Liputan6.com, Jakarta Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, berupaya memperkuat ketahanan pangannya. Salah satunya dengan merevitalisasi sorgum sebagai sumber ketahanan dan kemandirian pangan lokal. Dahulu, sorgum merupakan sumber karbohidrat utama warga Manggarai, tapi beberapa tahun terakhir penganan ini nyaris punah.
Sebagai bagian dari langkah positif mewujudkan tekad tersebut, para petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Lembor (APEL) menggelar panen raya sorgum yang dipusatkan di Kampung Pocokoe, Desa Ngancar, Kecamatan Lembor, pada Sabtu, 3 Maret 2018 lalu.
Panen raya itu dihadiri Bupati Manggarai Barat Agustinus CH Dula dan Wakil Bupati Maria Geyong, didampingi tujuh kepala dinas, serta perwakilan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) sebagai lembaga yang mendampingi APEL dalam budi daya kembali sorgum di daerah tersebut.
Advertisement
Baca Juga
“Ini sebuah revolusi. Di mana, kita melihat sendiri hasil panen sorgum di lapangan. Oleh karena itu, saya resmikan Desa Ngancar ini sebagai desa sorgum," ujar dia dalam keterangannya, Selasa (27/3/2018).
Ke depan, lanjut Agustinus, Pemkab Manggarai Barat akan memberikan perhatian khusus bagi pengembangan sorgum di Kecamatan Lembor. Hal tersebut sebagai upaya mengembalikan sorgum sebagai makanan pokok sekaligus sumber ketahanan pangan lokal.
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pertanian Manggarai Barat, Anggalinus Apul. Sebagai upaya menjaga ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional dan daerah, pengembangan pangan lokal seperti sorgum ini akan terus digalakkan di Kabupaten Manggarai yang mempunyai banyak lahan kering, di mana sangat cocok untuk budi daya tanaman tersebut.
"Saya mengapresiasi upaya Apel ini. Dinas Pertanian Manggarai Barat pada tahun 2019 akan memprogramkan pengembangan sorgum seluas 50 hektare," ungkap Anggalinus.
Â
Sorgum Nyaris Punah
Manajer Ekosistem Pertanian Kehati, Puji Sumedi, mengatakan, kegiatan penanaman sorgum yang dilakukan di Lembor sebagai salah satu upaya pelestarian sumber pangan lokal di kawasan lahan kering di Flores daratan, Lembata, Solor dan Adonara. Hal tersebut merupakan bagian dari implementasi Gerakan Koridor Pangan Lokal di Flores, dalam bentuk budi daya dan pengolahan pascapanen.
"Kehati bekerja sama dengan kelompok petani lokal yang tergabung dalam Perhimpunan Pangan Lokal Flores yang diketuai Maria Loretha untuk kembali melestarikan sumber pangan karbohidrat sorgum yang beragam, bergizi, dan baik untuk kesehatan, serta memberikan peningkatan ekonomi bagi petani setempat," kata Puji.
Dia menemukan Sorgum tumbuh bagus, dengan hasil panen sangat memuaskan di lahan kering. "Target awal kami seluas 10 hektare, dan hasilnya saat ini menjadi 15 hektare," tandas Bagas.
Sorgum atau yang dikenal dengan nama lokal mesak, sudah nyaris punah di Manggarai Barat karena tak lagi dibudidayakan dan dikonsumsi masyarakat. Desakan jenis makanan pokok dari luar, seperti beras, menggeser eksistensi sorgum sebagai makanan pokok khas setempat.
Padahal, dahulu tanaman ini menjadi sumber karbohidrat utama yang dikonsumsi oleh masyarakat di kabupaten ini dan banyak wilayah di NTT.Â
Sejak tahun 2013, para petani yang tergabung dalam Apel bersama Yayasan Kehati, menanam kembali sorgum di pekarangan, kebun, dan lahan marginal atau lahan tidur di Pocokoe, Raminara, Sambir Lalong , serta areal persawahan sekitar Munting dan Leweng di Kecamatan Lembor dan Lembor Selatan.
Pada akhir 2017, para petani kembali menanami lahan mereka dengan sorgum, yang dipusatkan di Pocokoe, Desa Ngancar, dan Sambir Lalong.
"Ada enam jenis sorgum yang ditanam, yaitu sorgum manis batang tinggi warna merah, kuning, dan hitam. Lalu, sorgum pendek jenis kuali dan numbu. Selain itu, juga dilakukan pembibitan bambu dengan sistem kepompong untuk konservasi lahan," jelas Benedictus Pambur, Ketua Kelompok Apel.
Ada lebih dari 30 orang anggota yang aktif menanam sorgum dengan luasan 15 hektare. Mereka membentuk usaha bersama perintis untuk kegiatan ekonomi kelompok ini.
Â
Advertisement