Liputan6.com, Jakarta - Tidak semata jadi identitas bangsa Indonesia, rempah juga merupakan alat pemersatu daerah-daerah di Nusantara. Melalui jalur perdagangan rempah, interaksi yang berdampak pada bidang ekonomi, sosial, maupun budaya terjadi.
Rempah dari Indonesia selama ini mungkin lebih dikenal sebagai bumbu masak, seperti pala, cengkih, dan lada. Namun, rempah tak hanya berkaitan dengan makanan, tapi juga produk perawatan dan wewangian, seperti minyak esensial dari sintok.
Advertisement
Baca Juga
Sintok merupakan nama dagang dari spesies Cinnamomum sintok Bl yang umum dikenal dalam perdagangan pada abad ke-19. Tapi, rempah asal Kalimantan ini kerap disebut secara awam sebagai kayu manis.
Bagian dari sintok yang dimanfaatkan untuk minyak esensial adalah kulit kayunya. Potongan kulit kayu ini panjang dan tebal, berwarna cokelat, berbentuk hampir rata, rapuh, berkerut di bagian luar, dan memiliki lapisan kulit terluar berwarna abu-abu.
Minyak esensial dari sintok sempat sangat digemari di banyak negara, termasuk India, China, Jazirah Arab, dan Persia. Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Dana Listiana, dalam webinar International Forum on Spice Route (IFSR), Kamis, 22 September 2022, mengungkap bahwa sintok disebut sebagai obat-obatan Melayu atau obat-obatan Bumiputra (inlander medicijn).
Dalam buku obat-obatan di Hindia Belanda, sintok dinyatakan bermanfaat untuk pengobatan diare spasmodik dan kronis, yang berefek merelaksasi otot usus. Dana berkata, "Sintok kaya akan kandungan getah dan minyak esensial."
"Kulit kayu ini memiliki efek penguatan pada seluruh saluran usus," tuturnya. "Kulit kayu sintok juga digunakan sebagai obat kram saat hamil dan sebagai pewangi dupa"
"Minyak esensial sintok menjadi salah satu produksi utama, selain minyak kenanga, minyak jeruk kecil, minyak serai, minyak nilam (patchouli), minyak rimpang, minyak cendana (sandalwood), minyak trawas, minyak akar wangi (andropogon), dan minyak serai wangi Jawa," ucap Dana.
Pohon Gaharu
Studi rempah di Kalimantan sebenarnya lebih beragam, mengingat wilayah ini lebih dulu dikenal dunia. Kalimantan telah menjalin perdagangan dengan India dan China sejak awal masehi karena produk wewangian.Â
"Kalimantan bukan sekadar tempat singgah karena menawarkan hasil alam yang bernilai ekonomis, seperti kamper dan emas. Komoditi itulah yang kemudian memunculkan penamaan karpuradvipa (Pulau Kamper) dan Suvarnabhumi (Tanah Emas) bagi Kalimantan," terang Dana.
Kamper merupakan komoditi permintaan Portugis dari Kalimantan pada abad ke-16. Kamper jadi ikon seperti halnya cengkih dari Maluku, pala dan bunga pala dari Banda, lada dari Sumatra dan Sunda, juga cendana dari Timor.
Dana menambahkan, penyebutan kamper juga digunakan untuk penamaan umum berbagai jenis wewangian, bahan pembuatan dupa, dan tidak hanya untuk spesies kapur barus. Dengan demikian, wewangian lain, seperti gaharu, kemenyan, dan berbagai resin kayu, termasuk kayu manis liar, sintok, dan petanang, juga kerap disebut kamper.
Â
Advertisement
Rempah Wangi
Â
Hal ini berbeda dengan lada sebagai komoditi utama ekspor yang sangat signifikan dalam perdagangan. Wewangian memiliki perbedaan karakteristik secara ekologi dan ekonomi dengan lada.
Wewangian disebut sebagai rempah wangi, istilah spesifik berdasarkan pengertian yang dikemukakan seorang pengkaji rempah. Dana mengutip pernyataan Turner, seorang pengkaji rempah dunia, yang memaknai rempah sebagai segala sesuatu bagian tanaman, kecuali daun yang lebih lekat dengan fungsi herbal, seperti kulit, akar, pucuk bunga, getah, damar, niji, buah, dan sari bunga yang memiliki cita rasa dan aroma kuat.
Selain sintok, gaharu jadi rempah wangi lainnya yang tak kalah menarik. Itu adalah nama dagang dari bungkalan padat berwarna cokelat kehitaman hingga hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari pohon penghasil gaharu.
Gumpalan terbentuk melalui proses perubahan kimia dan fisika akibat infeksi jamur. Jadi, tidak semua pohon gaharu menghasilkan gaharu.Â
Sementara gaharu adalah nama yang umum dikenal di Indonesia. Gaharu juga menjadi sebutan beragam resin atau kayu yang berbau harum, meski sebenarnya bukan berasal dari pohon gaharu. Untuk gaharu jenis ini, biasanya diberi nama tambahan spesifik, seperti garu tanduk untuk kayu ramin dengan resin yang banyak.
Ada gaharu kapas untuk kayu ramin yang ringan dan sedikit resin, gaharu tenggelam untuk kayu damar yang tenggelam di air, serta gaharu timbul untuk kayu damar yang relatif lebih ringan dan mengapung di atas air. Penamaan tersebut memiliki sebutan berbeda di daerah lain, seperti gaharu buaya untuk garu tanduk, gaharu capalla untuk garu tenggelam, ataupun tenggatengga untuk gaharu ramas.
Kebutuhan di Bidang Kesehatan
Dana menjelaskan, gaharu disebut juga dengan nama garu oleh masyarakat Dayak, khususnya Kahayan. Garu secara tradisional digunakan dalam ritual pengobatan atau kepercayaan bersama elemen lain, khususnya manyan (kemenyan). Kedua elemen ritual tersebut dapat dikatakan selalu digunakan bersama, sehingga masyarakat mengenal garu dengan sebutan garu-manyan.
Menurut Dana, bagi komunitas Dayak, garu dan kulit kayu sintok digunakan untuk ritual sehari-hari dan momen-momen khusus, seperti dalam pembangunan rumah dan perladangan. "Di Kalimantan, terutama di wilayah Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Gunung Ma, produk rempah tak hanya sebagai penambah cita rasa dalam masakan, namun juga tanaman obat penyembuh dan pelengkap dalam ritual kepercayaan setempat," ungkapnya.
Ya, selain sebagai pengharum, garu juga dikenal luas untuk pengobatan. Kayu garu berkhasiat untuk kram perut, dan penggunaan serupa juga ditemukan di Madura. Getahnya berfungsi untuk mengobati borok kaki kronis.
"Adapun kulit kayunya biasa dikonsumsi dengan cara dikunyah bersama pinang untuk ditelan getahnya," ujarnya. Dana menegaskan rempah wangi, seperti gaharu dan sejenis kayu manis tetap menjadi komoditi, meski lada tampak sebagai primadona kawasan selatan Kalimantan.
Advertisement