Panduan Olahraga yang Bikin Tubuh Sehat dan Bugar di Masa Pandemi Corona COVID-19

Ternyata tubuh tak hanya perlu sehat tapi juga bugar, khususnya pada masa pandemi corona Covid-19. Apa beda keduanya?

oleh Asnida Riani diperbarui 03 Mei 2020, 16:03 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2020, 16:03 WIB
Skipping atau lompat tali
Ilustrasi skipping atau lompat tali. (Sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam sebuah video singkat, Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga, dr. Michael Triangto Sp.KO, berbagi setidaknya dua jenis olahraga yang bisa dilakukan di masa pandemi corona COVID-19.

"Yang harus dipahami, sehat dan bugar itu beda. Sehat menurut WHO berarti dalam kondisi baik secara fisik, mental, dan sosial, sedangkan bugar diukur ketika seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari, juga kegiatan tambahan," paparnya lewat sambungan telepon pada Liputan6.com, Jumat, 1 Mei 2020.

Demi mendapatkan keduanya, Michael menyarankan olahraga dengan melakukan latihan aerobik agar tubuh sehat dan anerobik, yakni latihan kekuatan otot, yang menunjang kebugaran.

"Aerobik yang saya contohkan di video itu skipping. Tapi, sebenarnya bisa juga disesuaikan dengan gerakan lain. Bisa jadi tidak semua orang bisa lompat karena mungkin sempat cedera lutut," imbuhnya.

Tujuan olahraga, sambung dr. Michael, setidaknya ada tiga, yakni kesehatan, rekreasi, dan prestasi. "Yang untuk kesehatan adalah olahraga berintensitas rendah hingga sedang," ujarnya.

Tolak ukur intensitas olahraga itu diukur dari tes berbicara. Semisal sembari olahraga, orang tersebut masih bisa berbicara jelas, intensitas olahraga yang dilakukan berada di tahap rendah maupun sedang.

"Jadi, lain cerita saat melakukan olahraga, orang yang bersangkutan terengah-engah sampai tak bisa berbicara dengan jelas," kata dr. Michael.

 

Frekuensi Olahraga

Ilustrasi
Ilustrasi berenang. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Michael menjelaskan, aerobik merupakan bentuk latihan dengan intensitas ringan, gerakan berulang, dan dilakukan dalam waktu panjang. Karena intensitasnya ringan, jenis olahraga ini sangat mungkin dilakukan semua kelompok usia.

"Misal tidak bisa skipping seperti yang tadi saya sebutkan, bisa jalan kanan-kiri, boleh bersepeda, berenang, dan jogging. Semua tak ada yang berat," tuturnya.

Waktu latihan yang panjang memungkinkan otot besar dialiri darah, lantaran dengan gerakan tersebut jantung memompa darah secara lebih lancar. "Proses ini membuat pembuluh darah yang sempit jadi lebar, terbuka. Bahkan, bisa terbentuk kolateral pembuluh darah baru," jelas dr. Michael.

Dengan lancarnya peredaran darah, tubuh pun jadi lebih mudah sehat. "Saya tidak bisa klaim bisa langsung sehat karena banyak faktor lain yang mendukung. Tapi, aerobik bisa jadi salah satunya," tegas dokter yang praktik di Klinik Slim n Health Jakarta tersebut.

 

ilustrasi push up/unsplash
ilustrasi push up/unsplash

Kemudian, demi membuat tubuh bugar, dr. Michael menyarankan latihan anaerobik berupa dips untuk melatih otot-otot lengan, crunch yang berguna melatih otot-otot perut, dan latih otot dada dengan melakukan push up.

Dalam pandangan Michael, setidaknya terdapat empat faktor yang disingkat FITT dalam berolahraga. Pertama, F, frekensi, sesuai anjuran WHO, yakni 3--5 kali seminggu.

"Kemudian I, intensitas, yang jadikan tubuh lebih sehat bilamana olahraga tergolong ringan sampai sedang. Cara ukurnya dari talk test, kita berbicara secara utuh saat melakukan latihan," paparnya.

Kemudian, T, tipe latihan, dalam hal ini, dr. Michael menganjurkan aerobik untuk tetap sehat dan anerobik supaya bugar lewat bentuk latihan kekuatan otot. Kemudian, T, time. durasi yang diminta American College of Sports Medicine (ACSM) adalah 150 menit per minggu.

"Jadi, misal dibagi lima hari, sehari hanya butuh waktu setengah jam. Tidak perlu lama-lama dan jangan sampai berlebihan karena kelelahan bisa menurunkan kesehatan dan bisa timbulkan cedera. Dalam kondisi sekarang bahkan memudahkan terjadi infeksi karena imunitas turun," ujarnya,

Kapan Waktu yang Tepat?

[Bintang] Diamond Push Up
Ilustrasi push up | Sumber Foto: youtube.com

Selama puasa Ramadan, dr. Michael menyarankan untuk berolahraga di sore hari, setidaknya satu jam sebelum waktu berbuka. 

"Karena saat puasa kecenderungan dehidrasi lebih besar. Intake makanan berubah polanya. Kadar gula naik, terus turun serendah-rendahnya, setelah itu naik lagi. Up and down seperti itu membuat olahraga pada siang atau malam malah mungkin menimbulkan rasa tak nyaman, baik secara energi maupun perut," ucapnya.

Juga, olahraga di malam hari kemungkinan membuat kesulitan tidur karena tubuh terus mengalam pembakaran setelah melakukan aktivitas fisik.

Sementara, saat tak menjalankan puasa, dr. Michael mengatakan, olahraga sebenarnya bisa dilakukan kapan pun. "Tapi, kalau saya boleh menganjurkan, paling baik jam 10 pagi sambil berjemur. Tidak perlu lama, 30 menit saja," katanya.

Gerakan yang dicontohkan, baik latihan aerobik maupun anaerobik, sebaiknya setop lakukan bila merasa tak nyaman. "Karena saya harus katakan olahraga jenis itu tidak untuk semua orang," tandasnya.

Ia mengatakan, selama menghabiskan waktu di rumah, akan membuat rangkaian video rekomendasi olahraga yang bisa membuat tubuh tetap sehat dan bugar di masa pandemi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya