Anomali Nasib: Kaya Raya Masuk Surga, si Miskin Malah Dijebloskan ke Neraka

Kisah kaya masuk surga, miskin masuk neraka. Bagaimana bisa?

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Nov 2023, 18:30 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2023, 18:30 WIB
Beranikah Anda Berkunjung ke 'Pintu Neraka' ini?
ilustrasi neraka

Liputan6.com, Jakarta - Nasihat ulama sufi, untuk cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi.

Bahkan, Rasulullah SAW sangat dekat dengan orang-orang miskin. Para fakir miskin mendapat tempat tersendiri di dekat Nabi MUhammad SAW.

Namun, ada kisah yang di luar kebiasaan atau anomali. Berkebalikan dari kisah sufi tersebut, sang kaya raya bisa masuk surga, namun si miskin nan papa justru dijebloskan ke neraka.

Kisah berikut ini bisa menjadi pengingat kita soal harta, kaya, miskin hingga persoalan surga dan neraka. bagaimana kaya yang bisa masuk surga, dan miskin pun bisa masuk surga.

Allah SWT memberikan karunia yang demikian beragam kepada hamba-Nya di dunia. Ada yang ditakdirkan sebagai orang kaya, dan tidak sedikit yang ternyata miskin. Kelak saat meninggal, baik kaya maupun miskin akan menerima balasan dari kebaikan yang dilakukan selama di dunia.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Kisah Sibuk Duniawi dan Sibuk Ibadah

Harta karun di halaman (7)
Ilustrasi sekantong uang. (Sumber iStock)

Mengutip jatim.nu.or.id berikut ini adalah cerita tentang dua orang dengan kondisi yang kontras: seorang laki-laki kaya raya dan perempuan papa.

Dalam keseharian pun, keduanya tampak begitu berbeda. Sang lelaki hidupnya padat oleh kesibukan duniawi, sementara perempuan yang miskin itu justru menghabiskan waktunya untuk selalu beribadah.

Kesungguhan dan kerja keras lelaki tersebut membawanya pada kemapanan ekonomi yang diidamkan. Kekayaannya tak ia nikmati sendiri.

Keluarga yang menjadi tanggung jawabnya merasakan dampak ketercukupan karena jerih payahnya. Lelaki ini memang sedang bekerja untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.

Nasib lain dialami si perempuan miskin. Para tetangganya tak menemukan harta apapun di rumahnya. Kecuali sebuah bejana dengan persediaan air wudhu di dalamnya.

Ya, bagi perempuan taat ini, air wudhu menjadi kekayaan yang membanggakan meski hidup masih pas-pasan. Bukankah kesucian menjadikan ibadah kita lebih diterima dan khidmat? Dan karenanya menjanjikan balasan yang jauh lebih agung dari sekadar kekayaan duniawi yang fana ini?

Kisah Perempuan dan Bejana Air

20161202-Aksi-2-Desember-Jakarta-FF
Berwudhu. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab Al-Minahus Saniyyah mengisahkan, suatu ketika ada seorang yang mengambil wudhu dari bejana milik perempuan itu.

Melihat hal demikian, si perempuan berbisik dalam hati: Kalau air itu habis, lalu bagaimana aku akan berwudhu untuk menunaikan sembahyang sunah nanti malam? Apa yang tampak secara lahir tak selalu menunjukkan keadaan sebenarnya.

Diceritakan, setelah meninggal dunia, keadaan keduanya jauh berbeda. Sang lelaki kaya raya itu mendapat kenikmatan surga, sementara si perempuan papa yang taat beribadah itu justru masuk neraka.

Lelaki hartawan tersebut menerima kemuliaan lantaran sikap zuhudnya dari gemerlap duniawi. Kekayaannya yang banyak tak lantas membuatnya larut dalam kemewahan, cinta dunia, serta kebakhilan.

Apa yang dimilikinya semata untuk kebutuhan hidup, menunjang keadaan untuk mencari ridla Allah.

Ketidakikhlaskan Jerumuskan si Miskin ke Neraka

Ilustrasi kemiskinan, masalah sosial
Ilustrasi kemiskinan, masalah sosial. (Image by lachetas on Freepik)

Pandangan hidup semacam ini tak dimiliki si perempuan. Hidupnya yang serba kekurangan justru menjerumuskan hatinya pada cinta kebendaan. Buktinya, ia tak mampu merelakan orang lain berwudhu dengan airnya, meski dengan alasan untuk beribadah.

Ketidak ikhlasannya adalah petunjuk bahwa ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan melainkan “dipaksa” oleh keadaan.

Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani menjelaskan dalam kitab yang sama bahwa zuhud adalah meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan duniawi, tapi bukan berarti mengosongkan tangan dari harta sama sekali. Segenap kekayaan dunia direngkuh untuk memenuhi kadar kebutuhan dan memaksimalkan keadaan untuk beribadah kepada-Nya. Wallahu a'lam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya