Liputan6.com, Jakarta - Wali Kota Amsterdam, Femke Halsem, baru-baru ini mengajukan saturan baru yang akan melarang turis asing mengakses kedai kopi ganja. 166 kedai kopi ganja tercatat di Amsterdam, atau hampir 30 persen dari jumlah kedai kopi di Belanda.
Dalam surat yang ditujukan pada anggota dewan pada 8 Januari 2021, Halsema mengenalkan aturan kriteria penduduk, kebijakan yang hanya mengizinkan penduduk setempat mengakses kedai kopi, bertujuan membuat pariwisata di kota lebih mudah diatur dan mengontrol rantai pasok kedai kopi. Menurut Halsema, kepolisian setempat mengkhawatirkan kedai kopi tersebut dimanfaatkan dalam peredaran obat terlarang.
Advertisement
Baca Juga
Setidaknya ada tiga langkah yang akan diambil terkait kebijakan baru tersebut, yakni fokus pada regulasi lokal pemasaran ganja lewat pengaturan ulang brand kedai kopi di Amsterdam, membatasi peluang kedai kopi untuk membuka cabang, dan mencegah pengunjung dari luar Belanda memasuki kedai kopi.
Halsema memperkirakan imbas negatif bila aturan ini diberlakukan akan membuka peluang penjualan ganja ilegal lebih besar, tapi ia yakin itu hanya bersifat sementara. Ia akan mendiskusikan aturan lebih detail dengan dewan kota Amsterdam pada akhir bulan ini.
Sejalan dengan aturan pembatasan untuk menekan kasus Covid-19, toko-toko non-esensial, termasuk kedai kopi, dipaksa tutup di kota yang terkenal akan kanalnya itu. Meski begitu, kedai masih diperbolehkan melayani pemesanan untuk dibawa pulang maupun pesan antar.
Saat ini, laman resmi pemerintah Amsterdam masih menyarankan agar turis tak bepergian ke kota tersebut, kecuali alasan penting. Meski begitu, Halsema tetap memikirkan bagaimana Amsterdam akan berfungsi kembali setelah ancaman Covid-19 sudah bisa ditanggulangi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Daya Tarik Utama Kota
Usulan membatasi akses turis asing ke kedai kopi di Belanda bukanlah hal baru. Dikutip dari CNN, Selasa (12/1/2021), wacana itu sudah mengemuka antara 2011--2012 bahwa hanya warga lokal yang berhak mengakses kedai kopi di seluruh Belanda. Usulan tersebut ditolak keras oleh Amsterdam, tapi diterapkan di Maastricht, kota yang berada di selatan Belanda.
Kemudian pada Juli 2019, Halsema menyampaikan pada anggota dewan secara tertulis bahwa kedai kopi di kota tersebut menempatkan 'kualitas hidup kota di bawah tekanan.' Padahal, membeli ganja dari kedai kopi diperbolehkan di Belanda, hanya produksinya yang termasuk pelanggaran hukum.
Sebelumnya, pemerintah juga menggelar survei pada Agustus 2019 dengan responden 1.100 turis asing berusia 18--35 tahun yang berkunjung ke Red Light District di Amsterdam. Dalam survei ini, lebih dari setengah responden mengatakan mengunjungi ibu kota Belanda karena ingin merasakan pengalaman di kedai kopi ganja.
Hasil survei juga menyatakan sebanyak 34 persen akan mengurangi kunjungan ke Amsterdam bila tak bisa memasuki kedai kopi. Hanya 11 persen yang mengatakan mereka tidak akan datang sama sekali ke Amsterdam bila larangan itu berlaku.
Survei juga menunjukkan bahwa usulan menerapkan biaya masuk bagi pengunjung area Wallen/Singel, yakni kawasan bernuansa abad pertengahan di pusat kota yang juga merupakan Red Light District, akan menurunkan tingkat kunjungan. Laporan menyebutkan bahwa kedai kopi lah yang berdaya tarik lebih kuat untuk menarik perhatian turis asing ketimbang Red Light District, dengan persentase 72 persen memilih kedai kopi dan hanya satu persen yang menyebut prostitusi sebagai alasan berkunjung.
Meski demikian, survei lain menyebutkan bukan kedai kopi, Red Light District, bahkan museum kota yang paling diminati wisatawan asing. Daya tarik utama Amsterdam di mata turis asing adalah pengalaman berjalan-jalan atau bersepeda keliling kota.
Advertisement