kakek moyangnya).
  • Zawjatu Al-Ibni wa Ibni Al-Ibni wa Ibni Al-Binti minAl-Radhaa’ (istri dari anak sesusuan dan istri dari cucusesusuan serta anak laki dari anak perempuan sesusuan), yaitu : Istri dari anak sesusuan kemudian istri dari cucusesusuan (istri dari anaknya anak sesusuan) dan seterusnya sampai ke bawah (cicit dst). Demikian pula istri dari anak laki dari anak perempuan sesusuan dan seterusnya sampai ke bawah (cucu, cicit dst).
  • Bintu Al-Zawjah min Al-Radhaa’ wa Banaatu Awlaadihaa (anak perempuan sesusuan dari istri dan cucu perempuan dari anak lakinya anak perempuan sesusuan dari Istri), yaitu: anak perempuan susuan dariistri (apabila istri memberi donor ASI kepada seorang anak perempuan, maka apabila suami dari istri tersebut telah melakukan hubungan suami istri -senggama- maka anak perempuan susuan istri tersebut menjadi mahram, tetapi bila suami tersebut belum melakukan senggama maka anak perempuan susuan istrinya tidak menjadi mahram). Demikian pula anak perempuan dari anak laki-lakinya anak perempuan susuan istri tersebut sampai ke bawah (cicit dst).

 

Potensi Terjadinya Mahram (Haramnya Terjadi Pernikahan)

Suami Punya Peran Utama dalam Membahagiakan Ibu Menyusui
Ilustrasi suami dan istri bersama mengasuh anak. (Sumber foto: Pexels.com)

5. Terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan) jika:

  • Usia anak yang menerima susuan maksimal dua tahun qamariyah.
  • Ibu pendonor ASI diketahui identitasnya secara jelas.
  • Jumlah ASI yang dikonsumsi sebanyak minimal lima kali persusuan.
  • Cara penyusuannya dilakukan baik secara langsung keputing susu ibu (imtishash) maupun melalui perahan.
  • ASI yang dikonsumsi anak tersebut mengenyangkan.

6. Pemberian ASI yang menjadikan berlakunya hukum persusuan adalah masuknya ASI tersebut ke dalam perut seorang anakdalam usia antara 0 sampai 2 tahun dengan cara penyusuanlangsung atau melalui perahan.

7. Seorang muslimah boleh memberikan ASI kepada bayi nonmuslim, karena pemberian ASI bagi bayi yang membutuhkan ASI tersebut adalah bagian dari kebaikan antar umat manusia.

8. Boleh memberikan dan menerima imbalan jasa dalam pelaksanaan donor ASI, dengan catatan:

(i) tidak untuk komersialisasi atau diperjualbelikan; dan (ii) ujrah (upah) diperoleh sebagai jasa pengasuhan anak, bukan sebagai bentuk jual beli ASI.

Rekomendasi:

  1. Kementerian Kesehatan diminta untuk mengeluarkan aturan mengenai Donor ASI dengan berpedoman pada fatwa ini.
  2. Pelaku, aktivis dan relawan yang bergerak di bidang donor ASI serta komunitas yang peduli pada upaya berbagi ASI agar dalam menjalankan aktivitasnya senantiasa menjaga ketentuan agama dan berpedoman pada fatwa ini.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya