Liputan6.com, Jakarta - Butuh upaya "keroyokan" untuk memelihara kawasan konservasi. Setiap pihak punya peran yang harus dimainkan supaya dapat berdampak nyata pada pelestarian area lindung, dan ini tidak akan pernah lepas dari campur tangan masyarakat lokal.
Bisa dikatakan, mereka bahkan salah satu garda terdepan dalam mewujudkan kawasan konservasi secara hakiki. Karena itu, menurut Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatina, pengingkatan kapasitas komunitas lokal harus selalu jadi langkah utama.
"Pemahaman jadi masyarakat konservasi perlu dibentuk terlebih dulu," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Sabtu, 7 Januari 2023.
Advertisement
Baca Juga
Ini bisa dilakukan dengan banyak cara, sebut Shana, termasuk pengenalan, serta edukasi terkait satwa dan ekosistem. "Penyediaan fasilitas pendukung dalam memastikan keberlanjutan kawasan konservasi, juga adanya tim ahli riset dan pendampingan," ia memaparkan.
Di samping itu, Shana menyebut bahwa masyarakat lokal di daerah penyangga kawasan konservasi juga semestinya diberikan ruang ekonomi yang cukup, "tanpa mengancam keberlanjutan aset konservasi." Maka itu, upaya lain yang bisa dilakukan adalah memberi pelatihan produk ekonomi kreatif dengan prinsip keberlanjutan.
Ia berkata, "Masyarakat (di dekat maupun di kawasan konservasi) sering dituduh merusak alam. Padahal sebenarnya mereka tidak memiliki pemahaman bagaimana mengelola alam lestari akan lebih menghasilkan."
"Kita perlu memberikan contoh nyata dan quick wins agar kepercayaan segera terbentuk sebelum melangkah ke upaya konservasi lebih besar lainnya," ucap Shana.
Bisa Berdaya
Shana optimis bahwa dengan langkah-langkah strategis tersebut, masyarakat penyangga kawasan konservasi bisa berdaya, bahkan ikut jadi penjaga area lindung.
"Dalam hal ini, BPOLBF menyiapkan segmen pasar dan manfaat ekonomi dari penguatan konservasi tersebut, sehingga masyarakat mendapat manfaat secara langsung sambil belajar mengedukasi wisatawan bahwa (mereka datang) tidak sekedar untuk senang-senang, tapi juga mendapat ilmu baru," kata Shana lagi.
Ia menyambung, sejak 2020, pihaknya telah melakukan pemetaan dasar potensi wisata konservasi di wilayah koordinatif Labuan Bajo Flores. Ini mulai dari habitat Komodo, burung endemik, hingga satwa bahari yang tersebar dan dikelola berbagai bentuk kemitraan, baik dari pemerintah, swadaya komunitas, maupun LSM penelitian.
"Ruang lingkupnya adalah, satu, penataan ruang hidup bersama, meliputi perlindungan ekosistem dan ruang gerak (individu satwa maupun masyarakat). Kedua, penguatan keberlanjutan siklus hidup ekosistem tematik," paparnya.
"Terakhir, promosi aset satwa endemik tematik sebagai bagian dari wisata konservasi," imbuhnya.
Advertisement
Apa yang Akan Dilakukan pada 2023?
Shana mengatakan, di wilayah Labuan Bajo Flores, memang yang paling dikenal publik saat ini adalah Taman Nasional Komodo. "Namun, sebenarnya banyak sekali selain itu jika bicara tentang wisata konservasi Labuan Bajo Flores, termasuk darat dan laut," sebutnya.
Pada 2023, Shana menyebut bahwa pihaknya akan fokus menjalankan program INFlores. Ini merupakan program kolaborasi instansi dan stakeholders untuk "melindungi aset satwa komodo" dan habitatnya di luar Taman Nasional Komodo, yaitu di pesisir Flores, termasuk Manggarai Barat, Manggarai Timur, dan Ngada.
"Kami tahun ini juga akan menyusun peta tematik wisata bahari dari hasil kolaborasi bersama penggiat konservasi bahari untuk merangkum dan mempromosikan destinasi-destinasi bahari, mulai dari wilayah Flores Barat, Teluk Maumere, dan sekitarnya, hingga kawasan taman laut Selat Pantar," tuturnya.
Ia menyambung, "(Kami) juga merangkum kekayaan atraksi bahari dan satwa endemik yang bermigrasi tahunan. Daerah kami merupakan wilayah migrasi 19 jenis cetacean setiap tahunnya yang bisa dinikmati sebagai atraksi sekaligus upaya konservasi."
Praktik di Luar Indonesia
Pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi tentu tidak hanya dilakukan di Indonesia. Negara-negara di dunia, melalui berbagai pihak, juga mengambil langkah serupa.
African Wildlife Foundation (AWF), misalnya. Melansir situs webnya, dalam upaya memberdayakan masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi, mereka berupaya "membangun masa depan yang cerah bagi pemuda pedesaan melalui pendidikan" sebagai salah satu upaya.
Pihaknya menulis, "Anak-anak pedesaan Afrika terlalu sering tertinggal dalam hal akses pendidikan yang berkualitas. Kurangnya akses mengakibatkan ketergantungan pada sumber daya alam untuk melengkapi mata pencaharian mereka, yang mengurangi prospek mata pencaharian mereka saay dewasa."
"Dengan membangun sekolah di daerah pedesaan yang kaya satwa liar, kami mendidik anak-anak Afrika, mengajari mereka tentang konservasi, dan membekali mereka dengan alat untuk memiliki masa depan yang cerah. Pada gilirannya, kami (bermaksud) menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi satwa liar Afrika," paparnya.
AWF juga bekerja sama dengan komunitas di seluruh Afrika untuk memastikan mereka memperoleh manfaat dari kegiatan ramah lingkungan yang berkelanjutan. Misalnya, di Tanzania Selatan, pihaknya bekerja sama dengan Global Nature Fund dan Tanzania Forest Conservation Group untuk melatih dua ribu petani kecil di Lembah Kilombero yang subur tentang pertanian cerdas iklim berkelanjutan.
"Dengan menyediakan bibit dan meningkatkan rantai nilai tanaman mereka, petani telah meningkatkan hasil pertanian dan mendapatkan akses ke pasar baru," sebutnya. "Sistem pertanian inovatif ini membantu memulihkan habitat satwa liar di lahan yang berdekatan dengan Cagar Alam Kilombero dan mengamankan koridor satwa liar yang penting."
Advertisement