Liputan6.com, Cilacap - Menjadi orang baik itu susah-susah gampang. Meskipun kita berusaha menjadi baik bisa saja berpotensi buruk, apalagi kita menjadi orang buruk.
Minimal penilaian ini berdasarkan perspektif diri kita sendiri dan juga orang lain. Terlebih, jika berdasarkan pandangan Allah SWT.
Advertisement
Sesuatu yang secara kasat mata kita lakukan baik, namun belum tentu di mata Allah dan boleh jadi ternyata hal yang buruk, apalagi yang nyata-nyata melakukan sesuatu yang buruk.
Advertisement
Hal ini pernah dijelaskan oleh KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dalam sebuah kesempatan ceramahnya yang tersebar di berbagai platform digital.
Gus Baha menyoroti hal ini sebab begitu pentingnya berbuat baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk dengan melihat konsekuensi dua hal itu sebagaimana disebutkan di muka.
Baca Juga
Dalam menerangkan hal ini, murid Mbah Moen ini menyitir pendapat Imam Ibn Athaillah As-Sakandari sebagaimana termaktub dalam salah satu karyanya yang yakni kitab Hikam.
Simak Video Pilihan Ini:
Baik Saja Belum Tentu Baik Apalagi Berbuat Keburukan
Gus Baha menjelaskan bahkan harus meyakini bahwa seumpama baik saja bisa berpotensi jelek apalagi nyata-nyata melakukan keburukan atau kejelekan.
“Jadi orang itu harus yakin seumpama baik saja itu jelek, apalagi kok sudah jelek,” tuturnya dikutip dari tayangan YouTube Short @SudarnoPranoto, Minggu (01/12/2024).
Hal ini menurutnya sebagaimana diterangkan dalam kitab Hikam yang merupakan buah karya dari Ibn Athaillah As-Sakandari.
"Saya ulangi lagi ya, ini menurut kitab Hikam, hidup itu yang membuat sempurna itu hanya fadholnya dan rahmatnya Allah SWT. Kalau manusia itu ya jelek terus, seumpama baik saja jelek, apalagi jelek," paparnya.
"Itu perkataannya kitab Hikam saya masih hafal, baiknya saja masih jelek apalagi jelek," terangnya.
Advertisement
Sekilas Tentang Kitab Hikam
Mengutip NU Online, Kitab Al-Hikam ini termasuk kategori kitab tasawuf yang ditulis oleh seorang ulama besar dan guru sufi bernama Syaikh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari. Ibnu Atha’illah adalah tokoh penting dalam Thariqah Syadziliyah, yang dalam tradisi NU, thariqah ini termasuk salah satu dari Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyah.
Apresiasi NU terhadap Ibnu Atha’illah dan kitabnya al-Hikam, bahkan menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), telah mengispirasi lahirnya nama Nahdlatul Ulama. Kitab ini sangat populer di kalangan umat Islam, karena selain dipelajari di hampir seluruh pesantren salaf di Nusantara, kata-kata mutiara dalam kitab ini juga seringkali disampaikan para dai dalam berbagai majlis taklim dan pengajian, baik di desa maupun di kota. Setidaknya terdapat puluhan karya yang berusaha menjelaskan dan mengomentari isi kitab Al-Hikam yang sarat akan nasihat dan hikmah di dalamnya.
Berbeda dengan karya-karyanya yang lain seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj al-‘Arus. Kitab ini dikarang oleh Ibnu Athaillah secara sederhana dan tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat, hadits dan berbagai argumentasi lainnya. Lebih dari itu, kitab ini sepertinya ditulis sebagai refleksi atas pengalaman spiritualitas penulisnya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini juga ditulis sebagai bahan motivasi hidup para pembacanya.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul