Catat, Masalah Tidur Bisa Picu Gangguan Kesehatan Mental

Masalah gangguan tidur tidak hanya dirasakan orang dewasa, tetapi juga kalangan remaja.

oleh Putri Astrian Surahman diperbarui 08 Mar 2024, 22:16 WIB
Diterbitkan 08 Mar 2024, 22:16 WIB
Ilustrasi insomnia
Ilustrasi insomnia. (Image by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Tidur merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran dari aktivitas sehari-hari. Sebagian orang bisa tidur dengan nyenyak dan cukup, tapi sebagian lagi tidak. Mereka seringkali kesulitan tidur hingga hanya bisa beristirahat 3--4 jam per hari.

Dilansir dari The New York Times, Selasa, 20 Februari 2024, sepertiga orang dewasa di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka tidur kurang dari tujuh jam setiap malam. Masalah gangguan tidur di kalangan remaja bahkan lebih buruk lagi. Sekitar 70 persen siswa sekolah menengah tidak mendapatkan cukup tidur pada malam sekolah.

Kondisi ketika seseorang kesulitan tidur ini disebut sebagai insomnia. Ketika kondisi fisik sudah lelah dan memerlukan istirahat, namun pikiran masih diselimuti kegelisahan dan kecemasan, seseorang akan kesulitan tidur cepat. Masalah tersebut bukan hal sepele karena bisa berdampak pada kesehatan keseluruhan, termasuk kesehatan mental.

Berdasarkan hasil survei kesehatan mental Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 pada remaja usia 10-17 tahun, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Sementara, 1 dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Meskipun kesehatan dan gangguan mental ini bukan disebabkan oleh gangguan tidur sepenuhnya, hal ini bisa menyebabkan seseorang kesulitan tidur sehingga beberapa dari mereka ada yang harus meminum pil tidur.

Analisis terhadap 19 penelitian menemukan bahwa kurang tidur tidak hanya memperburuk kemampuan seseorang untuk berpikir jernih atau melakukan tugas tertentu, tetapi berdampak negatif lebih besar pada suasana hati. 

Dampak Negatif Insomnia

ilustrasi kecemasan
ilustrasi kecemasan (sumber: freepik)

Berdasarkan survei dari National Sleep Foundation pada 2022, setengah dari mereka yang mengaku tidur kurang dari tujuh jam setiap hari kerja  juga dilaporkan mengalami gejala depresi. Mengutip dari situs The New York Times, seorang peneliti tidur yang merawat pasien penderita insomnia, di Universitas California, San Francisco, Aric Prather, mengatakan bahwa ketika orang mengalami kesulitan tidur, hal itu mengubah cara mereka mengalami stres dan emosi negatif.

"Bagi sebagian orang, hal ini dapat memberikan efek lanjutan, merasa tidak enak, merenung, merasa stres dapat merembes ke dalam malam kita," katanya.

Carley Demler (40), seorang ibu rumah tangga di North Carolina, mengatakan bahwa menjadi mudah tersinggung, kurang sabar, dan jauh lebih cemas setelah selama lebih dari satu tahun mengalami gangguan tidur. Meski sudah meminum pil tidur, ia tetap terjada sepanjang malam.

"Sepertinya kecemasan saya adalah api yang entah bagaimana melompati pagar dan akhirnya meluas ke malam-malam saya," katanya. "Saya hanya merasa saya tidak punya kendali."

Pada akhirnya, terapi perilaku kognitif untuk insomnia, atau C.B.T.-I.,lah yang paling melegakan Ms. Demler. Penelitian telah menemukan bahwa C.B.T.-I. lebih efektif dibandingkan obat tidur dalam jangka panjang. Sebanyak 80 persen orang yang mencobanya merasakan peningkatan dalam kualitas tidur mereka.

Hentikan Siklus Insomnia Mulai dari Sekarang

anak depresi
Ilustrasi anak depresi/copyright unsplash.com/Joseph Gonzalez

Demler belajar untuk tidak 'berbaring di tempat tidur dan panik'. Sebaliknya, dia bangun dan membaca agar tidak mengasosiasikan kamar tidurnya dengan kecemasan, lalu kembali ke tempat tidur ketika dia lelah.

"Rasa syukur yang saya rasakan setiap pagi, ketika saya bangun dan merasa cukup istirahat, saya rasa tidak akan pernah hilang," ujarnya. "Itu adalah hikmah yang tidak terduga."

Orang dewasa membutuhkan antara 7 sampai 9 jam tidur malam, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Remaja dan anak kecil membutuhkan lebih banyak lagi.

 

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Halodoc, terapi perilaku kognitif menjadi salah satu langkah efektif mengatasi insomnia. Cara yang satu ini dikenal dengan istilah cognitive behavior therapy for insomnia (CBT-I), yang bertujuan untuk mengubah pola pikir atau perilaku yang menjadi penyebab insomnia. Berikut merupakan langkah-langkah dengan menggunakan metode CBT-I:

 

 

 

1. Terapi Kontrol Stimulus

Contoh ilustrasi hidup sehat
Keputusan untuk hidup sehat dapat memberikan dampak untuk diri serta manfaat kesehatan (Foto: Unsplash.com/Jared Rice)

 

Terapi ini dilakukan dengan mengajarkan pasien bahwa tempat tidur hanya dipakai untuk tidur dan aktivitas seksual saja. Berbaring sambil bermain gawai adalah salah satu kebiasaan buruk yang dapat memicu insomnia.

2. Terapi Restriksi Tidur

Terapi ini dilakukan dengan membatasi waktu tidur selama 5–6 jam per hari. Tujuannya agar pasien merasa kurang tidur di malam hari, dan membuat tidur menjadi lebih cepat di hari-hari berikutnya.

3. Terapi Relaksasi

Terapi ini dilakukan dengan mengarahkan pikiran dan tubuh untuk tetap santai agar stres dan gangguan kecemasan berkurang. Kebiasaan overthinking di malam hari adalah pemicu insomnia.

4. Edukasi Sleep Hygiene

Terapi yang satu ini menuntut pasien untuk konsisten menjalani pola hidup sehat. Mengurangi kebiasaan buruk, seperti merokok, terlalu banyak konsumsi alkohol dan kafein, makan sebelum tidur, serta pola hidup tidak aktif. 

5. Terapi Kognitif dan Psikoterapi

Terapi ini akan mengajarkan bagaimana cara mengatasi perasaan dan pikiran negatif tersebut, menjadi hal-hal yang positif. Dengan begitu, kekhawatiran yang dirasakan dan dipikirkan akan hilang, sehingga kamu dapat tidur dengan nyenyak.

Infografis 5 Tips Tidur Malam Berkualitas di Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 5 Tips Tidur Malam Berkualitas di Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya