Liputan6.com, Jakarta - Uni Emirat Arab (UEA) telah menunjuk seorang teknokrat veteran yang memimpin perusahaan minyak milik negara di Abu Dhabi dan mengawasi upaya energi terbarukan untuk memimpin negosiasi iklim PBB, COP28, yang akan dilaksanakan pada Kamis, 30 November 2023 hingga Selasa, 12 Desember 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab.
Dilansir dari Al Jazeera, Senin, 9 Oktober 2023, pihak berwenang Emirat mencalonkan Sultan al-Jaber, yang merupakan orang kepercayaan Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Al- Jaber diketaui menjabat sebagai CEO Abu Dhabi National Oil Co. Pengumuman tersebut memicu kritik keras dari aktivis lingkungan.
Perusahaan Al-Jaber memproduksi sekitar 4 juta barel minyak mentah per hari dan merencanakan peningkatan produksi menjadi 5 juta barel per hari, sehingga menghasilkan lebih banyak karbon dioksida yang memerangkap panas. Padahal, itu merupakan hal yang ingin dibatasi oleh negosiasi iklim tahunan PBB.
Advertisement
Kantor berita WAM yang dikelola pemerintah UEA membuat pengumuman tersebut, mencatat bahwa al-Jaber juga menjabat sebagai utusan iklim selama bertahun-tahun.
"Ini akan menjadi tahun yang kritis dalam dekade yang kritis bagi aksi iklim," WAM mengutip pernyataan al-Jaber. "UEA mendekati COP28 dengan rasa tanggung jawab yang kuat dan ambisi setinggi mungkin."
"Kami akan menerapkan pendekatan pragmatis, realistis, dan berorientasi pada solusi yang menghasilkan kemajuan transformatif bagi iklim dan pertumbuhan ekonomi rendah karbon."
Dalam pengumumannya mengenai al-Jaber, WAM mengatakan UEA telah menginvestasikan "lebih dari 50 miliar dolar AS atau sekitar Rp784,9 triliun dalam proyek energi terbarukan di 70 negara, dengan rencana untuk berinvestasi minimal 50 miliar dolar AS atau sekitar Rp784,9 triliun selama dekade berikutnya". Namun, belum jelas dari mana angka-angka tersebut berasal.
Al-Jaber Dianggap Hanya Mengikuti Tren
Al-Jaber juga memimpin inisiatif hijau, termasuk proyek kota "netral karbon" senilai 22 miliar dolar AS atau sekitar Rp345 triliun di pinggiran Abu Dhabi. Namun, proyek ini dihentikan setelah krisis keuangan global yang melanda Emirates pada 2008.
Ia juga menjabat sebagai ketua Masdar, yaitu sebuah perusahaan energi ramah lingkungan yang tumbuh dari proyek tersebut dan kini beroperasi di lebih dari 40 negara.
"Sultan al-Jaber memiliki kualifikasi dan latar belakang untuk mengikuti tren yang sedang terjadi," kata Ryan Bohl, analis Timur Tengah di perusahaan intelijen risiko RANE Network. "Sebagai seorang pengusaha minyak, saya rasa hal itu tidak akan menimbulkan risiko sebesar itu baginya," jelas Bohl.
Kepala kebijakan iklim Uni Eropa Frans Timmermans mengatakan dia akan bertemu al-Jaber. "Sebagai Presiden yang akan datang, UEA memiliki peran penting dalam membentuk respons global terhadap krisis iklim," ujarnya di Twitter. "Kita perlu menambah kecepatan," ia menambahkan.
Advertisement
Pencalonannya Langsung Menuai Kritik
Harjeet Singh, Kepala Strategi Politik Global di Climate Action Network International, mengatakan bahwa memegang jabatan CEO di perusahaan minyak negara Al-Jaber menimbulkan "konflik kepentingan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengkhawatirkan."
"Tidak ada tempat bagi para pencemar dalam konferensi iklim, apalagi memimpin COP," kata Singh.
Alice Harrison dari Global Witness menyatakan ketidaksetujuan tersebut dengan lebih blak-blakan. "Anda tidak akan mengundang pedagang senjata untuk memimpin pembicaraan damai. Jadi, mengapa membiarkan para eksekutif minyak memimpin perundingan iklim?"
UEA akan mengambil alih kepresidenan pembicaraan iklim PBB dari Mesir pada akhir November tahun ini ketika negara tersebut menjadi tuan rumah pertemuan puncak yang berlokasi di Dubai Expo. Setiap tahun, negara yang menjadi tuan rumah Conference of the Parties (Konferensi Para Pihak) akan mencalonkan seseorang untuk memimpin pembicaraan, yang biasanya dikonfirmasi oleh delegasi pada awal perundingan tanpa keberatan.
Mesir mengadakan acara tahun lalu di resor Laut Merah Sharm el-Sheikh. Kelompok hak asasi manusia berulang kali mengecam kinerja Mesir di bawah Presiden Abdel Fattah el-Sisi dan mencatat taktik pengawasan dan intimidasi yang melanggar hukum di acara tersebut pada November 2022.
COP Dianggap Forum Greenwashing
Dari total 20 sponsor atau mitra pada pertemuan puncak iklim tersebut, pengawas perusahaan mengidentifikasi 18 di antaranya mendukung secara langsung atau bermitra dengan industri bahan bakar fosil. Aktivis terkemuka Greta Thunberg menolak menghadiri COP27, yang menurutnya merupakan forum “greenwashing”.
UEA dan negara-negara di Teluk Persia lainnya telah menyerukan transisi yang realistis dengan hidrokarbon akan tetap berperan dalam keamanan energi sambil membuat komitmen terhadap dekarbonisasi. Tuntutan bagi pemerintah dan perusahaan untuk tidak lagi menggunakan minyak dan gas semakin berkurang sejak invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu dan krisis energi di Eropa.
UEA, negara pertama di kawasan tersebut yang meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015, telah berkomitmen untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050. Dinamika dari presiden COP bervariasi selama bertahun-tahun. Para pengamat secara luas melihat Alok Sharma dari Inggris sebagai orang yang energik dan berkomitmen untuk mencapai hasil yang ambisius. Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mendapat kritik dari beberapa peserta karena cara dia memimpin pertemuan tahun lalu yang kacau dan terkadang tidak transparan.
Advertisement