Liputan6.com, Jakarta - Belum tuntas polemik proyek pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo, kini giliran pembangunan di wilayah Hutan Nggorang Bowosie, Manggarai Barat, disorot publik. Dikutip dari laman RRI, Senin (30/8/2021), anggota DPR RI Komisi IV Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema mengkritik pembabatan kawasan hutan yang teregister RTK 108 Bowosie dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Kamis, 26 Agustus 2021.
Pria yang akrab disapa Ansy itu menilai pembabatan hutan Bowosie merusak sumber mata air bagi masyarakat Labuan Bajo. Lokasi penebangan pohon-pohon itu disebutnya sangat dekat dengan lokasi mata air di Hutan Bowosie.
Advertisement
Baca Juga
Selama ini, Hutan Bowosie merupakan wilayah tangkapan air andalan di Labuan Bajo untuk memenuhi keperluan air bersih dan pertanian. Dari 14 mata air yang banyak dipakai masyarakat setempat, banyak yang sudah kering total dan bahkan aliran airnya sudah mati. Penebangan pepohonan dan vegetasi lokal itu, kata dia, semakin melemahkan kemampuan hutan untuk menangkap air.'"
"Harapan masyarakat kini bertumpu dari hutan Bowosie saja karena masih ada tiga aliran kali yang berhulu dari Bowosie yang masih dapat menunjang aliran sungai Wae Mese, yakni aliran Wae Nuwa, Wae Sipi dan Wae Baling. Jika hutan dibabat, maka rakyat terancam mengalami kesulitan air bersih. Demikian pula, sungai terancam kering, sehingga pasokan air untuk lahan-lahan pertanian berkurang," ucap Ansy.Â
Menanggapi hal ini, Badan Pelaksana Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF) menyatakan bahwa pihaknya sudah diserahi hak mengelola sedikitnya 136 hektare dari 400 hektare lahan Hutan Bowosie yang diatur perubahan statusnya lewat Perpres Nomor 32 Tahun 2018. Sisanya akan dikelola menggunakan skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai Wisata Alam.
Direktur Utama BPOLBF Shana Fatina mengaku memahami keberatan masyarakat dan berbagai pihak terkait penggunaan lahan di Hutan Bowosie dan Nggorang. Namun, ia mengklaim pihaknya telah melakukan studi hidrogeologi terpadu dan analisis dampak lingkungan dalam pengembangan kawasan otorita.
"BPOLBF telah berkoordinasi dengan pihak-pihak ahli untuk bisa memanfaatkan dan juga menjalankan Perpres ini dengan prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga kelestarian lingkungan terjaga dan dampaknya bisa dirasakan warga lokal," ujar Shana, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Minggu, 29 Agustus 2021.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Hasil Studi
Shana mengklaim, berdasarkan studi hidrologi dan perencanaan kawasan yang dilakukan BPOLBF, tidak ada lokasi pembangunan yang bersinggungan maupun berdekatan dengan mata air yang disebutkan. Pihaknya mengaku sangat berkomitmen untuk tidak membangun yang mengganggu jalur limpasan air dan juga run off dari hutan Bowosie menuju Kota Labuan Bajo.
Penggunaan air direncanakan mengalirkan dari sistem perpipaan, bukan menggunakan sumur bor dalam. Selain itu, sambung dia, pembangunan kawasan pariwisata otorita BPOLBF juga telah sesuai dengan amanah Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2018 dan direncanakan sebagai gerbang kawasan Flores dengan menunjukkan keunikan budaya dan kondisi alamiah yang terjaga dari visi pariwisata berkualitas Labuan Bajo - Flores.
"Tentunya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ini adalah komitmen BPOLBF dalam mengembangkan kawasan pariwisata berkualitas di Hutan Bowosie," ucapnya.
Ia juga menyatakan BPOLBF telah menyelesaikan proses Amdal dan mendapatkan izin lingkungan hidup dari Pemkab Manggarai Barat Nomor DPMPTSP.503.660/018/VII/2021 tanggal 29 Juni 2021. Sedangkan, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 6 Tahun 2012 dan Draft Materi Teknis Revisi RTRW Kabupaten Manggarai Barat juga telah menetapkan kawasan hutan Nggorang Bowosie yang merupakan wilayah pengembangan BPOLBF sebagai kawasan hutan produksi, bukan sebagai kawasan lindung.
"Pemanfaatan hutan produksi sendiri dapat digunakan untuk kegiatan pariwisata sesuai dengan ketentuan yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri LHK yang mengatur agar segala pemanfaatan kawasan hutan berprinsip dan akan mempertahankan fungsi ekologis dari area hutan tersebut," kata dia.
Â
Â
Advertisement
4 Zona
Shana menyebut, sebagian dari 400 hektare lahan tersebut telah ditetapkan izin prinsip dan dispensasi pembangunannya sebagai bagian dari proses pelepasan kawasan hutan untuk Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 135,22 hektare yang dikelola BPOLBF, dan sebagian lainnya dalam proses ijin PBPH-JL untuk luasan 264 hektare.
Nantinya, pengembangan kawasan ini akan dibagi dalam empat zona meliputi zona cultural district, adventure district, wildlife district, dan leisure district. Pembangunan kawasan, sebut dia, mengedepankan prinsip berkelanjutan sesuai peraturan perundangan dengan luas area terbangun 10 persen untuk area PBPH-JL dan 17 persen untuk area APL.
Zona cultural district seluas 114,73 hektare. Nantinya akan dikembangkan beragam atraksi dan fasilitas destinasi seperti pusat budaya, pusat penelitian pariwisata, hotel, galeri Bajo 360 derajat, kampung UMKM, dan atraksi lain yang ikut mendukung pariwisata.
Zona kedua adalah leisure district seluas 63,59 hektare. Rencananya, 6,79 hektare akan dibangun untuk resor khusus, kapel, bukit doa hingga area untuk hiking di hutan.
Sedangkan, lahan di zona ketiga, yakni wildlife district, seluas 89,25 hektare. Sekitar 10,2 hektare lahan akan dibangun restoran, kebun binatang mini, hingga outdoor teater dan juga balai observasi alam. Pada zona keempat, adventure district, 10,2 hektare dari 132,43 hektare akan dibangun hotel, penginapan glamping, area wisata goa, hingga sarana transportasi seperti kereta gantung, ruang hijau publik, dan jalur sepeda lintas hutan.