Liputan6.com, Jakarta - Puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Ibadah ini tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjaga diri dari berbagai hal yang membatalkan puasa, termasuk bersenggama di siang hari.
Barang siapa yang melanggar, maka ia dikenai sanksi berat berupa kafarat. Namun, ada sebagian orang yang mencoba mencari celah dengan membatalkan puasa terlebih dahulu sebelum melakukan hubungan suami istri atau senggama.
Lantas, bagaimana hukumnya dalam Islam?
Advertisement
Dorongan biologis dapat muncul kapan saja, termasuk di bulan Ramadhan. Bagi sebagian orang, menahan nafsu bisa menjadi tantangan berat. Mereka yang sudah dikuasai hasrat akan mencari cara untuk melampiaskannya, bahkan jika itu berarti melanggar aturan agama.
Tak jarang, mereka mencoba menghindari sanksi dengan cara makan terlebih dahulu sebelum bersenggama, dengan harapan tidak terkena kafarat.
Dalam Islam, puasa Ramadhan adalah ibadah wajib yang harus dijalankan dengan sempurna. Jika seseorang sudah memulai puasanya, maka haram hukumnya membatalkannya dengan sengaja.
Dalam pandangan mazhab Malikiyah dan Hanafiyah, siapa pun yang sengaja membatalkan puasa dengan makan di siang hari Ramadhan tetap dikenai kafarat, sama seperti orang yang langsung bersenggama tanpa membatalkan puasa terlebih dahulu.
Hal ini dikarenakan membatalkan puasa secara sengaja termasuk dalam pelanggaran berat.
Advertisement
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Jumhur Ulama Mewajibkan Kafarat
Mengutip BincangSyariah.com, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai sanksi bagi mereka yang bersenggama setelah sengaja makan di siang hari Ramadhan. Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa orang tersebut tidak wajib membayar kafarat karena ia telah membatalkan puasanya sebelum melakukan hubungan suami istri.
Sementara itu, jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) tetap mewajibkan kafarat karena mereka menilai tindakan ini sebagai bentuk akal-akalan yang tidak diperbolehkan dalam syariat.
Pendapat Mazhab Syafi’iyah didasarkan pada teks berikut:
الشافعية قالوا : ما يوجب القضاء والكفارة ينحصر في شيء واحد وهو الجماع بشروط الى ان قال السادس : أن يكون الجماع مستقلا وحده في إفساد الصوم فلو أكل في حال تلبسه بالفعل فإنه لا كفارة عليه وعليه القضاء فقط. الفقه على المذاهب الأربعة (ج ١ / ص ٩٠٣).
Artinya: “Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa hal yang mewajibkan qadha dan kafarat hanya satu, yaitu senggama dengan syarat-syarat tertentu. Di antara syarat tersebut adalah bahwa hubungan badan tersebut harus menjadi satu-satunya penyebab batalnya puasa. Jika seseorang makan terlebih dahulu lalu bersenggama, maka ia tidak wajib membayar kafarat dan hanya diwajibkan mengqadha puasanya.”
Sementara itu, jumhur ulama berpendapat berbeda:
وَكَذَلِكَ الْمُجَامِعُ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ إِذَا تَعَدَّى أَوْ شَرِبَ الْخَمْرَ أَوَّلًا ثُمَّ جَامَعَ ، قَالُوا : لَا تَحِبُ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ ، وَهَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ ؛ فَإِنَّ إِضْمَامَهُ إِلَى إِثْمِ الْجمَاعِ إِثْمَ الْأَكْلِ وَالشَّرْبِ لَا يُنَاسِبُ التَّخْفِيفَ عَنْهُ ، بَلْ يُنَاسِبُ تَغْلِيظَ الْكَفَّارَةِ عَلَيْهِ. إعلام الموقعين عن رب العالمين (ج ١ / ص ٤٩٦).
Artinya: “Jika seseorang melakukan senggama di siang hari Ramadhan setelah terlebih dahulu makan atau minum khamr, maka menurut sebagian ulama ia tidak wajib membayar kafarat. Namun, pendapat ini tidak benar. Sebab, menggabungkan dosa senggama dengan dosa makan dan minum di siang hari Ramadhan seharusnya tidak meringankan hukumannya, melainkan justru membuat kafaratnya semakin berat.”
Advertisement
Bisa Dihitung Memanipulasi yang Dilarang
Selain itu, menurut mazhab Hanabilah:
ومن أكل ثم جامع لزمته الكفارة وكذالك كل مفطر وطئ والامساك يلزمه. المحرر في الفقه على مذهب الامام احمد بن حنبل (ج ١/ص ٢٣٠).
Artinya: “Barang siapa makan kemudian bersenggama, maka ia wajib membayar kafarat. Demikian pula orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja lalu bersenggama, ia tetap diwajibkan menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan selama sisa hari tersebut.”
Pendapat jumhur ulama ini menunjukkan bahwa membatalkan puasa dengan makan sebelum bersenggama bukanlah alasan untuk terbebas dari kafarat. Justru, tindakan tersebut dianggap sebagai upaya manipulasi yang dilarang dalam Islam dan pelakunya tetap harus menanggung konsekuensi syariat.
Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki pengendalian diri yang kuat dalam menjalankan ibadah. Menahan nafsu hingga waktu berbuka adalah bentuk ketaatan yang bernilai pahala besar.
Sebaliknya, mencari-cari celah untuk menghindari sanksi justru menunjukkan lemahnya kesadaran terhadap tujuan utama puasa, yaitu meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan memahami ketentuan ini, diharapkan umat Muslim lebih berhati-hati dalam menjaga puasanya agar tetap sah dan diterima oleh Allah.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
