Liputan6.com, Jakarta - Hari Anak Nasional (HAN) selalu diperingati setiap tahun pada 23 Juli. Banyak cerita menarik yang jarang diketahui publik mengenai Presiden Indonesia ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur saat anak-anak.
Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur: The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid menceritakan tentang sosok Gus Dur saat anak-anak. Greg menulis, menurut sanak saudaranya yang lebih tua, Gus Dur adalah anak yang tumbuh subur dan tak bisa ditekan.
Advertisement
Baca Juga
"Kadang-kadang, demikian kata mereka, ia diikat dengan tambang di tiang bendera di halaman depan sebagai hukuman bagi leluconnya yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan," tulis Greg dalam halaman 40 dalam buku itu.
Ketika belum genap berusia 12 tahun, Gus Dur telah dua kali mengalami patah lengan akibat kegemarannya memanjat pohon. Pertama-tama, lengannya patah karena dahan yang diinjak patah.
"Kemudian, ia hampir kehilangan tangannya. Ketika itu, ia mengambil makanan dari dapur dan kemudian memakannya di atas dahan sebuah pohon besar," jelas Greg Barton.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Keenakan di Atas Pohon
Karena keenakan di atas pohon, tulis pengamat NU ini, ia tidur dan kemudian menggelinding jatuh. Dalam ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalami patah tulang serius sehingga tulang lengannya menonjol keluar.
"Untunglah, karena tindakan cekatan dokter, tulang yang patah itu dapat bersambung kembali. Akan tetapi pengalaman ini hampir tak berpengaruh terhadap dirinya karena Gus Dur muda tetap kurang berhati-hati dan selalu bertindak impulsif," jelas Greg Barton.
Wahid Hasyim, ayahnya yang pernah menjadi Menteri Agama, sempat menawarkan Gus Dur untuk bersekolah di sekolah elite yang biasanya dimasuki anak-anak pejabat pemerintah. Namun, Gus Dur lebih menyukai sekolah-sekolah biasa karena tak betah.
"Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarga mereka yang baru di Matraman, Jakarta Pusat," tulis Greg Barton.
Setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). ia terpaksa mengulang kelas karena gagal dalam ujian. Penyababnya karena ia sering menonton pertandingan sepakbola sehingga tak mempunyai waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
"Oleh karena ia cukup pandai--walaupun pada saat yang sama ia cenderung bermalas-malasan--hingga saat itu Gus Dur belum pernah belajar keras. Pelajaran-pelajaran yang diterimanya di kelas ia rasakan tidak cukup menantang," jelas Barton dalam halaman 49 buku tersebut.
Advertisement