Liputan6.com, Jakarta - Bagi kalangan Nahdliyin, menyelenggarakan tahlilan saat ada orang meninggal sudah biasa dilakukan. Sebaliknya, warga Muhammadiyah tidak melaksanakan tahlilan ketika ada orang meninggal.
Perbedaan pemahaman ini kerap menjadi bahan diskusi dan perdebatan. Tak sedikit dari mereka yang mempersoalkan ini mempertahankan argumennya dan seolah pendapat dialah yang benar.
Jika ditelisik ke belakang, ternyata kalangan elite Muhammadiyah sendiri tak mempermasalahkan tahlilan. Lebih luasnya lagi, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) tak mempersoalkan perbedaan dalam bidang fikih dan akidah.
Advertisement
Baca Juga
Hal tersebut disampaikan Ustadz Adi Hidayat (UAH) dalam Simposium Satu Abad NU di Surabaya beberapa waktu lalu. Simposium itu juga dihadiri oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
“Ternyata dulu hubungan KH Ahmad Dahlan dengan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari itu tak ada masalah di fikih, akidah. Problem-nya muncul kemudian karena ada irisan-irisan yang sesungguhnya tak ada kaitan langsung dengan fikih,” ungkap UAH dikutip dari tayangan YouTube PAN Jatim, Sabtu (19/8/2023).
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penyebab Tak Ada Tahlilan di Muhammadiyah
UAH menyampaikan bahwa KH Ahmad Dahlan tidak pernah menyoal hukum tahlilan saat ada orang meninggal. Setelah ia telusuri, ternyata yang menjadi persoalan tahlilan bukan hukum fikihnya, melainkan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat.
“Ada kasus di kalangan masyarakat ingin menyelenggarakan tahlilan ternyata tak punya materi, sehingga dia harus berutang kepada tetangganya untuk mewujudkan tahlilan itu,” ungkap UAH.
Berdasarkan kasus tersebut, maka keluarlah pertimbangan jika tidak mempunyai uang jangan memaksakan untuk mengadakan tahlilan, apalagi uang yang digunakan untuk selamatan orang meninggal itu dari hasil pinjam.
“Bukan masalah tahlilannya. Cuma babnya belum selesai. Kalau memang tak punya uang kenapa Anda tak pinjami atau berikan saja, kan tuntas babnya,” kata UAH.
Menurut UAH, persoalan tahlilan khususnya di kalangan elite Muhammadiyah sudah selesai. Namun, informasi yang sampai ke masyarakat seolah tidak boleh menyelenggarakan tahlilan bagi warga Muhammadiyah.
“Saya kira, turunan-turunan informasi dari atas itu yang di kalangan elite sudah selesai, (tapi) ke bawahnya itu tak sama,” tutur UAH.
UAH mencontohkan kasus lain yaitu qunut. UAH mengatakan, Muhammadiyah tak mempersoalkan qunut. Bahkan, Majelis Tarjih pun tidak memfatwakan qunut itu bid’ah.
“Faktanya, ketika imam qunut, yang di belakang mengaminkan. Ketika imam yang di depan pun tak qunut, yang di belakang tak usah sujud sahwi,” jelas UAH.
“Jadi, tatanan konsep di atas sudah selesai. Nah, apa yang menyebabkan (informasi-informasi) ke bawahnya itu tidak tuntas?” tanya UAH.
“Saya kira belum tampilnya dan disemarakkannya dakwah-dakwah seperti Gus Baha, Gus Qoyyum. Di Muhammadiyah ada kami (UAH), ada teman-teman yang lain. Nah, saya mungkin sarankan di semua turunan ke PWM, PWNU, sampai ke bawah, itu yang difasilitasi untuk muncul,” jelasnya.
Advertisement