Liputan6.com, Jakarta - Dikisahkan, Imam Abu Hanifah memiliki seorang tetangga yang sering mengganggu dan menyakitinya. Hampir setiap hari, si tetangga kerap menyombongkan diri, berteriak keras, dan memukuli tiang rumah Imam Abu Hanifah.
Tak jarang pula saat sang imam sedang duduk bersama murid-muridnya, dan hendak mengawali pembicaraan, si tetangga datang mengetuk-ngetuk tiang majelisnya.
Lantas si tetangga mendendangkan beberapa bait syair. Dalam syairnya, si tetangga mengaku telah dibiarkan dan ditelantarkan oleh orang-orang. Petikan syairnya mengatakan:
Advertisement
Baca Juga
Mereka telah sia-siakan aku,
Padahal pemuda mana yang mereka abaikan?
Aku tentara berkuda kaumku
Mereka tak tahu kehormatanku
Kebanyakan orang mungkin akan merasa terganggu dengan ulah orang seperti tetangga Imam Abu Hanifah. Itu pula yang terjadi pada murid-muridnya. Namun, tidak demikian halnya dengan sang imam sendiri. Saat mereka mengatakan.
“Wahai Imam, sampaikanlah pada tetanggamu agar berhenti mengganggu kami,” beliau menjawab dengan tenang, “Dia itu tetanggaku. Aku sama sekali tidak terganggu olehnya.”
Saksikan Video Pilihan ini:
Kebesaran Hati Imam Abu Hanifah terhadap Tetangganya
Pada suatu malam, Imam Abu Hanifah mengajar murid-muridnya. Namun, saat itu mereka tak lagi mendengar suara gaduh dari tetangga yang biasa mengganggunya. Tak lama kemudian, sang imam bertanya kepada murid-muridnya, “Di manakah kawanku yang selalu melantunkan syair:
Mereka telah sia-siakan aku,
Padahal pemuda mana yang mereka abaikan?
Aku tentara berkuda kaumku
Mereka tak tahu kehormatanku
Murid-muridnya tak langsung menjawab. Mereka malah saling menoleh satu sama lain sambil tertawa. Imam Abu Hanifah bertanya, “Mengapa kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Allah telah membebaskanmu dari keburukan tetanggamu itu.” sang imam bertanya, “Memangnya apa yang telah menimpa tetanggaku itu?” Muridnya menjawab, “Dia sudah ditangkap oleh pihak keamanan dan dijebloskan ke penjara.” Imam Abu Hanifah menjawab, “Aku wajib” Pada saat itu pula, sang imam bangkit. Ditanya oleh murid-muridnya, “Wajib apa, wahai Imam?” Beliau menjawab, “Wajib memberikan pertolongan.”
Saat itu pula, sang imam berangkat, padahal waktu sudah cukup malam. Beliau mengetuk pintu khalifah yang ada di Baghdad. “Siapa yang di pintu?” tanya salah seseorang dari dalam rumah. “Aku an-Nu‘man Abu Hanifah.” Terdengar lagi jawaban dari dalam, “Abu Hanifah!! Benarkah? Sebab Abu Hanifah tidak datang kepada khalifah kecuali bila diminta atau diundang.”
Akhirnya pintu dibuka. Dan ternyata benar, di depan pintu sudah berdiri Imam Abu Hanifah. “Selamat datang, Tuan,” kata penjaga rumah khalifah. “Aku ingin bertemu khalifah,” ucap sang imam. “khalifah sudah masuk ke kamar istrinya. Aku tidak tahu apakah beliau sudah tidur atau belum,” jawab si penjaga. “Coba lihat dan tanyakan padanya,” desak Imam Abu Hanifah.
Kemudian, si penjaga mengetuk pintu khalifah. khalifah pun terkejut dan bertanya, “Siapa di sana?” Dijawab oleh si penjaga, “Ada tuan kita Imam Abu Hanifah.” Dijawab oleh khalifah, “Apakah engkau sudah tidak sehat? Sebab Abu Hanifah biasanya tidak datang kepada kami kecuali di siang hari. Mengapa sekarang datang di malam hari? Selain itu, dia juga tidak biasa datang kecuali diminta oleh kami.” Dijawab lagi oleh si penjaga, “Sekarang dia sudah berada di sini.”
Akhirnya, sang khalifah mengenakan pakaian seperlunya lalu keluar. “Ada apa, wahai Imam?” tanya sang khalifah. Abu Hanifah lantas menceritakan maksud kedatangannya. “Aku punya seorang tetangga. Namun, ditangkap oleh aparat keamanan. Walau dia seorang yang kurang baik, namun aku bertanggung jawab kepadanya. Seandainya bisa ditebus maka aku akan menebusnya. Maka bebaskanlah dia.” sang khalifah bertanya, “Apakah hanya untuk tujuan itu engkau datang ke sini jam segini?” jawab Abu Hanifah, “Benar, dia tetanggaku, wahai Amirul Mukminin.”
khalifah pun menyanggupi. “Esok hari, engkau datang lagi. Insya Allah, kami akan memberikan keputusan sesuai dengan permintaanmu.” Namun Abu Hanifah menolak, “Bagaimana jika malam ini, hai Amirul Mukminin?” khalifah menjawab, “Kau ingin malam ini, Tuan Abu Hanifah.” Pada saat itu pula, khalifah meminta pembantunya untuk membangunkan penjaga penjara guna mengeluarkan tetangga Abu Hanifah tadi. Sambil menunggu tetangganya dibebaskan, Abu Hanifah berdiri di depan penjara. Begitu keluar, lelaki itu pun disambutnya. Akhirnya, sang imam berhasil pulang membawa laki-laki yang biasa mengganggunya. Di perjalanan, sang imam mendendangkan syair yang biasa dilantunkan tetangganya itu.
Spontan si tetangga menjawab, “Sekarang tak seorang pun menyia-nyiakanku. Justru aku yang telah menyia-nyiakan diriku, wahai Imam. Aku bersaksi bahwa aku akan bertobat.”
Sejak saat itu, dia pun berguru kepada Imam Abu Hanifah. Demikian kisah kebesaran hati Imam Abu Hanifah terhadap tetangganya, walaupun tetangganya kerap mengganggu dan berbuat onar.
Advertisement