Bolehkah Mendoakan Keburukan bagi Pemimpin yang Zalim? Simak Penjelasannya

Umat Islam dihadapkan pada dilema: bolehkah mendoakan keburukan bagi pemimpin zalim? Artikel ini mengkaji dalil Al-Qur'an, Sunnah, dan pendapat ulama untuk menjawab pertanyaan tersebut.

oleh Mabruri Pudyas Salim Diperbarui 27 Feb 2025, 11:05 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2025, 11:05 WIB
Niat dan Sholat Malam
Ilustrasi Berdoa Credit: freepik.com... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pertanyaan tentang boleh tidaknya mendoakan keburukan bagi pemimpin yang zalim telah lama menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa mendoakan keburukan adalah tindakan yang tercela, bahkan bisa dihukumi sebagai perbuatan yang dilarang. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa mendoakan keburukan bagi pemimpin yang benar-benar zalim dan telah menimbulkan penderitaan bagi rakyatnya diperbolehkan, bahkan ada contohnya dalam sejarah Islam.

Memahami sikap yang tepat terhadap pemimpin zalim sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara hak individu untuk berdoa dan kemaslahatan umat. Sikap yang salah bisa berujung pada perpecahan dan konflik yang merugikan semua pihak. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji tuntunan agama secara mendalam agar kita dapat mengambil sikap yang bijak dan sesuai dengan syariat Islam.

Perbedaan pendapat ini muncul karena adanya beragam interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits yang relevan. Beberapa orang berpegang teguh pada prinsip bahwa kita harus selalu mendoakan kebaikan untuk semua orang, termasuk pemimpin.

Namun, sebagian lagi berpendapat bahwa dalam kondisi tertentu, mendoakan keburukan bagi pemimpin yang zalim dibolehkan, terutama jika kezaliman tersebut telah menimbulkan kerusakan yang luas dan merugikan banyak orang. Artikel ini akan mencoba mengurai perbedaan pendapat tersebut dengan merujuk pada dalil-dalil yang ada, sebagaimana telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (25/2/2025).

Dasar-Dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah

Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa ayat 148: "Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan secara terang-terangan, kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." Ayat ini menunjukkan bahwa mendoakan keburukan diperbolehkan bagi orang yang dizalimi. Namun, perlu diingat bahwa "ucapan buruk" di sini perlu dimaknai dengan bijak, bukan berarti bebas mencaci maki atau mengumpat.

Hadits tentang tiga doa yang tidak ditolak oleh Allah, yaitu doa orang yang terzalimi, doa musafir, dan doa orang tua kepada anaknya (HR. Tirmidzi), juga menunjukkan perhatian Allah terhadap orang-orang yang terzalimi. Doa mereka memiliki peluang besar untuk dikabulkan.

Rasulullah SAW bersabda: "Ya Allah, siapa saja yang memimpin urusan umatku ini, yang kemudian menyayangi mereka, sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, susahkanlah dia." (HR. Muslim No. 1828). Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mendoakan kebaikan bagi pemimpin yang adil dan mendoakan keburukan bagi pemimpin yang zalim.

Hadits ini tidak secara eksplisit memerintahkan untuk mendoakan keburukan, tetapi menunjukkan adanya konsekuensi atas tindakan seorang pemimpin. Jika pemimpin berbuat baik, ia akan mendapatkan kebaikan, dan jika ia berbuat zalim, ia akan mendapatkan kesulitan. Ini menjadi dasar bagi sebagian ulama untuk membolehkan mendoakan keburukan bagi pemimpin yang zalim.

Pemahaman yang komprehensif atas ayat dan hadits ini penting untuk menghindari penafsiran yang keliru. Konteks dan situasi harus dipertimbangkan dengan matang sebelum mengambil kesimpulan.

Teladan dari Para Nabi dan Salafus Shalih

Ilustrasi doa, muslim, Islami
Ilustrasi doa, muslim, Islami. (Pixabay/SuleymanKarakas)... Selengkapnya

Nabi Musa AS mendoakan kebinasaan Fir'aun (QS. Yunus ayat 88). Doa ini bukan sekadar ungkapan kebencian, tetapi merupakan bentuk permohonan kepada Allah agar membebaskan kaumnya dari penindasan Fir'aun yang zalim.

Rasulullah SAW juga mendoakan keburukan bagi orang-orang yang menyusahkan umatnya. Ini menunjukkan bahwa mendoakan keburukan bukanlah tindakan yang selalu tercela, terutama jika ditujukan kepada orang yang melakukan kezaliman.

Imam Hasan Al-Bashri, salah seorang ulama besar Tabi'in, mendoakan keburukan untuk Hajjaj bin Yusuf, seorang penguasa yang zalim di zamannya. Doa beliau dikabulkan oleh Allah SWT, dan Hajjaj bin Yusuf meninggal dunia beberapa hari kemudian.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa mendoakan keburukan bagi pemimpin zalim bukanlah sesuatu yang dilarang dalam Islam. Namun, perlu diingat bahwa doa tersebut harus dilandasi oleh niat yang tulus untuk menegakkan keadilan dan bukan untuk dendam pribadi.

Para Salafus Shalih juga memiliki berbagai pendekatan dalam menghadapi pemimpin zalim, mulai dari doa, nasihat, hingga perlawanan. Penting untuk mempelajari berbagai pendekatan tersebut untuk memahami konteks dan situasi yang tepat dalam mengambil tindakan.

Mengkaji sejarah dan teladan para Nabi dan Salafus Shalih dapat memberikan panduan yang berharga dalam menghadapi situasi serupa di masa kini. Namun, perlu diingat bahwa setiap situasi memiliki konteks yang berbeda, sehingga kita harus bijak dalam mengambil kesimpulan.

Pandangan Ulama tentang Mendoakan Keburukan bagi Pemimpin Zalim

Ilustrasi muslim, berdoa, berzikir
Ilustrasi muslim, berdoa, berzikir. (Image by Aamir Mohd Khan from Pixabay)... Selengkapnya

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menjelaskan tentang kebolehan mendoakan keburukan bagi orang yang menzalimi kaum muslimin. Beliau berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah, serta perbuatan para ulama terdahulu.

Fudhail bin 'Iyadh, seorang ulama besar, menyatakan bahwa jika ia memiliki doa yang mustajab, ia akan menggunakannya untuk mendoakan penguasa. Hal ini menunjukkan bahwa mendoakan pemimpin, baik kebaikan maupun keburukan, diperbolehkan, tergantung pada tindakan pemimpin tersebut.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang mendoakan keburukan bagi pemimpin zalim. Sebagian ulama membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu, sementara sebagian lain melarangnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan perpecahan.

Syarat-syarat dan batasan mendoakan keburukan bagi pemimpin zalim perlu diperhatikan agar tidak disalahgunakan. Doa tersebut harus dilandasi oleh niat yang tulus untuk menegakkan keadilan dan bukan untuk dendam pribadi. Doa juga harus dipanjatkan dengan adab dan tata cara yang sesuai dengan syariat Islam.

Definisi dan Bentuk Kezaliman Pemimpin

Unjuk Rasa Indonesia Gelap Berakhir Damai
Para mahasiswa juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap membebani masyarakat. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)... Selengkapnya

Dalam perspektif Islam, zalim adalah orang yang melampaui batas dalam perkataan atau perbuatan, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, maupun hak-hak Allah. Seorang pemimpin yang zalim adalah pemimpin yang melanggar aturan Allah dan menyengsarakan rakyatnya.

Bentuk-bentuk kezaliman pemimpin terhadap rakyat sangat beragam, antara lain:

  • Memutuskan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Allah
  • Tidak memberikan hak-hak rakyat (keadilan, kesejahteraan, keamanan, pendidikan, kesehatan)
  • Membebani rakyat dengan pajak, utang, korupsi, atau tindakan-tindakan yang merugikan rakyat
  • Pelanggaran HAM dan penindasan kebebasan beragama

Kezaliman pemimpin dapat menimbulkan dampak yang sangat luas dan merugikan banyak orang. Oleh karena itu, penting untuk memahami berbagai bentuk kezaliman agar kita dapat mengidentifikasi dan menghadapinya dengan tepat.

Penting juga untuk membedakan antara kritik terhadap kebijakan pemerintah dan mendoakan keburukan bagi pemimpin. Kritik terhadap kebijakan pemerintah diperbolehkan dan bahkan dianjurkan, selama dilakukan dengan cara yang baik dan tidak melanggar hukum.

Akibat Menzalimi Rakyat

Menzalimi rakyat akan mendatangkan murka Allah dan siksa neraka bagi seorang pemimpin. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah mengharamkannya masuk surga." (HR. Bukhari)

Kezaliman pemimpin juga akan menimbulkan kemurkaan, kebencian, dan pemberontakan dari rakyat. Rakyat yang dizalimi akan berdoa kepada Allah agar segera mengganti pemimpin yang zalim dengan pemimpin yang adil.

Rakyat yang dizalimi juga akan kehilangan rasa hormat, cinta, dan loyalitas kepada pemimpin yang zalim. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial dalam masyarakat.

Akibat-akibat kezaliman pemimpin tidak hanya berdampak pada pemimpin itu sendiri, tetapi juga pada seluruh masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mencegah dan melawan kezaliman dengan cara-cara yang sesuai dengan syariat Islam.

Sikap yang Tepat terhadap Pemimpin Zalim

Unjuk Rasa Indonesia Gelap Koalisi Masyarakat Sipil
Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap program makan bergizi gratis. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)... Selengkapnya

Dalam menghadapi pemimpin yang zalim, kita perlu mempertimbangkan berbagai pendekatan, antara lain mendoakan kebaikan atau mendoakan keburukan. Mendoakan kebaikan lebih diutamakan, terutama jika masih ada harapan untuk perubahan dan perbaikan. Namun, jika kezaliman telah melampaui batas dan tidak ada harapan perbaikan, mendoakan keburukan diperbolehkan.

Sebelum mendoakan keburukan, sebaiknya kita mendahulukan mendoakan hidayah dan perbaikan bagi pemimpin tersebut. Kita juga perlu melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan cara yang baik dan bijaksana, tanpa menimbulkan perpecahan dan konflik.

Kritik dan perlawanan terhadap pemimpin zalim diperbolehkan, selama dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan syariat Islam dan tidak melanggar hukum. Kita harus menjaga batasan-batasan dalam menyampaikan kritik agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan.

Penting untuk membedakan antara mendoakan keburukan dan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Menjatuhkan pemerintahan yang sah hanya boleh dilakukan jika memenuhi syarat-syarat tertentu dalam syariat Islam.

Sikap yang tepat terhadap pemimpin zalim harus didasarkan pada prinsip keadilan, hikmah, dan kemaslahatan umat. Kita harus selalu berusaha untuk mengambil jalan terbaik yang sesuai dengan tuntunan agama.

Etika Mendoakan Pemimpin dalam Islam

Ilustrasi pasrah, berserah, berdoa
Ilustrasi pasrah, berserah, berdoa. (Photo by Jon Tyson on Unsplash)... Selengkapnya

Berdoa merupakan ibadah yang harus dilakukan dengan adab dan tata cara yang sesuai dengan syariat Islam. Niat yang tulus dan ikhlas sangat penting dalam berdoa.

Dalam mendoakan pemimpin, kita harus mendahulukan niat untuk perbaikan dan hidayah, bukan untuk balas dendam atau kepuasan pribadi. Doa yang dilandasi oleh dendam akan sia-sia.

Mendoakan keburukan bagi pemimpin harus dilakukan sebagai jalan terakhir, setelah berbagai upaya perbaikan dan nasihat telah dilakukan. Kita harus selalu berusaha untuk mencari solusi terbaik yang sesuai dengan syariat Islam.

Kita harus menjaga keseimbangan antara hak pribadi untuk berdoa dan kemaslahatan umat. Jangan sampai doa kita justru menimbulkan perpecahan dan konflik dalam masyarakat.

Kesimpulannya, mendoakan keburukan bagi pemimpin yang zalim diperbolehkan dalam Islam, terutama jika kezaliman tersebut telah menimbulkan kerusakan yang luas dan merugikan banyak orang. Namun, hal ini harus dilakukan dengan syarat-syarat tertentu dan dilandasi oleh niat yang tulus untuk menegakkan keadilan.

Kita harus selalu berusaha untuk mendahulukan doa untuk hidayah dan perbaikan bagi pemimpin tersebut. Amar ma'ruf nahi munkar juga perlu dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tidak menimbulkan perpecahan. Sikap yang tepat harus didasarkan pada prinsip keadilan, hikmah, dan kemaslahatan umat. Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjuk dan hidayah kepada kita semua.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya