UAH Minta Jangan Terlalu Mudah Bilang Bid'ah, Hati-Hati Berucap

Dalam salah satu ceramahnya, UAH menjelaskan bahwa ada banyak kaidah dalam menentukan suatu amalan tergolong bid'ah atau bukan. Amalan yang tidak ada contohnya dari Nabi SAW tidak selalu berarti bid'ah. Lebih jauh lagi, UAH menekankan pentingnya memahami dasar-dasar dari setiap amalan agar tidak sembarangan melabeli sesuatu sebagai bid'ah.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Okt 2024, 13:30 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2024, 13:30 WIB
uah 222
Ustadz Adi Hidayat (UAH) (TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena seringnya seseorang menyebut suatu amalan sebagai bid'ah tanpa kajian mendalam menjadi perhatian khusus Ustadz Adi Hidayat (UAH).

Banyak yang dengan mudah melabeli hal-hal tertentu sebagai bid'ah hanya karena tidak menemukan contoh langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Menurut UAH, sikap seperti ini dapat menyesatkan jika tidak didasari oleh pemahaman yang benar tentang kaidah-kaidah syariat.

Dalam salah satu ceramahnya, UAH menjelaskan bahwa ada banyak kaidah dalam menentukan suatu amalan tergolong bid'ah atau bukan.

Amalan yang tidak ada contohnya dari Nabi tidak selalu berarti bid'ah. Lebih jauh lagi, UAH menekankan pentingnya memahami dasar-dasar dari setiap amalan agar tidak sembarangan melabeli sesuatu sebagai bi'dah.

Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @AMUSTCHANNELm7, UAH menguraikan tentang empat kategori dalam memahami sebuah amalan.

Ada amalan yang memiliki dalil dan contoh yang jelas dari Rasulullah SAW, ada pula yang memiliki dalil tetapi tidak memiliki contoh dari Nabi, atau bahkan dalilnya samar. Setiap kategori ini harus dipahami dengan baik agar tidak salah dalam menilai.

"Jangan sampai semua yang tidak ada contohnya dari Nabi langsung disebut bid'ah," ujar UAH. Menurutnya, beberapa amalan mungkin tidak memiliki contoh langsung, tetapi ada dalil yang mendukungnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Penjelasan Mendalam UAH

FOTO: Semangat Santri Menuntut Ilmu di Tengah Keterbatasan
Santri belajar ilmu dalam kitab kuning di bangunan nonpermanen Pesantren Ismun Karim, Citaringgul, Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat, Senin (8/3/2021). (merdeka.com/Arie Basuki)

Dalam hal ini, penjelasan yang lebih mendalam dari para ulama diperlukan untuk memahami konteksnya. Salah satu contoh yang disebutkan adalah zakat menggunakan beras, yang tidak ada contohnya dari Nabi karena pada masa itu zakat dilakukan dengan kurma atau gandum.

UAH menjelaskan bahwa banyak amalan yang dilaksanakan di zaman sekarang tidak ada contohnya dari Nabi, namun memiliki dasar dalil yang kuat.

Makan daging dhab, misalnya, juga tidak ada contoh langsung dari Nabi, namun dibolehkan karena memiliki dasar hukum yang sahih. Ini menunjukkan bahwa tidak semua yang tidak dicontohkan otomatis menjadi bidah.

Sebagai seorang ulama yang sering menguraikan ilmu agama secara terperinci, UAH mengingatkan bahwa ada banyak hal dalam syariat yang membutuhkan kajian mendalam.

Bukan hanya dengan melihat apakah Nabi mencontohkannya atau tidak, tetapi juga dengan memahami dalil-dalil yang terkait. Menurutnya, tanpa dasar ilmu yang cukup, seseorang bisa terjebak dalam kesalahan dalam menilai suatu amalan.

Lebih lanjut, UAH memberikan contoh lain yang sering terjadi di masyarakat, yaitu tradisi-tradisi lokal yang tidak dicontohkan oleh Nabi. Meski tidak ada contoh langsung dari Nabi, tradisi tersebut tidak serta merta menjadi bidah selama masih dalam koridor yang tidak bertentangan dengan syariat. UAH mengingatkan pentingnya mengkaji dasar dari tradisi tersebut sebelum menilai apakah itu bidah atau bukan.

Pentingnya Ilmu Sebelum Berkata Bid

Belajar Kitab Kuning
Beberapa santri memaknai Kitab Kuning saat mengaji 'Kilatan Kitab' di Pondok Pesantren Almiizan, Kabupaten Bogor, Senin (21/5). Ngaji kitab kuning ini merupakan tradisi di pondok pesantren. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Pernyataan UAH ini menggarisbawahi pentingnya ilmu sebelum berbicara soal bid'ah. Menurutnya, jika seseorang belum memahami dasar-dasar dari suatu amalan atau tradisi, lebih baik tidak langsung melabeli sebagai bid'ah.

"Kalau belum paham dasar ilmunya, jangan bicara. Itu bisa berbahaya," tegasnya.

UAH juga menegaskan bahwa dalam memahami hukum syariat, tidak bisa hanya berpatokan pada satu kaidah atau contoh. Ada banyak aspek yang harus diperhatikan, mulai dari dalil yang mendukung, hingga penafsiran para ulama.

Dengan cara ini, seseorang akan lebih berhati-hati dan tidak mudah melabeli sesuatu sebagai bidah.

Pada bagian akhir ceramahnya, UAH kembali mengingatkan bahwa setiap amalan harus dikaji dengan hati-hati dan tidak boleh sembarangan.

Ia menegaskan bahwa bidah adalah sesuatu yang serius dalam agama, tetapi melabeli sesuatu sebagai bidah tanpa dasar yang kuat juga bisa menyesatkan. Oleh karena itu, kajian mendalam dan pemahaman yang tepat sangat diperlukan.

UAH mengajak umat Islam untuk selalu memperdalam ilmu agama agar tidak mudah terjebak dalam kesalahan pemahaman. Menurutnya, semakin seseorang memahami dasar-dasar syariat, semakin ia akan bijak dalam menilai suatu amalan. Ini penting agar tidak ada fitnah atau kesalahpahaman di kalangan umat Islam.

Ia mengingatkan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan hikmah dan kebijaksanaan, dan setiap amalan yang dilaksanakan harus didasari oleh ilmu yang mendalam serta pemahaman yang benar terhadap dalil-dalil syariat.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya