Cerita Akhir Pekan: Suka Duka Rumah Ramah Lingkungan

Rumah ramah lingkungan kian banyak diminati dan sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan.

oleh Komarudin diperbarui 26 Jun 2021, 10:21 WIB
Diterbitkan 26 Jun 2021, 10:05 WIB
Ilustrasi rumah ramah lingkungan
Ilustrasi rumah ramah lingkungan (dok,unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Konsep rumah ramah lingkungan belakangan kian banyak diminati orang. Kebanyakan orang memaknai rumah ramah lingkungan adalah rumah seperti yang ada sekarang berbahan batu, pondasi, ada resepan, penghijauan.

"Hal-hal seperti itu sudah dianggap sebagai ramah lingkungan. Padahal, itu hanya sebagian kecil saja," ungkap arsitek Yuono Setyowibowo saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 25 Juni 2021.

Pemenang International Planning and Design Competition for Riau Equatorial Park 2006 ini mengatakan, bicara rumah ramah lingkungan itu harus melalui proses awalnya. Apakah lahan yang dimiliki datar atau berkontur hingga rumah ditempati.

"Kita benar-benar adaptif tentang bentuk itu. Jadi, tidak mengubah banyak dari bentuk kontur asli," jelas lelaki yang akrab disapa Bowo itu.

Dari sistem konstruksi pembangunan, biasanya rumah ramah lingkungan, tidak memakai bahan-bahan yang tidak bisa diperbarui. Misalnya, jika kita menggunakan kayu, maka kayu tersebut bisa mudah direcover, seperti kayu kelapa atau sejumlah kayu jati yang bisa ditanam kembali.

Begitu juga dengan pemilihan cat. Cat produksi industri itu mengandung timbal. Untuk rumah yang ramah lingkungan, bahan warna catnya harus sealami mungkin.

"Tapi kalau mau menggunakan cat dari industri, maka harus diambil dari water base, berbahan dasar air, untuk mengurangi racun, ketimbang chemical base," tutur Setyowibowo.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pengaruh Tren

Desain Rumah Ramah Lingkungan Berbahan Sampah Daur Ulang
Tiny Tetra House. (dok. Stilt Studio/Dinny Mutiah)

Setyowibowo menilai, karena pengaruh tren, orang mengartikan bahwa yang namanya ramah lingkungan itu hanya membuat resapan yang tak signifikan. Itu sudah dianggap sebagai ramah lingkungan. "Ya, karena antara ilmu pengetahuan dengan aplikasinya itu kadang-kadang sering reduce-nya," kata dia.

Bagi dia, rumah ramah lingkungan itu bangunannya itu tidak benar-benar menapak ke tanah, agak sedikit panggung, sehingga bawahnya masih menyerap air. "Jadi memang kompleks berbicara soal rumah ramah lingkungan jika menggunnakan bahasa (disiplin ilmu) yang benar," imbuhnya.

Dengan kondisi yang ada sekarang, Setyowibowo "memaklumi" agar orang membangun rumah punya kesan ramah lingkungan, misalnya memperbanyak tanaman.

Dalam pandangan lulusan program pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini, biasanya orang yang punya kesadaran membuat rumah ramah lingkungan karena passion. Passion itu yang membuat ia ingin melakukan sesuatu, seperti melestarikan lingkungan.

Hal tersebut dibenarkan Ingga, ibu rumah tangga yang memiliki rumah ramah lingkungan di Rempoa, Tangerang Selatan. Ia membangun rumah ramah lingkungan pada 2018 dan selesai pada 2019.

"Saya bangun rumah tersebut, karena saya peduli dengan lingkungan tempat saya tinggal. Saya ingin ikut melestarikan lingkungan," kata Ingga saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menggambarkan rumahnya, terdapat banyak sinar yang bisa masuk sehingga tidak harus menyalakan lampu, juga banyak ventilasi sehingga tidak selalu harus menggunakan AC. "Kami juga memakai solar panel untuk daya listriknya agar lebih ramah lingkungan," kata dia.

Suka Duka

Rumah ramah lingkungan
Bagian rumah ramah lingkungan (dok.Ingga)

 "Sukanya mempunyai rumah ramah lingkungan, orang tersebut dapat memenuhi keinginannya. Jika berada di lingkungan dengan suhu yang masih bagus, polusinya nggak tinggi, maka dia akan mendapati operasional hariannya yang lebih kecil," ujar Setyowibowo.

Ia mencontohkan, biaya listrik lebih kecil atau lebih sedikit. Orang tersebut juga akan mendapat udara yang lebih baik, dengan catatan lingkungannya mendukung, seperti di kawasan Sentul atau Bogor itu masih bisa menikmati suasana alamnya.

"Tapi kalau itu di Jakarta, dengan panas dan polusi yang besar, maka yang terjadi justru bisa menimbulkan masalah pernapasan," kata dia lagi.

Sementara dukanya, sambung Setyowibowo, jika kita benar-benar mengaplikasikan itu, maka perlu space yang agak cukup. Artinya, lahan kita cukup untuk membangun ekosistem itu.

"Selain itu, kita butuh biaya yang ekstra karena semua bahan yang sifatnya nature itu jauh lebih mahal. Kita juga butuh biaya maintenance yang lebih tinggi," kata Setyowibowo.

"Investasi di awal memang lebih mahal, namun bulanannya jauh lebih murah sehingga seperti akan "balik modal" cepat," timpal Ingga.

 

Infografis Bantuan DP Rumah Pekerja Informal

Infografis Bantuan DP Rumah Pekerja Informal
Infografis Bantuan DP Rumah Pekerja Informal
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya