Prancis Larang Penjualan Kembang Api, Cegah Kerusuhan Berulang Jelang Hari Bastille

Hari Bastille merupakan hari nasional di Prancis yang umumnya dirayakan dengan menyalakan kembang api di berbagai kota.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 10 Jul 2023, 11:01 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2023, 11:01 WIB
Warna-warni Kembang Api Hiasi Menara Eiffel di Hari Bastille
Kembang api menerangi Menara Eiffel selama perayaan Hari Bastille di Paris, Kamis (14/7/2022) malam. Penyerbuan penjara Bastille dipandang sebagai simbol pemberontakan bangsa dan rekonsiliasi seluruh rakyat Prancis. (AP Photo/Lewis Joly)

Liputan6.com, Jakarta - Prancis memutuskan melarang penjualan, kepemilikan, dan transportasi kembang api selama pekan Hari Bastille, minggu depan. Langkah itu diambil untuk mencegah kerusuhan kembali terjadi di negara Ratu Marie Antoinette itu.

Para pengunjuk rasa sebelumnya terekam menyulut kembang api selama gelombang kerusuhan disertai kekerasan yang dipicu kematian seorang remaja 17 tahun yang ditembak seorang petugas polisi pada akhir Juni 2023.

"Untuk mencegah risiko gangguan publik yang serius selama perayaan 14 Juli, penjualan, pengangkutan, pengangkutan, dan penggunaan barang piroteknik dan kembang api dilarang di seluruh Prancis hingga 15 Juli tanpa kecuali," menurut keputusan yang diterbitkan dalam resmi pemerintah Prancis jurnal pada Minggu, 9 Juli 2023, dikutip dari CNN, Senin (11/7/2023).

Hari Bastille, yang merupakan hari nasional Prancis, dirayakan setiap tahun pada 14 Juli dengan pertunjukan kembang api spektakuler yang diselenggarakan di seluruh negeri. Keputusan mendatang tidak berlaku bagi para profesional atau daerah setempat yang menyelenggarakan pertunjukan kembang api untuk liburan tersebut.

Perdana Menteri Prancis, Elisabeth Borne, telah menjanjikan "tindakan besar-besaran untuk melindungi rakyat Prancis" selama 13--14 Juli 2023. Ia menggambarkannya sebagai "hari-hari sensitif" dalam wawancara dengan surat kabar Le Parisien yang diterbitkan Sabtu, 8 Juli 2023.

Dalam wawancara yang sama, Borne mengonfirmasi bahwa pemerintah Prancis sedang mempertimbangkan untuk mendenda orangtua dari anak di bawah umur yang terlibat dalam kerusuhan, menurut afiliasi CNN, BFMTV. Usulan itu pertama kali disampaikan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Selasa pekan lalu, yang menyebut hendak memberlakukan 'semacam tarif minimum atas tindakan bodoh pertama' pada orangtua dari anak di bawah umur.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Denda untuk Orangtua Remaja Perusuh

Mimpi Bermain Kembang Api
Ilustrasi Mimpi Bermain Kembang Api Credit: pexels.com/Tairon

Borne berkata pada Le Parisien, pemerintah Prancis sedang mempertimbangkan pemberlakuan aturan tersebut dan siap "mengubah hukum" jika diperlukan, lapor BFMTV.

"Saat ini, ketika orang dewasa melakukan tindakan seperti ini, kita dapat meminta bantuan melalui denda tetap. Ini cepat dan efisien. Ini tidak mungkin untuk anak di bawah umur. Karena itu, kami akan membangun ketentuan yang memungkinkan ini," kata Borne.

Menurut Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin, anak di bawah umur berusia 12 dan 13 tahun ditahan polisi selama kerusuhan, baru-baru ini. Dia mengatakan kepada wartawan akhir pekan lalu bahwa usia rata-rata ribuan orang yang ditahan polisi Prancis adalah 17 tahun.

AFP menyebut kerusuhan yang dipicu kematian Nahel Merzouk, remaja Prancis keturunan Aljazair, sebagai kerusuhan kota terburuk di negara itu sejak 2005. Lebih dari 3.700 orang ditahan polisi karena terkait protes kematian Nahel, setidaknya 1.160 di antaranya masih di bawah umur, menurut data yang dikeluarkan pemerintah.


Dampak Kerusuhan pada Ekonomi Prancis

Seorang pengunjuk rasa menembakkan kembang api saat bentrok dengan polisi anti huru hara selama demonstrasi pada Hari Buruh Internasional, di Nantes, Prancis, pada Senin (1/5/2023). (Dok. AFP/Loic Venance)
Seorang pengunjuk rasa menembakkan kembang api saat bentrok dengan polisi anti huru hara selama demonstrasi pada Hari Buruh Internasional, di Nantes, Prancis, pada Senin (1/5/2023). (Dok. AFP/Loic Venance) 

Bisnis di Paris, Prancis, merugi akibat serangkaian protes dan kericuhan di negara itu. Melansir CNN Business, 5 Juli 2023, kerusuhan di Paris telah menyebabkan kerusakan senilai lebih dari 1 miliar euro atau setara Rp. 16,3 triliun.

Seorang juru bicara MEDEF, asosiasi bisnis Prancis, mengungkap bahwa para pengunjuk rasa telah menjarah sekitar 200 toko dan menghancurkan 300 cabang bank dan 250 pertokoan kecil lain. Pemerintah Prancis sedang mempertimbangkan cara-cara untuk membantu bisnis yang paling terdampak kerusuhan, menurut laporan BFMTV, mengutip Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire.

Pemerintah juga mempertimbangkan membatalkan atau menunda kontribusi jaminan sosial dan pajak, dan bisnis akan diberikan waktu sekitar 30 hari untuk mengajukan klaim asuransi. Namun, klaim tersebut diprediksi berjumlah kurang dari 1 miliar euro yang menjadi perkiraan angka kerugian, menurut DBRS Morningstar, sebuah lembaga pemeringkat kredit, menyebutkan banyak perusahaan tidak akan sepenuhnya dikompensasi atas kerugian mereka.

"Kami percaya total kerugian yang diasuransikan untuk industri asuransi Prancis akan tetap jauh di bawah angka 1 miliar euro," kata DBRS Morningstar, mencatat bahwa pemerintah Prancis menanggung sebagian tanggung jawab atas sebagian kerugian.

"Kerugian dan gangguan pada bisnis akibat vandalisme, penjarahan, dan potensi jam malam tidak mungkin ditanggung oleh pemerintah Prancis," sebut lembaga itu.


Kondisi di Prancis Membaik

Kerusuhan Pecah di Prancis
Laporan media setempat menyebut massa menyalakan kembang api hingga membakar kendaraan di jalanan Nanterre. (Photo by DENIS CHARLET / AFP)

Sementara, kondisi di Paris, Prancis, usai kerusuhan sejak 28 Juni 2023 telah berangsur-angsur membaik. "Alhamdullilah kalau sejak dua hari terakhir, suasana sudah jauh lebih tenang dari sisi banyaknya kerusuhan di berbagai kota," ujar Duta Besar Republik Indonesia di Prancis Mohamad Oemar dalam siaran langsung Liputan6 Update, Rabu, 5 Juli 2023, dikutip dari kanal Global Liputan6.com.

Oemar menjelaskan bahwa selama kerusuhan terjadi, kota-kota besar sekitaran Paris, termasuk Bordeaux, Lille, Lyon dan Marseille juga ikut terdampak. Ia juga mengungkapkan jam operasional kendaraan umum di kota-kota tersebut masih belum kembali normal guna mencegah berkumpulnya massa yang berpotensi menimbulkan kekacauan. 

"Bukan dihentikan operasinya, tapi hanya beroperasi jam 9 malam. Baru beroperasi lagi jam 6 pagi di kota-kota besar, sehingga mengurangi akses dari kota-kota sekitarnya untuk berkumpul pada saat setelah kegiatan publik selesai," paparnya. 

Kerusuhan yang terjadi, sebut Oemar, terjadi setelah sore hari hingga malam hari. "Sebelum kondisinya lebih tenang, kerusuhan biasanya terjadi pada sore hingga malam hari. Ini tampak dalam video-video yang beredar di mana aksi-aksi kekerasan terjadi saat suasananya sudah mulai gelap," katanya menambahkan. 

Lantaran kerusuhan yang telah berlangsung selama sepekan ini tidak dinyatakan sebagai kondisi darurat oleh pemerintah setempat, Oemar mengatakan tidak ada imbauan langsung yang diberikan warga asing. Hanya saja, pemerintah mengerahkan kekuatan pertahanannya untuk mengatasi kekacauan yang terjadi. 

"Pemerintah lebih bertindak untuk mengerahkan lebih banyak polisi, pengurangan operasi kendaraan umum, penundaan rencana pertunjukan besar seperti festival di berbagai kota," jelas Oemar. 

Infografis Penembakan Jacob Blake Picu Kerusuhan Rasial. (Liputan6.com/Triyasni)
Infografis Penembakan Jacob Blake Picu Kerusuhan Rasial. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya