Kisah Perempuan Dayak yang Tercebur Jadi Petani Sorgum di Flores

Tak hanya menyejahterakan dirinya sendiri, perempuan Dayak itu juga memberdayakan petani sekitarnya dengan sorgum.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 17 Okt 2018, 21:30 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2018, 21:30 WIB
DBS
Maria Loretha berjuang sosok penati sorgum ulet yang menjadi salah satu destinasi Your Daily Kindness Trip. (edy Suherli/Fimela.com)

Liputan6.com, Jakarta - Masih dalam semangat peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober, mari kita berkenalan dengan Maria Loretha. Perempuan tangguh itu membudidayakan tanaman sorgum di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sekaligus memberdayakan petani sekitarnya untuk mengembangkan tanaman yang banyak diminati pasar dunia tersebut.

Pertemuan dengan Mama Tata --begitu ia biasa disapa— terjadi lewat acara DBS Live More Society Daily Kindness Trip, Sabtu, 13 Oktober 2018. Jelajah Nusa Nipah (nama lawas untuk pulau Flores) berawal dari Larantuka, Pulau Solor, Maumere, dan berakhir di Ende.

"Selamat datang di ladang sorgum kami. Senang sekali bisa menerima tamu-tamu jauh," sapaan ramah dan bersahabat itu meluncur dari bibir perempuan yang masih ada garis keturunan suku Dayak Kanyatan ini sudah seperti logat perempuan Flores pada umumnya.

Mama Tata 'terdampar' di Flores karena keadaan. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998 memaksa dia dan suaminya, Jeremias D. Letor, pulang kampung.

Bercocok tanam di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur menjadi pilihan pasangan yang semula bermukim di Malang Jawa, Timur ini.

Jalan mulus beraspal antara Larantuka dan Maumere memang tak sebanding dengan jalanan bebatuan menuju ladang sorgum Desa Likotuden tempat Mama Tata berladang kini. Namun, luasnya ladang sorgum yang berlatar perbukitan dan lautan membuat panorama di tempat ini begitu menakjubkan.

"Desa ini belum merdeka, sepertinya," kelakar salah seorang peserta trip yang harus bergoyang ke kiri dan ke kanan karena mobil yang melewat jalan berbatu.

Sebelum menanam sorgum, perempuan yang meraih penghargaan Kehati Award 2012 ini sempat menanam tanaman pangan lainnya, seperti padi dan jagung. Namun, pilihannya jatuh kepada sorgum untuk situasi dan kondisi alam Flores.

 

Ramah Lingkungan

[Fimela] Sharon Issabella
Sharon Issabella, AVP External Communications & Community PT Bank DBS Indonesia. (Nikki Fadlin/DBS Bank)

Sorgum ternyata adalah tanaman yang pas untuk lahan panas dan kering seperti di daerah Flores. "Kalau padi atau jagung butuh penyiraman. Sedangkan, sorgum setelah tanam dia demikian. Pohon sorgum punya kemampuan menyerap air yang mengembun di malam hari," katanya.

Kelebihan sorgum lainnya adalah tahan terhadap hama rumput. Setelah tanaman meninggi, rumput-rumpun kecil akan kalah. Berbeda dengan sawah yang selalu mendapat bonus rumput meski yang ditanam adalah padi.

Pupuk dan pestisida, kata Mama Tata, juga tak dibutuhkan. Sorgum yang mereka kembangkan adalah organik.

Dalam setahun, sorgum sarjana pertanian sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang itu bisa tiga kali panen. Usia tiga bulan, panen pertama bisa dilakukan.

Setelah itu, akan tumbuh tunas baru dan kemudian berbunga dan berbuah lagi. Begitu seterusnya untuk kali ketiga. Setelah itu, sorgum harus ditebang dan ditanam baru untuk hasil yang maksimal.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya