Salah Kaprah Persepsi SE Pengeras Suara, Ketua Komisi VIII DPR Buka Suara

Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala beberapa hari terakhir ini menjadi perbincangan publik. Pro kontra pun muncul dari berbagai elemen masyarakat.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 04 Mar 2022, 06:00 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2022, 06:00 WIB
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto. Foto: Jaka/Man.

Liputan6.com, Surabaya - Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala beberapa hari terakhir ini menjadi perbincangan publik.

Pro kontra pun muncul dari berbagai elemen masyarakat. Terlebih saat aturan pengeras suara itu dipersepsikan sebagai aturan suara azan atau azan.

Menanggapi SE Menag Nomor 05 Tahun 2022, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto buka suara. Pada dasarnya dia selaras dengan Kementerian Agama (Kemenag) bahwa aturan pengeras suara dalam SE tersebut sama sekali tidak melarang azan.

Yandri juga menyebut SE yang dikeluarkan Menag Yaqut Cholil Qoumas itu tidak melarang toa, yang ada adalah mengatur volumenya.

"Yang paling keren itu, menurut saya betul kata pak Menteri Agama. Menteri Agama tidak melarang azan, tidak melarang toa, tidak melarang yang lain, yang diatur itu adalah volumenya. Nah, tadi volumenya harapan saya tidak disamaratakan," katanya dalam video dikutip dari Instagram @kemenag_ri, Kamis (3/3/2022).

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Aturan Tidak Disamaratakan

Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto dalam konferensi pembatalan pemberangkatan haji 2021 di Kementerian Agama. (dokumentasi Kemenag)

Menurut politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini, SE Menag Nomor 05 Tahun 2022 tujuannya sangat baik. Namun, ia berharap aturannya tidak disamaratakan antardaerah

"Sebab, kondisi antara daerah berbeda-beda. Untuk itu, perlu ditambahkan satu klausul yang memperhatikan kearifan lokal," ujar Yandri.

Lebih lanjut Yandri mencontohkan, kondisi di Papua berbeda dengan Aceh. Kondisi Aceh juga berbeda dengan Banten, Bengkulu, Jawa Timur, dan lainnya.

"Di Ciputat, penduduknya hampir 400 ribu. Sementara kalau di Sumatera, itu jumlah penduduk untuk satu kabupaten, di Papua malah dua kabupaten," jelasnya.

Di sisi lain, akun Instagram centang biru Kemenag RI mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Indonesia atas saran dan kritikannya.

"Insya Allah Kementerian Agama kedepannya dapat lebih baik lagi dalam melaksanakan transformasi layanan umat," tulisnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya