Apakah Harus Ada Barang Bawaan saat Lamaran dalam Islam? Ini Kata Ustadz Khalid Basalamah

Proses lamaran diikuti oleh keluarga laki-laki dan perempuan. Biasanya, saat lamaran keluarga dari pihak laki-laki membawa barang bawaan. Sebenarnya, membawa barang bawaan untuk lamaran dianjurkan dalam Islam atau tidak? Simak penjelasan Ustadz Khalid Basalamah.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 30 Jan 2025, 16:30 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2025, 16:30 WIB
Ustaz Khalid Basalamah
Ustaz Khalid Basalamah berbagi tips memilih biro travel untuk ibadah umrah dan haji. Ia meminta umat Islam berpikir kritis agar tak terjebak biro travel nakal.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Bagi seorang muslim, menikah bukan hanya mengikat janji suci antara laki-laki dan perempuan. Menikah bukan hanya untuk menghalalkan sebuah hubungan. Lebih dari itu, menikah adalah ibadah.

Menikah termasuk ibadah terpanjang dan terlama. Diharapkan, ikatan pernikahan terjaga sampai maut memisahkan. Selama menikah pasangan suami istri senantiasa saling mengingatkan agar selalu dalam ketaatan kepada-Nya.

Sebelum menginjak ke jenjang pernikahan, ada sejumlah proses yang harus dilalui. Salah satunya adalah lamaran. Dalam Islam, istilah lamaran dikenal juga dengan khitbah.

Khitbah merupakan proses formal seorang laki-laki menyatakan niat baiknya untuk menikahi perempuan kepada keluarga perempuan tersebut. Apabila khitbahnya diterima, maka perempuan yang dilamar berstatus makhtubah. 

Proses lamaran diikuti oleh keluarga laki-laki dan perempuan. Biasanya, saat lamaran keluarga dari pihak laki-laki membawa barang bawaan. Sebenarnya, membawa barang bawaan untuk lamaran dianjurkan dalam Islam atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, simak berikut penjelasan Ustadz Khalid Basalamah tentang lamaran dalam Islam. Penjelasan dari pendakwah kondang ini akan membuka wawasan baru bagi Anda yang belum paham mengenai lamaran dalam Islam.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Penjelasan Ustadz Khalid tentang Lamaran dalam Islam

Ustaz Khalid Basalamah
Membuka cabang pertama Restoran Ajwad di Kebayoran Baru Jakarta Selatan, ustaz Khalid Basalamah membahas 4 pilar bisnis dalam Islam. Apa saja?... Selengkapnya

Ustadz Khalid Basalamah mengatakan, tahapan menuju pernikahan pasti diikuti lamaran. Makna lamaran dalam Islam tidak seperti yang sedang tren saat ini: bawa barang bawaan dan menentukan kapan akad pernikahannya.

“Lamaran ini begini. Kalau Anda mengatakan ‘Saya mau menikahi wanita ini’. Terus orang tuanya mengatakan, ‘Baiklah’. Itu sudah lamaran namanya,” kata Ustadz Khalid dikutip dari YouTube Khalid Basalamah Official, Rabu (29/1/2025).

“Berarti pasti ada lamarannya, gak mungkin tidak, kecuali kalau Anda maknakan lamaran yang berbeda. Misalnya, lamaran harus ada bawa-bawaan, kemudian janjian kapan akad nikahnya, nah itu mungkin yang Anda maksudkan,” tambah Ustadz Khalid ketika menjawab pertanyaan jemaahnya.

Ustadz Khalid mengatakan, lamaran dalam Islam lebih sederhana. Sudah dianggap melamar ketika seorang laki-laki mengajukan permohonan ingin menikahi perempuan kepada orang tua perempuannya.

“Lamaran itu lebih sederhana dalam Islam. Sudah dianggap lamar kalau Anda mengatakan saya mau menikahi anak Anda. ‘Kira-kira gimana pendapatnya?’ ‘Oh iya saya setuju’. Sudah lamaran namanya,” tuturnya.

“Contoh ditanya anak perempuanya, ‘Oh ya saya setuju’. Itu sudah lamaran namanya. Gak ada masalah (jika tidak bawa barang bawaan). Lamaran itu terjadi walaupun hanya hitungan menit beberapa menit, setuju, lalu kemudian menikah,” katanya.

Tradisi Bawa Barang Bawaan saat Lamaran

Masakan - Vania
Ilustrasi Seserahan/https://www.shutterstock.com/Ahmad Ridho ErPutra... Selengkapnya

Mantan Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) Kabupaten Jombang, Ustadz Moh. Makmun mengulas tentang tradisi membawa barang bawaan saat lamaran atau khitbah di NU Online Jombang.

Ia menguraikan bahwa sudah menjadi hal umum di masyarakat jika seseorang mengkhitbah orang yang dipilihnya, maka ia dan atau keluarganya akan mendatangi pihak yang dikhitbah dengan membawa berbagai macam bentuk barang, seperti makanan, pakaian, perlengkapan perawatan kecantikan, perhiasan, dan bahkan ada juga yang membawa barang-barang kebutuhan pokok. 

Menurutnya, bawa barang bawaan saat lamaran disesuaikan dengan adat istiadat daerah masing-masing. Barang bawaan tersebut diberikan umumnya adalah sebagai tanda keseriusan hubungan pihak pelamar dan yang dilamar menuju jenjang pernikahan. Selain itu, barang tersebut umumnya juga bertujuan lebih mengakrabkan antara pihak pelamar dan yang dilamar.

Jadi, pada dasarnya tidak ada anjuran khusus dalam Islam mengenai membawa barang bawaan saat lamaran atau khitbah. Seperti dituliskan Ustadz Moh. Makmun, barang bawaan tersebut ditujukan untuk menghangatkan pihak pelamar dan yang dilamar.

Pertanyaan kemudian, apakah barang bawaan lamaran boleh minta dikembalikan?

Masih mengutip tulisan Ustadz Moh. Makmun, menurut kesimpulan Ibn Hajar al-Haitami atas pendapat Imam Rofi`i, bahwa jika pihak perempuan yang membatalkan pertunangan, maka pihak lelaki boleh meminta kembali barang-barang tersebut, namun bila yang membatalkan pertunangan adalah pihak lelaki sendiri, maka pihak lelaki tidak boleh meminta kembali barang-barang itu. 

Menurut Ibnu Abidin, barang bawaan saat khitbah statusnya seperti hibah. Pihak pelamar boleh meminta kembali barang tersebut, kecuali jika terdapat alasan yang tidak memungkinkan untuk diambil kembali, seperti barang telah rusak, telah digunakan atau adanya akad nikah. 

Jika pemberian dari pelamar itu masih ada, maka dia boleh mengambilnya. Jika barang itu telah rusak maupun berubah wujud dari kain menjadi baju, makanan yang telah dimakan, perhiasan yang sudah hilang, maka pelamar tidak berhak untuk meminta ganti. Artinya, jika barang bawaan khitbah masih utuh, maka pelamar boleh memintanya.

Sedangkan Imam Hanafi berpendapat, jika pihak yang dilamar khianat atas lamaran tersebut, maka pelamar boleh meminta kembali barang yang masih utuh, bukan barang yang telah habis ataupun yang telah rusak. Dan ini berlaku khusus pada barang hadiah saja bukan barang sandang-pangan (nafaqah). 

Adapun Imam Nawawi berpandangan, barang bawaan khitbah termasuk pemberian yang disebut hadiah. Barang tersebut diberikan dengan maksud dan tujuan agar yang di lamar mau menikah dengannya. Andai kata lamaran batal, maka hukum dari hadiah yang telah diberikan saat lamaran tersebut harus dikembalikan secara mutlak, bila masih utuh atau jika sudah rusak maka harus menggantinya. 

Menurut Madzhab Syafiiyah, diperbolehkan bagi pelamar untuk mengambil barang pemberian karena ia mengalokasikan pemberian tersebut dengan tujuan menikahinya. sehingga diperbolehkan mengambilnya jika masih ada dan andai kata barang tersebut telah rusak, maka harus menggantinya. 

Menurut Madzhab Hanabilah, jika yang berpaling atas lamaran yang sudah terjadi adalah pihak pelamar, maka ia tidak boleh meminta kembali barang tersebut walaupun masih ada. Namun, jika yang berpaling adalah yang dilamar, maka diperbolehkan untuk meminta kembali barang tersebut, baik barangnya masih ada atau sudah rusak, jika hilang atau dikonsumsi maka wajib meng-uangkan. Ini yang benar dan adil, karena pelamar memberi dengan syarat tetapnya akad, jika akad telah hilang maka boleh meminta kembali. 

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang membatalkan lamaran tidak boleh meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak menggagalkan pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada, atau menerima qimahnya jika barang pemberiannya sudah tidak ada. 

Menurut Madzhab Hanafiyah, barang pemberian ketika khitbah merupakan hadiah dan hibah. Sehingga pihak pelamar diperbolehkan meminta kembali barang tersebut, kecuali jika kondisi barang telah rusak, telah hilang, telah berubah wujud seperti kain dijahitkan menjadi baju atau gamis, atau makanan yang telah dimakan, maka pihak pelamar tidak berhak untuk meminta kembali barang tersebut. 

Demikian beberapa pandangan terkait boleh tidaknya meminta kembali barang bawaan pada saat khitbah. Namun demikian, kembali kepada pihak yang melamar, apakah ia akan meminta kembali barang tersebut, atau mengikhlaskannya kepada orang yang pernah ia kasihi dan cintai. Selain itu, juga dikembalikan pada adat istiadat masing-masing, serta lebih baik dikomunikasikan bersama antara pihak pelamar dan yang dilamar. 

Wallahu a’lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya