Liputan6.com, Jakarta - Sisa puasa Ramadan sudah bisa dihitung jari. Kurang-lebih, minggu depan umat Muslim akan bersua hari kemenangan yang untuk pertama kalinya berlangsung di kondisi tak normal. Ya, Lebaran dirayakan masih dalam masa pandemi.
Pemerhati Sosial Yusar mengatakan, saat lebaran, sebagian umat Muslim beradaptasi dengan cara menahan diri atau tidak melaksanakan salat ied berjemaah dan ziarah kubur sebagai upaya menghindari kerumunan, tidak melakukan mudik, dan tidak melakukan kunjungan-kunjungan silaturahmi yang biasa dilakukan.
"Namun, berkaca pada perjalanan pandemi terkait banyaknya masyarakat yang telah mudik sebelum aturan pembatasan mudik, masih banyaknya tempat ibadah melaksanakan salat berjemaah, dan masyarakat di zona-zona hijau di berbagai daerah, saya kira sebagian umat Muslim akan tetap melaksanakan salat ied berjemaah," paparnya lewat pesan pada Liputan6.com, Kamis, 14 Mei 2020.
Advertisement
Baca Juga
Ritual tersebut, sambung Yusar, dilaksanakan sebagai bentuk perayaan, rasa syukur menyambut hari kemenangan, sekaligus kesempatan untuk berdoa agar pandemi ini cepat berakhir.
"Semoga saja golongan ini menerapkan protokol yang ditetapkan guna mencegah terpapar virus SARS-CoV-2. Saya khawatir ada perbedaan cara pandang dari pihak adaptif dengan mereka yang mempertahankan kebiasaan-kebiasaan Lebaran. Perbedaan cara pandang ini dapat memunculkan suasana konfliktual dari kedua belah pihak," imbuhnya.
Sementara, Pengamat Sosial Erna Ermawati Chotim beranggapan Lebaran tahun ini tak bakal hanya dicatat pada memori individu, tapi juga sejarah, yaitu bagaimana melakukan satu acara kolektif yang berbeda.
"Sejarah juga akan mencatat bagaimana upaya publik terkait strategi kolektif sebagai upaya menjaga masyarakat kita ada dan survive. Tak hanya soal kehilangan, tapi akan membuat catatan sejarah event kolektif dalam bentuk yang lain," ucapnya lewat sambungan telepon Kamis, 15 Mei 2020.
Pelihara Silaturahmi dalam Bentuk Berbeda
Erna menambahkan, dengan situasi Lebaran yang berbeda, secara langsung penyelenggaraannya berupa ritual dan nilai yang sedang dipelihara dalam bentuk berbeda.
Tak dipungkiri Erna, pasti ada yang hilang karena melakukan hal di luar kebiasaan. "Yang harus disadari, kita bukan kehilangan silaturahmi, namun sedang mengembangkan bentuk silaturahmi lain yang sangat kontekstual dengan kondisi sekarang," ucapnya.
Erna mengatakan, orang-orang tetap saja bisa 'hadir' ke kampung halaman dalam bentuk berbeda. "Misal, digantikan lewat bantuan yang disalurkan ke daerah atau tempat asal kita. Jadi membuat sebuah mekanisme sharing. Secara sosiologi, keputusan ini merupakan bentuk menguatkan kapital sosial yang ada," tutur perempuan yang juga berprofesi sebagai dosen tersebut.
Makna dari silaturahmi, papar Erna, adalah untuk saling menjaga dan memelihara. "Kita sebenarnya lagi kembali ke hakikat sebenarnya. Pandemi ini membuat ragam bentuk kreativitas muncul," katanya.
Yusar beranggapan, makna Lebaran akan tetap sama, yakni hari kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan, namun teknis dan penyikapannya saja yang berbeda.
Fenomena ini nyata disadari publik, salah satunya Citra Alfa Riyaddini. "Atmosfernya bakal beda dari tahun kemarin. Sekarang juga kurang berasa lagi Ramadan, makanya jadi nggak kerasa sudah mau Lebaran," katanya lewat voice notes Kamis, 14 Mei 2020.
Pun dengan Aldan Derian. Lelaki yang bekerja sebagai video editor tersebut juga beranggapan serupa. "Siap nggak siap ya harus siap," katanya lewat pesan, Jumat, 15 Mei 2020.
Keduanya juga sepakat, tradisi maaf-maafan dan berkumpul dengan keluarga besar pasti absen di Lebaran kali ini. "Diganti jadi lewat chat atau panggilan video ku pikir," ujar Citra. "Waktu libur yang pendek pasti beda banget sih," tambah Aldan.
Advertisement
Menyikapi Perbedaan Pelaksanaan Lebaran
Yusar mengutarakan, dalam menghadapi situasi yang berbeda seperti saat ini, publik perlu lebih mengutamakan keselamatan dan adaptif. Menjaga jarak antar individu, menghindari kerumunan, bergaya hidup sehat, menjauhkan diri dan orang lain dari resiko paparan virus corona baru, serta menjaga imunitas tubuh perlu terus dilakukan.
"Mampu bertahan hidup, sehat, dan tidak terpapar virus SARS-CoV-2 lebih bermakna dari melanjutkan tradisi-tradisi sebelumnya yang dapat menimbulkan kerumunan dan justru berisiko terpapar virus tersebut," ungkapnya.
"Walau terjadi pergeseran dalam pelaksanaan tradisi Lebaran, bukan berarti makna keagungan Lebaran memudar. Lebaran saat ini justru merupakan momentum awal pengaplikasian menahan hawa nafsu setelah ditempa selama Ramadan," tandasnya.
Masyarakat beradap, menurut Erna, adalah mereka yang mampu belajar dari sejarah. "Esensi yang paling penting adalah bagaimana memberi legacy pada masyarakat mendatang. Bila tidak, bakal cuma ada keluhan dan ketidakmampuan mengendalikan bencana," tuturnya.
Di masa sekarang, sangat penting membangun strategi atas dasar kesadaran kolektif, yakni bagaimana bisa membantu dan tidak bahagia sendiri. tidak Lebaran sendiri. "Membagi kebahagiaan Lebaran bersama yang lain dalam bentuk berbeda," sambungnya.
Lebaran sendiri biasanya dipenuhi berbagai kebutuhan yang kadang sangat tersier. 'Kalau tidak ada, seolah-olah Lebarannya jadi hilang. Sekarang kita sedang dikembalikan ke dalam hakiki Lebaran untuk lebih punya empati dan solidartas," ujar Erna.
Citra mengucap, walau tak bisa menjalani Lebaran sebagaimana biasanya, ia bakal memanfaatkan momen ini untuk banyak bersyukur karena berumur panjang, bisa ikut puasa, sehat, serta punya keluarga yang baik-baik saja dan sehat.
"Lebih ke introspeksi apa saja yang harusnya dilakukan dan nggak. Berusaha mengambil hikmah dari semua kejadian," tutupnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement