Liputan6.com, Jakarta - Kaya akan simbol dan makna filosofi kehidupan membuat batik Indonesia diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO sejak 2 Oktober 2009. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai Hari Batik Nasional setiap tahunnya.
Memperkenalkan batik pada audiens luas pun terus dilakukan, baik di pasar lokal maupun panggung dunia. Namun di antara upayanya, ada satu yang masih jadi tantangan dalam keberlanjutan eksistensi batik Indonesia:Â regenerasi perajin.
"Saya pikir itu (regenerasi batik) akan terus jadi tantangan," kata Ketua Humas Yayasan Batik Indonesia (YBI) Nita Azis melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Jumat, 1 Oktober 2021. Karena itu, stimulus pelestariannya tidak hanya menyasar hulu, namun juga hilir.
Advertisement
Baca Juga
Strateginya, sebut Nita, dengan menciptakan "demam batik." Dengan kata lain, pihaknya terus mengupayakan permintaan pasar untuk secara otomatis menggerakkan roda regenerasi pembatik. Tanpa ekosistem pasar yang berkelanjutan, besar kemungkinan pergerakan regenerasi juga ikut mandek.
"Sasaran kami memang anak muda, milenial, karena mereka terbukti sebagai potential market. Kami terus edukasi tentang motif batik, arti motif batik. Harapannya dengan semakin tahu, mereka akan semakin mencintai batik," tuturnya, menambahkan bahwa edukasi ini juga dilakukan dengan menggandeng sejumlah influencer.
Sementara, Wakil Ketua Yayasan Lasem Heritage Yullia Ayu bercerita bahwa regenerasi pembatik di Lasem, Jawa Tengah, belum menghadapi disrupsi berarti. Kultur setempat lah yang memegang peran besar dalam menjaga perputaran tersebut.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Roda Regenerasi Pembatik
Perempuan yang juga merupakan Koordinator Program Pasar Rakyat Lasem ini menyambung bahwa pengaruh untuk terjun ke dunia batik biasanya akan semakin kuat jika seseorang tinggal di daerah pembatik. "Itu kemudian bergulir secara tidak langsung, otomatis terjadi (regenerasi pembatik)," ucapnya lewat panggilan suara, Kamis, 30 September 2021.
Kendati, tidak dibantah Yullia bahwa pandemi membuat sejumlah pembatik, biasanya dari rumah batik besar, dirumahkan karena permintaan pasar terjun bebas. Seiring keadaan yang cukup kondusif, ia bercerita malah banyak anak SMA, karena mereka notabene sekolah online, justru menuju rumah batik untuk mencari pekerjaan sampingan.
"Kira-kira ada 30 persen (pembatik yang berusia di bawah 40 tahun)," katanya. Regenerasi pembatik, Yullia menyebut, sekarang umumnya masih berlangsung secara turun-temurun, narasi yang juga disepakati Nita.
Yang harus dipahami, keahlian membatik biasanya tertempa seiring waktu. "Jadi, mungkin mereka mulai dari menutup motif batik yang besar, lama-lama bisa mengerjakan detail-detail pola lebih kecil," katanya.
Namun, kasusnya tidak selalu seperti itu. Berdasarkan pengalamannya, Yullia juga bertemu pembuat pola batik yang mahir, dan ia masih berusia belasan tahun. Nita juga mengatakan bahwa, merujuk data pembatik YBI, ada juga pembatik yang berusia 15 tahun.
Â
Advertisement
Penguatan Eksistensi Batik Indonesia
Di tahun ke-2 pandemi, rumah-rumah batik di Lasem masih bertahan. "Pasar Rakyat Lasem seolah jadi cambuk untuk menciptakan produk-produk baru, berinovasi lagi, lebih melek teknologi lagi," tutur Yullia.
Selain mengikuti live sale di platform Pasar Rakyat Lasem, termasuk Instagram, ia mengatakan bahwa sekarang sudah banyak rumah batik yang menyelenggarakan acara serupa di akun media sosial mereka masing-masing. "Maka itu, kami sekarang berbelok fokus pada pembatik-pembatik kecil yang belum familiar dengan digital marketing," katanya.
Strategi pemasaran digital juga masih jadi catatan penting bagi YBI. Di samping, mereka juga menemukan bahwa batik tetap diminati sebagai pelengkap interior. "Banyak juga orang yang (beraktivitas) di rumah justru suka pakai batik karena bahannya adem," ucap Nita.
Sementara Pasar Rakyat Lasem berkolaborasi menrilis jam tangan bernuansa batik di Hari Batik Nasional, YBI mempersembahkan instalasi seni "Healing Tree" yang akan mejeng di ASHTA District 8, Jakarta pada 2--20 Oktober 2021. "Pohon penyembuh ini jadi simbol semangat pemulihan batik di masa pandemi. Meski perlahan, ada harapan lebih baik ke depan," ujarnya.
Dalam penguatan eksistensi batik, yang tidak lepas dari penggerakan roda regenerasi pembatik, Nita mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), yang awalnya akan melihatkan 15 KBRI dan KJRI.
"Jadi kami meminjamkan kain-kain batik yang sudah dikurasi untuk dipajang di kantor KBRI dan KJRI. Lokasi KBRI dan KJRI-nya antara lain di Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Prancis, Filipina, dan Italia," tandasnya.