Liputan6.com, Jakarta Tanpa satu periode pada masa perkuliahan, di mana otaknya diinjeksi dengan teori-teori seni modern, Balai Budaya selama 12-21 Mei 2015 mungkin akan diisi dengan karya-karya lukis berbeda. Jika kemungkinan itu diperinci, aliran yang patut disebut adalah naturalisme.
Lukisan gunung Lawu dengan danaunya yang biru karya pelukis naturalis Sudjono Abdullah, kakak dari seniman ternama Basuki Abdullah, selalu membuat langkah Sri Warso Wahono muda terhenti dalam perjalanannya dari dan menuju SMP Kristen 2 Solo, tempatnya belajar. Bersentuhan langsung dengan puncak Lawu, gunung kemudian menjadi objek lukisnya selama beberapa waktu lamanya.
Baca Juga
Kini jika ditanya tentang kapan dirinya mulai melukis, Sri Warso akan menyebut masa kelas 2 SMP di tahun 1964 itu sebagai jawabannya. Jiwa naturalis Sri Warso dalam memainkan kuas di atas kanvas semakin kuat kala menginjak bangku SMA Margoyudan dimana ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh Himpunan Budaya Surakarta.
Advertisement
Dalam pameran tunggalnya yang ke-18 di Balai Budaya, jejak naturalisme seni itu hanya samar-samar – jika tak dapat dikatakan hilang sepenuhnya. Dari 19 lukisan yang ditampilkan, hanya segelintir yang inspirasinya adalah kondisi natural suatu lansekap. Salah satunya adalah lukisan berukuran 140 x 140 cm dari tahun 2008 berjudul `Jakarta di waktu Malam`. Itupun ekspresi afeksinya lebih terasa dengan sepenggal kalimat berbunyi “Aku terpagut dalam cahaya dan tebaran debu macetmu”. Lukisan sepasang kekasih di bawah purnama berjudul `Kesetiaan` menjadi ekspresinya yang lebih romantis.
`Jakarta 18` yang menjadi judul pameran karya pria kelahiran 1948 ini didominasi dengan kreasi artistik atas sudut pandang sang seniman terhadap bentang sosio-politik Indonesia. Potongan-potongan koran berisi bahasan kasus korupsi menyatu di atas kanvas bersama figur-figur manusia yang digantung. Lukisan tahun 2014 itu diberinya judul `Penghargaan Koruptor`. Bisa dibaca bait-bait puisi buatan Sri Warso yang ditulis di lukisan itu.
Cukup panas. Begitulah suasana Balai Budaya saat Liputan6.com berkunjung ke pameran pada siang itu, Senin 18 Mei 2015. Bangunan bersejarah dalam kehidupan seni Indonesia tersebut jelas terlihat terbengkalai. Dengan menggelar ekshibisi lukis di tempat ini, Sri Warso memberi stimulan pada seniman lain agar tak melupakan tempat tersebut sebagai pilihan lokasi berpameran.
“Dulu banyak seniman yang berkegiatan di sini, seperti Sindoedarsono Soedjojono, W.S. Rendra, Affandi Koesoema, Chairil Anwar, Umar Kayam, Jacob Oetama, dan lainnya. Para seniman Senen juga sering kumpul di sini,” cerita Sri Warso di hadapan lukisan besar yang menceritakan perayaan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Lukisan yang menjadi latar saat dirinya berbincang dengan Liputan6.com itu berseberangan dengan karya `Penghargaan Koruptor` dan bersejajaran dengan lukisan-lukisan bertema Rampogan.
Figur manusia-manusia dengan rupa terdeformasi tampil serupa mayat yang berjejal dalam susunan bidang mirip batu megalitik di karya `Rampogan Nurani`. Dalam pewayangan, rampogan muncul sebagai pembuka mata kesadaran tentang tengah terjadinya sesuatu yang tak beres. Jika karya Rampogan Nurani dan karya-karya Sri Warso bertema politik dijahit menggunakan “benang merah”, maka dapat terlihat secara holistik bagaimana seniman yang pertama kali menghelat pameran tunggal tahun 1972 ini menempatkan problema peradaban itu pada satu hal esoterik.
Kebusukan politik tumbuh dari kematian nurani. Demikian yang bisa diinterpretasikan dari rangkaian karya Sri Warso pada pameran `Jakarta 18` ini. Bagaimana kondisi nuraninya sendiri adalah apa yang juga menjadi perhatiannya terkait pilihan hidup untuk menjadi seniman. Sri Warso menyebut keputusannya menjadi pelukis sebagai keputusan menapaki jalan sunyi.
“Yang saya dapat dari jalan sunyi itu adalah ketentraman jiwa dan pemberadaban. Di jalan itu saya diarahkan menjadi seorang yang bermartabat. Tidak bertikai hanya karena uang,” tutur Sri Warso yang telah 53 tahun menggeluti dunia seni.
Sri Warso yakin mengatakan, “Hidup saya itu melukis”. Keyakinan ini diakuinya sudah hadir sejak masih menjadi mahasiswa. Sri Warso lulus dari IKIP jurusan Seni Rupa di Solo pada tahun 1975. Langsung hijrah ke Jakarta setelah itu, Sri Warso kemudian bergabung dengan teman-teman seniman dan senior-seniornya, seperti Umar Kayam, Affandi, dan lain sebagainya. “Banyak senior-senior yang memberikan satu motivasi untuk meyakinkan bahwa melukis adalah sebuah pilihan yang tidak jelek,” kenang Sri Warso.
Rekam jejak Sri Warso di dunia seni juga meliputi pendiri Dewan Kesenian Surakarta bersama beberapa seniman termasuk Arswenso Atmowiloto – yang juga membuka Pameran Jakarta 18 – , Anggota Dewan Kesenian Jakarta selaku Ketua Komite Senirupa (1985), Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta (2001-2004), mengikuti berbagai pameran di dalam negri maupun mancanegara, dan lain sebagainya.
Dari perjalanannya di dunia seni, Sri Warso Wahono melihat bahwa karya-karya seni rupa seniman Indonesia sesungguhnya memiliki warna yang dapat diandalkan. Yang harus diperhatikan oleh semua elemen, termasuk pemerintah, adalah bagaimana cara menggarap dan memperlakukan hal tersebut dengan baik. (bio/ret)