Liputan6.com, Jakarta Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggemparkan dunia dengan pengumuman kebijakan tarif impor AS yang baru ke banyak negara. Kemudian secara tiba-tiba dia kembali mengumumkan penundaan tarif impor ke banyak negara hingga 90 hari kecuali bagi China.
Terkait kebijakan tarif Donald Trump, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Aminuddin Ma’ruf mengatakan ini menjadi tantangan bagi Indonesia dan momentum untuk revitalisasi industri.
Advertisement
Baca Juga
“Tantangan bagi kita untuk momentum untuk kita lebih revitalisasi industri,” kata Aminuddin kepada wartawan usai menghadiri acara Dharma Santi Nyepi BUMN 2025 di Gedung Sasono Utomo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Minggu, (13/4/2025).
Advertisement
Pada kesempatan yang sama, Aminuddin menuturkan terkait Inbreng saham BUMN ke Danantara masih berproses.
“Proses ya, pada saatnya nanti semua kecuali perum.” ujar Aminuddin.
Perseroan Terbatas yang Masuk Terlebih Dahulu
Sebelumnya, Aminuddin menegaskan, nantinya baru BUMN berstatus Perseroan Terbatas (PT) atau persero yang masuk ke Danantara lebih dahulu. Sementara itu, BUMN dalam bentuk Perusahaan Umum (Perum) belum akan dipindahkan.
Dia mengatakan, nasib BUMN Perum masih dibahas oleh Kementerian BUMN. Ada opsi agar Perum ditransformasi jadi PT atau dikembalikan kementerian teknis menjadi Badan Layanan Umum (BLU).
"Masih kita bahas, ada beberapa opsi untuk yang di perum itu. Bisa kita naikkan statusnya jadi persero. Bisa juga kita kembalikan ke kementerian teknis untuk jadi BLU. Tapi belum diputuskan seperti apa," ujarnya ditemui disela-sela peresmian Kawasan Ekonomi Khusus Industropolis Batang, Jawa Tengah, ditulis Jumat (21/3/2025).
Kendati proses inbreng saham dilakukan dalam waktu singkat, Amin memastikan kegiatan operasial BUMN tidak akan terganggu.
Perang Dagang AS-China Memanas, Investor Bisa Kabur
Perang tarif antara Amerika Serikat dan China memanaskan persaingan dagang antara kedua negara. Investor di berbagai negara lain, termasuk Indonesia dikhawatirkan hengkang.
Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menyampaikan kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump akan turut berpengaruh ke Indonesia. Belum lagi ada serangan balasan dengan tarif tinggi oleh China bagi produk asal AS.
"Jadi pengaruh langsungnya itu kalau ke Indonesia bahwa proses premature deindustrialization (deindustrialisasi dini) ini akan berlanjut dan akan sulit untuk diantisipasi kalau ini dibiarkan," kata Ronny saat dihubungi Liputan6.com, dikutip Sabtu (12/4/2025).
Kebijakan Donald Trump diprediksi akan berpengaruh pada penguatan nilai mata uang dolar AS. Ketika ekonomi global dilanda ketidakpastian, investor bakal mencari instrumen yang lebih aman, salah satunya adalah aset berbasis dolar.
"Biasanya memang dolar akan menguat dalam kondisi seperti ini karena dolar dianggap sebagai salah satu safe haven dan hard currency. Di mana ketika ketidakpastian ekonomi semakin bertambah maka para investor dan pemegang aset itu akan berpindah kepada dolar berpindah kepada aset berdenominasi dolar," katanya.
"Sehingga membuat permintaan terhadap dolar meningkat nilai dolar semakin bertambah dan nilai rupiah semakin melemah karena banyak yang melepas rupiah," imbuh Ronny.
Advertisement
Biaya Produksi Naik
Dampak turunannya, biaya impor bahan-bahan yang dibutuhkan oleh Indonesia akan bertambah. Mengingat lagi, banyak industri di Tanah Air yang membutuhkan bahan baku dari luar negeri.
"Nah kalau biaya impornya bertambah maka biaya produksi dalam negeri akan bertambah dan akan membuat harga-harga produk manufaktur dalam negeri menjadi bertambah dan naik," terangnya.
Daya Beli Melemah hingga Ancaman PHK
Berikutnya, daya beli masyarakat turut akan terdampak negatif imbas dari kenaikan harga di sektor hilir. Lebih jauh, ancaman tersebut menimbulkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena industri manufaktur yang melemah.
"Ini akan menciptakan inflasi juga, akan menekan daya beli dan akan membuat biaya produksi di sektor industri kita bertambah yang membuat sementara pasarnya berkurang, akan membuat permintaannya berkurang lalu membuka peluang untuk terjadinya PHK lebih lanjut di sektor industri manufaktur," jelas Ronny.
