Liputan6.com, Jakarta - Menurut sejumlah studi, kualitas air minum berkaitan erat dengan kesehatan tubuh. Dari temuan tersebut, muncul ragam pertanyaan seputar bagaimana mendapatkan air minum dengan kualitas terbaik. Di antara praktik yang sudah meluas, beberapa rumah memutuskan merebus air minum mereka. Apakah cukup?
Spesialis Gizi Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sekaligus Ketua Indonesian Hydration Working Group (IHWG), dr. Diana Sunardi, Mgizi, SpGK(K), mengatakan bahwa merebus air minum harus memenuhi waktu tertentu.
"Jadi tidak sembarang sudah mendidih, lalu dimatikan. Air harus direbus selama 5--15 menit," ia menyebut dalam jumpa pers "Tidak Semua Air Sama" di bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 26 September 2023. Pun sudah memenuhi waktu perebusan, belum tentu air bebas dari kontaminan tertentu.
Advertisement
"Walau air minum sudah direbus hingga mendidih, jika cara penanganan dan penyimpanan air tidak higienis, kontaminasi E. coli dapat kembali terjadi," paparnya. "Ada juga parasit tahan panas yang tidak bisa dilihat secara kasat mata dan kontaminasi logam yang tidak terasa."
dr. Diana mengatakan, ada empat syarat air minum yang baik untuk dikonsumsi, yakni tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak mengandung kontaminan yang berbahaya untuk tubuh. Sayangnya, potensi kontaminan ini kebanyakan tidak bisa dilihat langsung dengan mata telanjang.
"Harus dilihat di lab dulu," ia menyambung.
Waspada Kontaminasi Bakteri E.coli
Merujuk studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) Kementerian Kesehatan tahun 2020, dr. Diana memaparkan, tujuh dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air minum dari infastruktur yang terkontaminasi bakteri E. coli.
"Hanya 11,9 persen rumah yang memiliki akses terhadap air yang aman untuk dikonsumsi," imbuhnya. Kemudian, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2018, tercatat bahwa 10 dari 34 provinsi di Indonesia memiliki indeks kualitas air yang buruk dengan cemaran bakteri E. coli yang cukup tinggi.
Cemaran bakteri E. coli berpotensi memicu diare. "Seperti diketahui, diare merupakan salah satu penyebab utama kematian balita di Indonesia, menurut Profil Kesehatan Indonesia pada 2020," sebut dr. Diana. "Minum air dari sumber yang berkualitas buruk juga meningkatkan risiko bayi stunting."
"Komposisi mikrobiota juga dipengaruhi sumber air minum. Dari hasil riset, komposisi bakteri jahat, yang membawa berbagai masalah kesehatan, meningkat ketika anak-anak mengonsumsi air minum dari sumber yang tidak aman," ia menyambung.
Advertisement
Konsumsi Air Minum Secara Selektif
Guru besar hidrogeologi Universitas Gadjah Mada Prof. Dr.rer.nat. Ir. Heru Hendrayana, menjelaskan bahwa kandungan air tanah tidak hanya H20. "Ada mineral dan pencemar yang bisa saja berbeda di setiap sumber air," katanya di kesempatan yang sama.
Ia melanjutkan, "Air yang sehat dan aman untuk dikonsumsi sangat bergantung dari sumbernya. Air yang diambil dari tanah dangkal peluang tercemar aktivitas manusianya besar. Sementara air dari akuifer dalam bersifat murni dan memiliki kandungan mineral alami sehingga aman dan menyehatkan untuk dikonsumsi."
Sumber air jadi semakin penting karena air yang berasal dari sumber-sumber kurang baik memerlukan pemrosesan lebih kompleks. Padahal, air minum yang diproses berlebihan, seperti air demineral, tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi dalam jangka panjang oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Konsumsi air demineral dinilai berdampak buruk bagi kesehatan, seperti meningkatkan risiko gangguan kesehatan jantung dan pembuluh darah. Merujuk data-data tersebut, Najwa Shihab, yang juga hadir di acara tersebut, mengajak publik mengonsumsi air minum secara selektif.
"(Kualitas) air minum kerap kali dipandang sepele, padahal apa yang dikonsumsi setiap hari justru harus jadi prioritas," ia menyebut.
Bijak Berplastik
Sebagai perusahaan air minum, AQUA mengklaim menerapkan pendekatan yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk memastikan kualitas dan kuantitas sumber air mereka. Di hulu, Sustainability Director Danone, Karyanto Wibowo, menyebut bahwa pihaknya menanam hingga 2,5 juta pohon di berbagai wilayah konservasi di Indonesia.
Kemudian, mereka juga membangun hingga 2,3 ribu sumur resapan, serta membangun 12Â ribu parit buntu untuk menampung dan meresapkan air ke dalam tanah, juga menampung sedimen-sedimen dari bidang olah, sehingga menambah sumber-sumber air di bagian hilir.
Â
Di hilir, mereka menyebut mengembangkan 17 taman keanekaragaman hayati untuk menjaga keberlanjutan ekosistem, termasuk flora dan fauna endemik, serta menyediakan akses air bersih dan sanitasi ke lebih dari 500 ribu penerima manfaat.
Melalui gerakan #BijakBerplastik, AQUA juga berupaya mengimplementasikan ekonomi sirkular kemasan dan mengelola kemasan pacakonsumsi melalui tiga langkah utama. Pertama, mengembangkan infrastruktur pengumpulan sampah, lalu edukasi konsumen dan masyarakat, dan terakhir, inovasi kemasan produk.
Dari sisi inovasi kemasan, AQUA memelopori penggunaan galon guna ulang yang mencegah penggunaan lebih dari 770 ribu ton virgin plastic, mengeliminasi segel plastik kemasan yang sulit didaur ulang, dan meluncurkan air minum dalam kemasan yang 100 persen terbuat dari material daur ulang dan dapat didaur ulang.
"Saat ini, pemakaian bahan baku daur ulang sudah sampai 25 persen," sebut Karyanto. "Kami berupaya terus menaikkan laju daur ulang kemasan kami, karena target kami bisa mengumpulkan lebih banyak kemasan (botol plastik bekas) daripada yang kami produksi."
Advertisement