Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA, dulunya memiliki cita-cita masa kecil yang sederhana seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Pria kelahiran Ujung Bone, Sulawesi Selatan, ini pernah bermimpi menjadi seorang mantri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mantri adalah pangkat atau jabatan tertentu yang memiliki keahlian khusus. Dalam konteks kesehatan, mantri merujuk pada tenaga medis yang memiliki kemampuan merawat pasien, memberikan obat, dan menyarankan pengobatan.
Baca Juga
Tak jarang, para perawat di puskesmas atau posyandu desa dipanggil dengan sebutan 'Pak Mantri' atau 'Bu Mantri'.
Advertisement
Tak disangka, Nasaruddin justru ditakdirkan menjadi menteri --- bukan mantri --- dan kini memegang amanah besar sebagai pemimpin urusan umat beragama di Indonesia.
Perjalanan hidupnya dipenuhi nilai-nilai luhur yang ditanamkan sang ayah, H. Andi Muhammad Umar, seorang guru bantu di Sekolah Rakyat (SR) di kampung halaman mereka.
Bukan hanya sebagai ayah biologis, Andi Muhammad Umar juga guru kehidupan pertama bagi Menteri Agama Nasaruddin Umar, seperti dikutip di laman resmi Kementerian Agama RI pada Selasa, 8 April 2025.
Wejangan Sang Ayah Jadi Motivasi
Meski tak bergaji, ayah Nasaruddin tetap mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan. Dalam keterbatasan ekonomi, dia menanamkan pentingnya ilmu dan semangat pantang menyerah kepada anak-anaknya.
Bahkan, ketika harus merantau ke Surabaya dan menjadi buruh pelabuhan, semangat sebagai pendidik tak pernah padam dalam diri Andi Muhammad Umar.
Keputusannya untuk kembali ke kampung halaman demi mengisi kekosongan guru menjadi bukti nyata dedikasi dan rasa tanggung jawabnya. Nasaruddin kecil pun tumbuh dengan wejangan yang terus terngiang dalam benaknya:
"Jangan balas dendam secara fisik. Kalau ingin membalas, balaslah dengan menempuh pendidikan, bersekolah."
Kalimat itu menjadi prinsip hidup Nasaruddin dan cambuk untuk terus berprestasi. Ayahnya bukan orang biasa.
Dia merupakan salah satu perintis Gerakan Pemuda Ansor di Sulawesi Selatan. Nasionalisme yang kuat dalam dirinya turut membentuk kecintaan Nasaruddin pada Tanah Air.
Advertisement
Masa Kecil, Madrasah, dan Awal Ketertarikan pada Dunia Spiritual
Masa kanak-kanak Nasaruddin di Ujung Bone dipenuhi suasana religius. Ia belajar di Madrasah As’adiyah Cabang 7 yang menggunakan sistem Massikola Ara, sekolah umum di pagi hari dan madrasah agama di sore hari. Di sinilah benih ketertarikannya terhadap dunia spiritual mulai tumbuh.
Cita-cita menjadi mantri sempat muncul, terinspirasi dari sosok pamannya. Namun, seorang ulama bijak, KH. Muh. Amin, melihat potensi besar dalam diri Nasaruddin dan menyarankannya untuk melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren As’adiyah.
Keputusan ini menjadi titik balik dalam hidupnya. Di pesantren, bakat keagamaannya berkembang pesat dan mengungguli teman-teman seusianya.
Kisah Pilu Menteri Agama Nasaruddin Umar di Masa Kecil
Nasaruddin tidak berasal dari keluarga kaya. Saat kecil, dia bahkan sempat pingsan selama dua hari pasca disunat akibat keterbatasan ekonomi. Namun, segala kesulitan justru membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan penuh empati.
Pesan sederhana dari kedua orangtuanya terus membimbingnya:
"Assikolaki nak mancaji tau." (Sekolahlah, Nak, agar menjadi orang.)
Mantra itu mengantarkannya meraih gelar demi gelar, baik di dalam maupun luar negeri.
Perjalanan hidupnya tak hanya berkutat di pesantren dan akademisi. Nasaruddin juga pernah mendampingi dua tokoh nasional, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto.
Bahkan, Prabowo pernah membantunya secara pribadi saat dia menempuh pendidikan di luar negeri --- sebuah bentuk dukungan lintas batas yang ia kenang dengan hangat.
Advertisement
Membumikan Moderasi dan Memajukan Pesantren
Kini, di kursi Menteri Agama, Nasaruddin Umar membawa seluruh nilai-nilai hidup yang tertanam sejak kecil. Saat berkunjung ke Pondok Pesantren Al Ikhlas di Ujung Bone, Sulawesi Selatan --- pesantren yang didirikannya sendiri—ia memberi semangat kepada para santri:
"Para anak-anakku santri, tidak boleh tunduk dengan keadaan, seberat dan sesulit apa pun. Kita harus tetap berjuang."
Pesantren Al Ikhlas kini memiliki 15 cabang di berbagai daerah. Didirikan dengan visi mencetak pemimpin bangsa dan dunia yang berwawasan global, pesantren ini memadukan nilai-nilai agama, kebangsaan, dan teknologi.
Di tengah tantangan zaman, Nasaruddin bertekad menjadikan pesantren sebagai garda terdepan dalam menjaga tradisi Indonesia dan mengarusutamakan moderasi beragama.
