Liputan6.com, Jakarta Kerajaan Islam pertama di Jawa memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Kesultanan Demak, sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, hadir pada perempat akhir abad ke-15 dan menjadi pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Dengan lokasi strategis di wilayah Bintoro dekat muara Sungai Demak, Jawa Tengah, kerajaan Islam pertama di Jawa ini berkembang dari kadipaten Majapahit menjadi kekuatan politik Islam yang berpengaruh.
Sebelum menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa, daerah Demak dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi. Wilayah yang awalnya merupakan kadipaten Majapahit ini bertransformasi menjadi pusat kekuasaan politik Islam setelah Majapahit melemah. Berdasarkan cerita tradisional, kerajaan Islam pertama di Jawa ini didirikan oleh Raden Patah, yang merupakan keturunan dari dinasti Majapahit dan memiliki darah campuran Tionghoa.
Advertisement
Baca Juga
Kerajaan Islam pertama di Jawa mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Trenggana pada awal hingga pertengahan abad ke-16. Pada masa ini, Kesultanan Demak berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau Jawa dan bahkan memiliki pengaruh hingga ke Sumatra bagian timur, seperti Jambi dan Palembang. Kejayaan kerajaan Islam pertama di Jawa tidak hanya ditandai dengan ekspansi wilayah, tetapi juga perannya dalam memperkuat penyebaran Islam dan membangun peradaban Islam di tanah Jawa.
Mari kita simak sejarah lengkapnya, dalam rangkuman yang telah Liputan6.com susun berikut ini, pada Rabu (5/3).
Asal Usul dan Pendirian Kesultanan Demak
Asal usul nama Demak memiliki beberapa versi berbeda menurut para sejarawan. Poerbatjaraka menyatakan bahwa nama Demak berasal dari bahasa Jawa "delemak" yang berarti "rawa", sedangkan menurut Hamka, nama ini berasal dari bahasa Arab "dimak" yang berarti "mata air" atau "air mata". Sejarawan Sutjipto Wiryosuparto mengusulkan bahwa nama Demak berasal dari bahasa Kawi yang bermakna "hadiah" atau "pusaka". Keberagaman asal usul nama ini menunjukkan pengaruh berbagai budaya yang berbaur dalam pembentukan kerajaan ini.
Pendirian Kesultanan Demak tidak diketahui dengan jelas dalam catatan sejarah. Menurut Tomé Pires dalam catatannya Suma Oriental, kota Demak tampaknya didirikan pada perempat akhir abad ke-15 oleh seorang Muslim, kemungkinan besar seorang Tionghoa bernama "Cek Ko-po". Anaknya mungkin adalah orang yang disebut Pires sebagai "Pate Rodim". Sementara itu, cerita tradisional Mataram yang lebih populer menceritakan bahwa Demak didirikan oleh Raden Patah, anak raja Majapahit terakhir.
Berdasarkan buku Sejarah oleh Nana Supriatna, Raden Patah adalah seorang putra Raja Majapahit yang menikah dengan seorang wanita Tionghoa. Sebelum mendirikan Kesultanan Demak, Raden Patah diperintahkan oleh gurunya, Sunan Ampel dari Surabaya, untuk merantau ke barat dan bermukim di daerah yang dilindungi oleh tanaman gelagah wangi. Daerah ini kemudian dikenal sebagai Gelagahwangi atau Bintoro sebelum akhirnya menjadi Demak.
Berdirinya Kesultanan Demak merupakan puncak dari perjuangan Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Sebelum kerajaan ini berdiri secara resmi, telah didirikan Masjid Agung Demak yang prosesnya melibatkan Walisongo. Masjid ini kemudian menjadi jantung penyebaran agama Islam dan penanaman akidah Islam di Demak.
Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap, dimulai pada tahun 1466 sebagai bangunan Pondok Pesantren Gelagahwangi di bawah pengasuhan Sunan Ampel, kemudian dibangun kembali pada tahun 1477 sebagai masjid Kadipaten Gelagahwangi Demak, dan akhirnya direnovasi pada tahun 1478 ketika Raden Patah diangkat menjadi Sultan I Demak.
Advertisement
Masa Kejayaan dan Ekspansi Kesultanan Demak
Masa kejayaan Kesultanan Demak dimulai ketika Pati Unus, anak dari Raden Patah, naik tahta menjadi Sultan Demak pada tahun 1507. Menurut catatan Tomé Pires, Pati Unus melaksanakan politik ekspansi dan memperkuat hegemoni perdagangan di Selat Malaka dan Laut Jawa. Pada tahun 1512 dan 1513, Pati Unus bahkan melancarkan serangan terhadap Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Meskipun serangan ini tidak berhasil, upaya ini menunjukkan ambisi Demak untuk menjadi kekuatan maritim yang dominan di kawasan tersebut.
Ekspansi Kesultanan Demak mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Trenggana yang berkuasa dari tahun 1521 hingga 1546. Pada tahun 1527, pasukan Demak berhasil merebut ibu kota Kerajaan Majapahit, sehingga mengakhiri riwayat kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Jawa tersebut. Selanjutnya, Demak melakukan ekspansi ke beberapa kerajaan kecil seperti Banyumas, Bagelen, Klungkung, Pengiang, Terung dan Tuban. Kerajaan-kerajaan kecil bercorak Hindu seperti Wirasari, Madiun, Blora, Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Blitar, Wirasaba, Kediri dan Blambangan juga berhasil ditaklukan dan dipersatukan di bawah kekuasaan Kesultanan Demak.
Sultan Trenggana berjasa besar dalam penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah kepemimpinannya, Demak juga berhasil merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana pada tahun 1527. Serangan ini dipimpin oleh Fatahillah, seorang panglima perang Demak yang berasal dari Pasai (Sumatra) dan juga merupakan menantu Sultan Trenggana. Setelah kemenangan ini, Fatahillah mengganti nama pelabuhan tersebut menjadi Jayakarta, yang kelak menjadi cikal bakal kota Jakarta.
Selain Fatahillah, tokoh penting lainnya dalam ekspansi Demak adalah Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, yang diperintahkan oleh Sultan Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Keturunan Maulana Hasanudin kemudian menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sementara itu, Sunan Kudus yang merupakan imam di Masjid Demak juga menjadi pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum akhirnya pindah ke Kudus dan mendirikan pusat penyebaran Islam di sana.
Sistem Ekonomi dan Perdagangan
Kesultanan Demak memiliki sistem ekonomi yang kuat berbasis perdagangan maritim dan pertanian. Menurut catatan Tomé Pires pada abad ke-16, komoditas utama yang menjadi ekspor Demak adalah beras, rempah-rempah, dan buah-buahan. Tujuan ekspor komoditas tersebut adalah Melaka dan Maluku yang diangkut dengan jung dan penjajap, jenis kapal tradisional Nusantara. Posisi strategis Demak di pesisir utara Jawa memungkinkannya untuk berperan aktif dalam jaringan perdagangan maritim di kawasan Asia Tenggara.
Pires juga mencatat bahwa Demak telah menjadi tempat penimbunan padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sekitarnya. Peranannya dalam menjadi pusat kegiatan ekonomi pertanian semakin penting setelah keruntuhan Juwana pada 1513. Selain itu, perbudakan juga disebut Pires sebagai salah satu komoditas Demak, meskipun tidak diketahui dengan pasti apakah perdagangan budak masih terjadi pada masa itu. Demak juga melakukan kegiatan impor berupa hewan-hewan dan pakaian dari Melaka, Gujarat, dan Benggala.
Sistem perekonomian Demak didukung dengan penggunaan mata uang baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebuah Berita Tiongkok dari awal abad ke-15 menyebutkan bahwa mata uang tembaga dari Tiongkok umum digunakan sebagai mata uang di Jawa. Pires juga mencatat hal serupa, dan menambahkan bahwa mata uang Portugis juga dikenal dan disukai oleh orang Jawa. Terdapat juga mata uang lokal Jawa, yang disebut Pires sebagai tumdaya atau tael. Penggunaan berbagai mata uang ini menunjukkan keterkaitan ekonomi Demak dengan jaringan perdagangan internasional pada masa itu.
Pelabuhan Bergota di Jepara menjadi pusat kerajaan dan aktivitas perdagangan maritim Kesultanan Demak. Dari pelabuhan ini, Demak mengendalikan jalur perdagangan di sepanjang pantai utara Jawa dan memperluas pengaruhnya hingga ke pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa dan Sumatra. Kontrol atas jalur perdagangan strategis ini menjadi salah satu faktor penting dalam kejayaan ekonomi Kesultanan Demak selama periode kekuasaannya.
Advertisement
Kemunduran dan Akhir Kesultanan Demak
Kesultanan Demak mulai mengalami kemunduran setelah wafatnya Sultan Trenggana pada tahun 1546. Ia terbunuh dalam sebuah pertempuran saat berusaha menaklukkan Panarukan, Situbondo. Suksesi kepemimpinan setelah Trenggana tidak berlangsung mulus dan menjadi awal dari konflik internal yang melemahkan kerajaan ini. Sunan Prawoto, anak Trenggana, naik tahta sebagai raja Demak keempat, tetapi hanya berkuasa selama satu tahun.
Konflik internal semakin memanas ketika pada tahun 1547, Sunan Prawoto dan istrinya dibunuh oleh Rungkud, pengikut Pangeran Arya Penangsang yang merupakan putra Pangeran Surowiyoto (Pangeran Sekar). Pangeran Arya Penangsang adalah Adipati Jipang dan murid kesayangan Sunan Kudus yang berambisi menjadi raja Demak. Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, penguasa Jepara atau Kalinyamat yang merupakan suami Ratu Kalinyamat. Peristiwa ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak berbalik memusuhi Pangeran Arya Penangsang.
Puncak dari konflik perebutan tahta ini terjadi ketika Arya Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya), yang tergabung dalam Pasukan Pajang saat menyerang Jipang. Joko Tingkir sendiri adalah menantu Sultan Trenggana yang menjadi Adipati Pajang. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang, berakhirlah era Kesultanan Demak setelah hanya bertahan sekitar 79 tahun.
Setelah kemenangan atas Arya Penangsang, Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang dan mendirikan Kesultanan Pajang. Perpindahan pusat kekuasaan ini menandai berakhirnya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa dan dimulainya era baru dalam sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Kesultanan Pajang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Mataram Islam yang kelak menjadi kerajaan Islam terbesar di Jawa.
Peninggalan Bersejarah Kesultanan Demak
Sebagai kerajaan Islam yang berpengaruh di Jawa, Kesultanan Demak meninggalkan sejumlah peninggalan bersejarah yang menjadi bukti kejayaan dan pengaruhnya dalam penyebaran Islam. Peninggalan paling terkenal dari Kesultanan Demak adalah Masjid Agung Demak yang berlokasi di Desa Kauman, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masjid yang didirikan pada tahun 1479 Masehi ini menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia dan menyimpan berbagai artefak bersejarah.
Di dalam Masjid Agung Demak terdapat Saka Tatal atau Saka Guru, yaitu empat tiang utama yang menurut catatan sejarah dibuat langsung oleh Walisongo. Tiang di sebelah barat laut dibuat oleh Sunan Bonang, tiang di barat daya oleh Sunan Gunung Jati, tiang di tenggara oleh Sunan Ampel, dan tiang di timur laut oleh Sunan Kalijaga. Selain itu, terdapat juga Saka Majapahit, yaitu tiang penyangga yang terletak di teras Masjid Agung Demak. Saka ini disebut Majapahit karena serambi tersebut memiliki delapan tiang bergaya Majapahit yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Majapahit.
Peninggalan penting lainnya adalah makam Sunan Kalijaga, salah satu anggota Walisongo yang berdakwah di wilayah Jawa. Sunan Kalijaga wafat pada tahun 1520 dan dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak. Makam ini hingga kini menjadi tempat ziarah bagi umat Islam di Indonesia. Selain itu, terdapat juga Situs Kolam Wudhu yang digunakan sebagai tempat berwudhu oleh Walisongo dan para santri Raden Fatah. Tempat ini juga pernah dijadikan sebagai lokasi sayembara untuk menentukan sultan keempat di Kesultanan Demak Bintoro.
Dampar Kencana, kursi kuno yang berfungsi sebagai singgasana para raja Demak, juga merupakan peninggalan berharga dari Kesultanan Demak. Singgasana ini merupakan hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi dari Kerajaan Majapahit kepada Raden Patah, diberikan saat Raden Patah dinobatkan sebagai raja di Kesultanan Demak Bintoro. Peninggalan ini menunjukkan adanya hubungan dan kontinuitas antara Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Demak, meskipun kedua kerajaan memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda.
Berbagai peninggalan Kesultanan Demak ini tidak hanya memiliki nilai arkeologis dan historis, tetapi juga nilai religius dan kultural yang penting bagi masyarakat Indonesia. Peninggalan-peninggalan ini menjadi bukti konkret peran Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa yang menjadi tonggak penting dalam proses Islamisasi dan perkembangan peradaban Islam di Nusantara.
Advertisement
