Liputan6.com, Jakarta - Semua negara di dunia saat ini mencurahkan perhatian pada emisi, Indonesia salah satunya. Bersama-sama masyarakat global, Indonesia berkomitmen untuk mengendalikan dan stabilisasi suhu bumi antara 1,5 – 2,0 derajat Celcius dari tingkat suhu praindustrialisasi. Komitmen tersebut diwujudkan dengan ditandatanganinya Perjanjian Paris dan implementasi komitmen melalui dokumen Updated Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing negara.
Indoensia bahkan telah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya mandiri. Tak hanya itu, Indonesia pun meningkatkan target menjadi 41 persen dengan dukungan finansial dan teknologi dari negara-negara maju, baik pemerintah dan swasta.
Advertisement
Baca Juga
“Dalam update ini, memuat langkah-langkah dan upaya-upaya nyata Indonesia yang dapat menurunkan emisi secara signifikan,” kata Wakil Menteri Lingkungah Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong, saat Media Briefing tentang Indonesia’s Forest and Other Land Use (FoLU) Net Sink by 2030, secara virtual, Rabu (21/7/2021).
Dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com itu juga dijelaskan bahwa Indonesia telah menetapkan peta jalan (roadmap) yang menjadi arahan bagi para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun nonpemerintah dalam rangka implementasi Updated Nationally Determined Contribution (NDC) Tahun 2020-2030. Peta jalan ini dapat membantu menyelaraskan program dan kegiatan yang dilakukan, untuk mencapai target NDC yang ditetapkan.
Di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use/FoLU), implementasi NDC ditempuh melalui sejumlah langkah yaitu melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), baik pada lahan mineral maupun gambut. Pada pengelolaan hutan lestari dilakukan melalui penanaman di Hutan Tanaman Industri (HTI), penerapan Reduce Impact Logging (RIL), dan Silvikulur Intensif (SILIN).
Selanjutnya, upaya rehabilitasi dilakukan baik dengan rotasi maupun nonrotasi. Pengelolaan lahan gambut juga menjadi salah satu upaya dengan merestorasi gambut dan perbaikan tata air gambut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pembangunan Bidang Kehutanan
Implementasi NDC ini juga menimbulkan penyesuaian aspek pembangunan bidang kehutanan melalui sejumlah tindakan korektif (corrective measures). Pertama, penurunan signifikan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, melalui berbagai aksi langsung misalnya moratorium sawit dan implementasi penghentian pemberian perizinan berusaha pada hutan alam primer dan lahan gambut.
Kedua, pencegahan permanen kejadian kebakaran hutan dan lahan; dan mengatasi pengaruh negatifnya pada lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.
Ketiga, aktualisasi prinsip biogeofisik termasuk daya dukung dan daya tampung lingkungan, karakteristik DAS dan kehati, dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.
Keempat, pencegahan kehilangan keanekaragaman hayati dengan konservasi kawasan serta perlindungan keanekaragaman hayati. Kelima, menyelaraskan arah kebijakan KLHK ke depan, dengan mempertimbangkan konvensi internasional, SDGs, Perubahan Iklim Paris Agreement, Aichi Target Biodiversity, Pengendalian Degradasi Lahan dan berbagai konvensi internasional lainnya.
Keenam, membangun ketahanan iklim dengan restorasi, pengelolaan dan pemulihan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan pengendalian deforestasi. Ketujuh, mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan kayu, ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis masyarakat.
“Jadi hal ini merupakan inisiatif kita dalam sektor kehutanan yang akan dicapai pada Tahun 2030. Oleh karena itu, berdasarkan implementasi dan corrective measures di atas, maka indonesia optimis dengan target FoLU Net Sink pada 2030,” ujar Alue Dohong.
Advertisement
Pengurangan Emisi
Dengan diundangkannya UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Wamen LHK Alue Dohong mengungkapkan akan berpengaruh pada pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Wamen menilai, UUCK memberikan jalan keluar pada berbagai kebuntuan dalam dispute dalam penggunaan lahan ataupun konflik tenurial.
“Penyelenggaraan Kehutanan serta regulasi turunannya, memungkinkan para pelaku usaha melakukan pengembangan multiusaha kehutanan. Pengembangan diversifikasi usaha di sektor kehutanan ini, mengintegrasikan pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu, termasuk jasa lingkungan,” terang Wamen Alue Dohong.
Pemanfaatan jasa lingkungan dalam model multiusaha kehutanan, dapat menjadi bagian dari aksi mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan berbasis lahan. Kontribusi pemegang Perizinan Berusaha dalam upaya mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan melalui kegiatan yang dapat mengurangi emisi serta meningkatkan serapan karbon dan atau konservasi cadangan karbon.
Wamen Alue Dohong menyampaikan agar dilakukan penguatan terhadap metodologi kerja kolektif perubahan iklim. Diharapkan 2021-2022 ini, sudah dapat dimantapkan operasional kerja dalam manual atau guideline.
Penyelesaian manual dan guidelines pada aspek-aspek tersebut akan mampu menjaga konsistensi kebijakan dari waktu ke waktu. Selain itu, akan menjadi pedoman dalam menjaga konsistensi antara implementasi, kebijakan operasional dan kebijakan dasarnya. Dengan demikian, maka pada 2030 Indonesia sudah akan bisa mencapai penyerapan karbon (carbon net sink) sektor FoLU, atau disebut Agenda “INDONESIA FoLU 2030”.
“Kita persiapkan saat ini menyongsong INDONESIA FoLU 2030. Kita perlu menyelesaikannya secara cepat dan diharapkan bisa diselesaikan segera dan akan kita uji dalam kerja dua tahun terakhir hingga tahun 2024 termasuk dengan penerapan sistem digital, sehinga semuanya betul-betul menjadi mantap untuk perspektif 2030 bagi Kehutanan Indonesia, untuk generasi masa depan dan untuk agenda INDONESIA FoLU 2030,” tegas Wamen Alue Dohong.
Infografis Kebakaran Hutan dan Bencana Kabut Asap di Indonesia
Advertisement