Quraish Shihab: Puasa Ramadan Kita Akhiri untuk Tetap Bersyukur

Tujuan akhir dari puasa adalah syukur. Akantetapi apakah itu syukur? Dari segi bahasa syukur berarti menampakkan. Dalam arti tidak menutupinya. Adapun syukur dalam istilah adalah menerima yang sedikit dan menganggapnya banyak.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 21 Apr 2023, 12:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2023, 12:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta Bismillahirrahmanirrahim, saudara pemirsa, puasa telah hampir kita selesaikan. Ada ayat dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang penyelesaian ibadah puasa ramadan, yang antara lain menyatakan, wa litukmilul-iddata wa litukabbirullaha ala ma hadakum wa la’allakum tasykurun, ketentuan-ketentuan Allah menyangkut puasa itu akhirnya bertujuan agar kamu menyempurnakan bilangan puasa, duapuluh sembilan atau tigapuluh, dan bertakbir menyambut Idulfitri serta bersyukur kepada Allah swt.

Jika demikian, tujuan akhir dari puasa adalah syukur. Akantetapi apakah itu syukur? Dari segi bahasa syukur berarti menampakkan. Dalam arti tidak menutupinya. Adapun syukur dalam istilah adalah menerima yang sedikit dan menganggapnya banyak.

Syukur adalah dilakukan melalui tiga alat, yang kita miliki. Yang pertama hati, merasakan betapa besarnya nikmat Allah swt, kesadaran akan betapa besarnya nikmat itu mendorong lidah untuk berucap terima kasih, dan Alkhamdulillah.

Kemudian mendorong anggota tubuh untuk melakukan kegiatan sesuai dengan nikmat yang sudah dianugerahkan Allah swt kepada kita.

Para pemirsa, dalam kajian ini, Prof. Quraish Shihab kembali mengingatkan bahwa Allah swt menganugerahi kita sebagai bangsa, tanah air yang demikian indah, menganugerahi samudera dan lautan, mengapa Allah swt menganugerahi manusia dengan lautan ? dikatakan-Nya supaya kapal-kapal dapat berlayar di sana, agar manusia dapat mengambil mutiara-mutiaranya, memakan ikan-ikan dan sebagainya.

Kita tidak bersyukur apabila tujuan penganugerahan ini tidak kita lakukan. Dan jangan pernah berkata bahwa nikmat Allah sedikit, jangan pernah berkata bahwa ada keterbatasan dalam sumber daya alam, dan yang salah menurut Al-Qur’an adalah kita tidak mampu menampakkannya ke permukaan, sehingga kita beranggapan berkekurangan. Dan yang salah yang kedua, sikap kita mendzalimi orang-orang yang butuh tetapi kita tidak memberikan bantuan.

Dalam firman Allah swt sebagai berikut, wa in ta’uddu ni matallahi la tuhsuha, innal-insana lazalumung kaffar, kalau kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, maka kamu tidak akan dapat menghitungnya. Tetapi manusia maha menutupi nikmat Allah swt dan maha berlaku aniaya terhadap sesamanya.

Saudara, dalam bulan puasa, kita seringkali berlebih-lebihan dalam makanan, dalam pakaian. Maka ada orang-orang yang butuh makan tidak mendapatkannya, maka janganlah lakukan itu lagi setelah kita mencapai akhir puasa dan memasuki hari-hari normal yang akan datang.

Jangan juga satu nikmat yang kita peroleh, satu nikmat itu saja. Apabila kita makan, bukanlah kelezatan makanan yang terasa nikmat, tetapi ada nikmat lain yang sering tidak kita sadari, misalnya kesehatan, nikmatnya makan tidak terasa jika kita sakit. Misalnya, rasa damai dan keamanan, makanan yang tersedia, tidak akan terasa lezat apabila tidak damai.

Setiap satu nikmat yang dirasakan, setiap itu pula terdapat aneka nikmat Allah swt. Dan karena itu dinyatakan-Nya, apabila engkau mau menghitung nikmat Allah, walau satu nikmat kamu tidak bisa menghitungnya.

Oleh sebab itu, kita wajib bersyukur, dalam arti, setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara, setiap tetes hujan yang turun dari langit, yang kesemuanya itu harus kita syukuri, dan itulah buah yang diharapkan dari puasa kita ini. Semoga kita berhasil.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya