Cara Mengurus Ari-Ari Bayi dalam Islam, Digantung dengan Kendi atau Dikubur?

Ari-ari atau plasenta berfungsi sebagai pemasok oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin. Selain itu, ari-ari ini berfungsi untuk membuang membuang sisa metabolisme yang sudah tidak dibutuhkan oleh janin.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Okt 2022, 12:30 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2022, 12:30 WIB
Ilustrasi plasenta
Ilustrasi plasenta (dok.YouTube/ Zero To Finals)

Liputan6.com, Cilacap - Ari-ari atau plasenta berfungsi sebagai pemasok oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin. Selain itu, ari-ari ini berfungsi untuk membuang membuang sisa metabolisme yang sudah tidak dibutuhkan oleh janin.

Setelah bayi lahir, ari-ari tersebut tidak diperlukan lagi sehingga harus dipisahkan dari jabang bayi. Biasanya, orangtua tidak akan membuang begitu saja ari-ari anaknya.

Ada beberapa alasan yang mendasari. Misalnya, kepercayaan bahwa ari-ari adalah saudara jabang bayi. Pada intinya, ari-ari dimuliakan sebagai zat yang dikeluarkan bersama lahirnya si jabang bayi.

Di Indonesia terdapat dua tradisi dalam memperlakukan ari-ari bayi tersebut, yakni dikubur dan ada juga yang menggantung ari-ari tersebut setelah sebelumnya dimasukan ke dalam kendil atau batok kelapa.

Atas dasar ini, maka pertanyaannya adalah bagaimana sebaiknya mengurus ari-ari yang telah dipisahkan setelah bayi lahir dalam Islam, digantung atau dikubur?

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Hadis Nabi SAW dan Kualitasnya

Bidan Ini Abadikan Plasenta Bayi Lewat Foto Menyentuh Hati
Sebelum dikubur, bidan cantik ini mengabadikan plasenta dan bayi dalam sebuah foto menyentuh hati.

Mengutip Tebuireng.online, perihal menggantung ari-ari tidak ditemukan dalilnya, akan tetapi mengubur ari-ari ada keterangannya dalam hadis Nabi SAW.

Hadis yang menerangkan mengubur ari-ari hanya terdapat sebagian kecil dalam beberapa kitab hadis, seperti dalam kitab at Tadwin fi Akhbari al Qozwin juz 1 halaman 455 yang disusun oleh Imam ar-Rofi’I di bawah ini:

مُحَمَّد بْن علي بْن إبراهيم بْن سلمة بْن بحر أبو إبراهيم بْن أبي الحسن القطان سَمِعَ أَبَاهُ فِي جُزْءٍ رَوَاهُ عن أبي بكر أَحْمَد بْن مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الذَّهَبِيِّ حَدَّثَنِي أَبُو مُحَمَّدٍ سَعِيدُ بْنُ عَبْدٍ الْفِرْيَابِيُّ بِسَرْخَسَ ثَنَا مَالِكُ بْنُ سليمان هروي ثنا داؤد بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ هِشَامِ بْن عروة عن أبيه عن عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وآله وَسَلَّمَ: “كَانَ يَأْمُرُ بِدَفْنِ سَبْعَةَ أَشْيَاءٍ مِنَ الإِنْسَانِ الشَّعْرُ وَالظُّفْرُ والدم والحيضة والسن والمشيعة وَالْقُلْفَةُ

Muhammad bin ‘Ali bin Ibrahim bin Salamah bin Bahr Abu Ibrahim bin Abil Hasan mendengarkan ayahnya yang meriwayatkan hadis dari Abi Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi berkata: telah menceritakan kepadaku Abu Sa’id bin Abdin al-Firyani, telah menceritakan kepada kami Malik bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Daud bin Abdir Rahman dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, bahwasannya Nabi SAW menyuruh untuk mengubur tujuh hal potongan badan manusia yaitu rambut, kuku, darah, darah haid, gigi, ari-ari, dan gumpalan darah.”

Kualitas Hadis

Namun, pada hadis ini terdapat dua perawi yang terindikasi dhaif.  Yang pertama ialah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi, ia dihukumi dhaif oleh Imam Ibn Hajar al Asqalani. Dan yang kedua ialah Malik bin Sulaiman, ia dihukumi dhaif oleh Imam Dar al Qutni.

Oleh karena itu, dari uraian di atas terdapat dua perawi yang dihukumi dhaif maka para ulama menghukumi hadis ini adalah dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil atau sumber penggalian hukum.

Pendapat Para Ulama

Namun demikian, sebagian ulama menganjurkan agar ari-ari dari bayi yang baru lahir dikubur sebagai wujud memuliakan keturunan Adam. karena bagian dari memuliakan manusia adalah mengubur bagian tubuh yang terlepas, salah satunya ari-ari.

Sebagaiamana Imam Syamsudin ar-Ramli dalam kitab Nihayat al Muhtaj juz 2 halaman 495 menerangkan:

وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالًا أَوْ مِمَّنْ شُكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍوَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا

Dan disunnahkan mengubur bagian yang terpisah dari orang hidup yang tidak mati seketika atau bagian tubuh yang terpisah dari orang yang diragukan kematiannya, seperti potongan tangan pencuri, kuku, rambut, dan segumpal darah serta darah yang keluar dari semacam bekam, sebagai bentuk memuliakan pemilik potongan tubuh tersebut.”

Dipertegas dengan ungkapan Imam al Barmawy dalam kitab Hasyiyah Jamal juz II halaman 190 bahwa ari-ari termasuk bagian tubuh dari manusia.

وَعِبَارَةُ الْبِرْمَاوِيِّ أَمَّا الْمَشِيمَةُ الْمُسَمَّاةُ بِالْخَلَاصِ فَكَالْجُزْءِ؛ لِأَنَّهَا تُقْطَعُ مِنْ الْوَلَدِ فَهِيَ جُزْءٌ مِنْهُ

Ungkapan Imam al Barmawy, Masyimah (ari-ari) yang juga dikenal dengan nama al Kholash maka seperti bagian tubuh seseorang. Karena ia terpotong dari tubuh seorang anak maka ia bagian tubuhnya.”

Dalam ungkapan di atas, bahwa ari-ari itu pernah menjadi bagian dari sang bayi saat dalam kandungan dan dianjurkan menguburnya sebagai bentuk memuliakan kepada manusia.

Tidak Boleh Tabdzir

Dan perlu diingat, dalam mengubur ari-ari tidak boleh memiliki keyakinan kepada suatu hal yang menentukan nasib bagi sang bayi dengan menambahkan barang-barang seperti cabai, pulpen, sisir, menyalakan lampu, dan lain-lain yang nantinya dikhawatirkan hukumnya haram.

Keharaman tersebut dikarenakan perbuatan itu bisa menghantarkan kepada perbuatan syirik kecil dan termasuk membuang-buang harta yang tidak ada manfaatnya (tabdzir).

Adapun tentang haramnya tabdzir sehubungan dengan menyertakan segala benda di lingkungan terpendamnya ari-ari terdapat dalam buku “Ahkamu al Fuqaha’ Solusi Problematika Umat” yang memuat hasil keputusan Bahtsul Masail Nadlatul Ulama dari 1926-2010, yang diambil dari kitab Hasyiyah al Bajuri

المُبَذِّرُ لِمَالِهِ أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ وَالمَكْرُوْهَةَ

“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar kewajarannya. (yang dimaksud ialah di luar kewajarannya), yaitu segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang makruh.”

Namun jika menyalakan lampu dan lilin diniatkan untuk menjaga dari binatang buas, maka hukumnya boleh. Demikian jawaban perihal yang sebaiknya dilakukan terhadap ari-ari atau plasenta.

Penulis: Khazim Mahrur

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya