Liputan6.com, Jakarta - Guyon ialah istilah yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya bercanda. Guyon bagi sebagian orang sangat diperlukan, seperti misalnya untuk mengusir rasa tidak nyaman atau yang semisalnya.
Guyon bagi sebagian orang memang sebagai salah satu cara untuk melipur lara. Namun sejatinya guyon tidak hanya demikian fungsinya.
Advertisement
Bahkan menurut sebagian ulama guyon tak hanya sekadar itu namun ada hal penting yang mendasarinya.
Advertisement
Guyon dalam artian tersebut bagi sebagian ulama justru berpahala, bukan hanya hukumnya mubah atau boleh.
Baca Juga
Tentang guyon yang bernilai ibadah ini disampaikan oleh ulama ahli Al-Qur’an asal Rembang, yakni KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha).
Simak Video Pilihan Ini:
Berpahala Jika Niatnya Begini
Gus Baha mengkritisi pemahaman sebagian kalangan yang menyatakan bahwa guyon itu hukumnya mubah. Mubah dalam pengertian Fiqih artinya perbuatan yang bilamana dikerjakan tidak mendapatkan pahala dan dosa.
“Guyon itu mubah, mubah itu tidak ada pahalanya dan tidak ada dosanya,” terangnya dikutip dari tayangan YouTube Short @AmanahRentCarSemarang, Kamis (06/03/2025).
Menurut Gus Baha, saat seseorang menghukumi guyon sebagai perbuatan yang mubah itu keliru. “Itu teori yang salah menurut sebagian ulama,” tegasnya.
Menurut Gus Baha, jika guyon dengan niat atau dalam waktu bersamaan ia sedang berusaha meninggalkan maksiat yang ingin ia kerjakan, maka hukumnya tidak mubah lagi.
Guyon pada tataran ini menurut Gus Baha akan mendapatkan pahala sebab meninggalkan maksiat.
“Bagaimana kamu bilang guyon itu mubah dengan teman, di mana saat guyon itu meninggalkan maksiat,” ujarnya.
“Meninggalkan maksiat itu berpahala atau dosa?” sambungnya
“Berpahala,” sahut para jemaah.
“Berpahala, makanya guyon dengan teman itu berpahala,” tandasnya.
Advertisement
Guyon yang Dilarang dalam Islam
Mengutip NU Online, Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dalam kitabnya Sullamut Taufiq mengutip pernyataan Al-Hasan bahwa candaan yang tidak keterlaluan dan terus-menerus, diperbolehkan. Candaan dianggap baik dan sebagai media relaksasi dari ketegangan asalkan tidak sampai berlebihan. Terlalu banyak tertawa bisa menyebabkan hati keras.
وقال الحسن أن من الخيانة أن تحدث بسر أخيك وكالمزاح إذا كان مفرطا ومداوما أما المداومة فلأنه اشتغال باللعب والهزل فيه وأما الافراط فيه فلأنه يورث كثرة الضحك وكثرة الضحك تميت القلب وتسقط المهابة وأما إذا كان المزاح مطايبة وفيه انبساط وطيب قلب فلم ينه عنه
Artinya: “Al-Hasan berkata ‘Sesungguhnya yang termasuk berkhianat adalah jika kamu menceritakan rahasia teman kamu. Juga seperti guyonan yang keterlaluan dan terus-menerus. Candaan yang terus-menerus dapat menyibukkan seseorang pada permainan dan senda gurau. Candaan yang keterlaluan bisa menyebabkan banyak tertawa. Banyak tertawa bisa mematikan hati, menghilangkan kewibawaan. Jika guyon itu baik, ada unsur menggemberikan dan merelaksasi hati maka tidak dilarang” (Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Sullamut Taufiq, [Thoha Putra], hlm. 69).
Demikian pula dikatakan Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawi, guyon diperbolehkan selama tidak keterlaluan dan tidak terus-menerus. Karena guyon yang kelewat batas berpotensi menghabiskan waktu untuk menyakiti orang lain, mengakibatkan kedengkian, dan kewibawaan.
Jika guyon sesekali dilakukan untuk kemaslahatan, membuat nyaman lawan bicara, tentu tidak ada larangan sama sekali. Bahkan malah seperti ini disunnahkan.
قال العلماء: المزاحُ المنهيُّ عنه، هو الذي فيه إفراط ويُداوم عليه، فإنه يُورث الضحك وقسوةَ القلب، ويُشغل عن ذكر الله تعالى والفكر في مهمات الدين، ويؤولُ في كثير من الأوقات إلى الإِيذاء، ويُورث الأحقاد، ويُسقطُ المهابةَ والوقارَ. هذه الأمور فهو المباحُ الذي كان رسولُ الله (صلى الله عليه وسلم) يفعله، فإنه (صلى الله عليه وسلم) إنما كان يفعله في نادر من الأحوال لمصلحة وتطييب نفس المخاطب ومؤانسته، وهذا لا منعَ قطعاً، بل هو سنّةٌ مستحبةٌ إذا كان بهذه الصفة.
Artinya: “Para ulama mengatakan ‘guyon yang dilarang adalah yang keterlaluan dan terus-menerus. Tertawa bisa mengakibatkan hati keras, menyibukkan hati sehingga lupa kepada Allah dan memikirkan urusan agama yang penting. Guyon mempunyai potensi menyakiti orang lain dan menyebabkan kedengkian, menghilangkan kewibawaan. Guyon-guyon ini diperbolehkan sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Rasulullah melakukan guyon jarang-jarang, yakni ketika berdampak maslahat dan membuat nyaman lawan bicara. Jika tujuannya seperti itu, guyon tidak dilarang bahkan malah disunnahkan’,” (An-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah, [Darul Fikr: 1994], hlm. 326).
Menurut KH Bahaudin Nur Salim (Gus Baha’), guyon adalah perkara baik dalam rangka bersyukur atas luasanya rahmat Allah yang diturunkan kepada kita sehingga kita perlu menikmatinya dengan sebuah kebahagiaan. Jangan sampai kita bersedih atas garis-garis takdir yang telah ditentukan oleh Allah kepada kita sehingga membuat kita tidak terima takdir. Kebahagiaan tersebut diperintahkan sesuai dengan ayat:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".
Dengan demikian, humor atau guyonan tidak mutlak diharamkan. Ia berstatus hukum mubah, bahkan bisa sunnah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi. Yang perlu menjadi perhatian, guyon tidak boleh ada unsur kebohongan yang menyesatkan (hoaks), tidak boleh pula berlebihan dan terus-menerus, apalagi sampai memicu tawa terbahak-bahak di dalam masjid. Sebagai teladan, saat tertawa, Rasulullah hanya cukup tersenyum walaupun senyumnya sampai gigi gerahamnya tampak dari luar tapi tidak sampai terbahak-bahak. Wallahu a’lam.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
