Liputan6.com, Jakarta - Satu lagi putra terbaik bangsa yang berpulang untuk selama-lamanya. Maestro lukis Djoko Pekik meninggal dunia di RS Panti Rapih, Yogyakarya, hari ini, Sabtu (12/8/2023), sekitar pukul 8.00 WIB di usia 86 tahun.
Ungkapan duka atas kepergian Djoko Pekik pun dibagikan sejumlah teman, sahabat, dan kolega, termasuk Butet Kartaredjasa. Melalui unggahan di akun Instagram-nya, Sabtu, seniman berusia 61 tahun ini menghaturkan ucapan duka, sekaligus berbagi sekeping memori tentang sang mendiang pelukis.
Melalui keterangan panjang, Butet menceritakan lukisan dramatis dari "masa gelap" Pekik. Ia menulis, "PEKIK MERINGKUK. Suatu siang lima tahun lalu, saya bersama Pak Djoko Pekik berada di Benteng Vredeburg."
Advertisement
"Juga, beberapa seniman lain ada di situ. Kami meriung, ngobrol ngidul sambil menikmat teh. Tiba-tiba Pak Pekik mengajak kami masuk sebuah ruang yang kini sudah dipugar, berlantai granit mengkilap."
"'Dulu lantainya ndak seperti ini. Dari pahatan batu candi. Kasar. Kami para tapol (tahanan politik) tidur di lantai kasar itu. Tanpa tikar. Tidurnya berhimpitan. Kayak sarden. Hanya bisa meringkuk. Aku di bawah jendela itu.' Pak Pekik lalu memeragakan posisi tidurnya. Ia seperti merekonstruksi masa gelap, periode ia ditahan penguasa Orde Baru."
"Bagaimana saban malam dia bersaksi siapa saja tapol yang di-dor, bagaimana dia berinteraksi dengan CPM dan tentara yang bertugas di Vredeburg, bagaimana sesama tapol bisa saling berkhianat, bagaimana kisahnya saat ditangkap dan masa awal perkawinannya dengan Bu Tinuk. Semua full drama," imbuh Butet Kartaredjasa.
Hasilkan Lukisan Dramatis
Butet menyambung, "Beberapa bulan kemudian, suatu pagi ketika saya bertamu di rumahnya, ia kembali memeragakan posisi meringkuk itu. Kali ini, ia praktikkan dengan membongkar celana dan baju. Telanjang dada. Cuma pakai cawat. Dia meringkuk dan meminta saya memotret posisinya tidur saat di penjara. Foto dramatik dengan pencahayaan yang baik."
"Akhirnya dari foto inilah lahir lukisan goresan karya pelukis Sigit Santosa yang juga dramatik. Dengan setting sel penjara Vredeburg seperti dituturkan Pak Djoko Pekik," lanjutnya. "Bedanya, dalam lukisan ini seperti ada luka 'bekas paku' di kakinya."
"Seperti luka Sang Penebus Dosa. Semoga Pak Pekik mengakhiri perjalanan hidupnya dengan menanggalkan semua luka dan meniupkan hawa penebusan. Ikhlas, ikhlas, ikhlas... Selamat jalan Pak Pekik. Sumangga Gusti," tandasnya.
Sebagaimana diketahui, Pekik tercatat sebagai salah satu seniman Bumi Tarung yang ditangkap polisi pada 8 November 1965 karena dianggap berhubungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950.
Nama terkenal lain yang dilekatkan dengan Lekra adalah penulis, sekaligus novelis Pramoedya Ananta Toer.
Advertisement
Lukisan Berharga sampai Miliaran Rupiah
Kanal Regional Liputan6.com per 12 Agustus 2023 mencatat, sepanjang karier melukisnya, Djoko Pekik pernah memiliki lukisan yang dihargai sampai miliaran rupiah. Lukisan-lukisannya pun banyak diincar para kolektor seni.
Menurut Mutual Art, karya Pekik telah dilelang berkali-kali, dengan harga realisasi mulai dari 1.278 dolar AS hingga 43.166 dolar AS, tergantung ukuran dan medium karya seni tersebut. Sejak 1998, rekor harga karyanya di pelelangan tercatat menembus 43.166 dolar AS untuk lukisan Kuda Lumping, dijual di Christie's Hong Kong pada 2003.
Seniman ini lahir di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah, 2 Januari 1937. Pekik mengawali karier keseniannya pada 1957 melalui pendidikan formal bidang seni di Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI)Â Yogyakarta.
Kemampuan melukisnya juga didapatkan dari Sanggar Bumi Tarung. Melalui sanggar tersebut, lukisan milik Pekik masuk dalam lima besar lukisan terbaik di pameran tingkat nasional yang diadakan Lekra pada 1964. Pada 1965--1972, ia sempat jadi tahanan politik karena hubungannya dengan Lekra, yang diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia.
Â
Mulai Pameran Lagi pada Tahun 90-an
Pada 1990, Djoko Pekik mulai memamerkan lagi karyanya di Edwin Galeri Jakarta. Nama Pekik semakin dikenal setelah salah satu karyanya, yakni lukisan Berburu Celeng, terjual seharga Rp1 miliar pada 1998. Itu jadi salah satu karyanya yang bersinar di era Order Baru, menggambarkan keadaan para pemimpin Indonesia pada masa itu.
Karya Pekik memang memiliki keunikan karena mengangkat tema yang berbeda dari kebanyakan pelukis pada masanya. Ia sering mengangkat tema yang berkaitan dengan kesulitan hidup dengan gaya ekspresionis.
Beberapa orang menyebut inspirasi lukisan Pekik berasal dari teknik-teknik milik Affandi yang dikembangkan jadi tekniknya sendiri. Ia mencairkan cat minyak secukupnya dan mengusapkannya ke kanvas dengan usapan yang lebar dan basah.
Teknik basah yang digunakan pun menuntutnya untuk bekerja lebih cepat. Jika cat sudah mengering, Pekik tidak dapat mendapatkan hasil lukisan seperti yang diinginkan.
Hal itu membuatnya sering kali menyelesaikan lukisan hanya dalam sekali duduk. Dalam perkembangannya, selain mengangkat tema sosial, karya Pekik juga sering mengangkat tema tragedi politik. Gaya pelukisannya mengusung gaya realis-ekspresif yang dibumbui nilai-nilai kerakyatan.
Advertisement