Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini media sosial digegerkan dengan kabar putri dari Ridwan Kamil, Camilia Laetitia Azzahra yang memutuskan untuk melepas hijabnya. Hal itu diungkap perempuan yang akrab disapa Zara itu lewat Instagram pribadinya @camilliazr pada Jumat, 5 April 2024.Â
"Hi semuanya, setelah banyak pertimbangan dan diskusi yang sangat amat panjang dengan keluarga aku, aku memutuskan untuk melepas kerudungku," tulisanya dalam salah satu unggahan.
Advertisement
"Karena bagi aku, secara personal, seorang muslim yang baik adalah mereka yang melakukan syariat ajaran agama dari hati. Bukan soal penampilan, tapi soal hati yang bersih," sambungnya.
Advertisement
Unggahan tersebut mendapat 30 ribu lebih komentar bernada pro dan kontra. Sebagian mendukung apa yang dilakukan Zara, yang lain menyayangkan keputusannya. Bahkan banyak juga warganet yang berkomentar bahwa ini adalah efek dari kultur kuliah di luar negeri.
"Akibat pergaulan di Eropa kayaknya," ujar @reytan_fame dalam postingan tersebut yang diunggah Jumat, 6 April 2024.
Saat ini, Zara berkuliah di Newcastle University di Inggris jurusan Arsitek setelah pindah dari Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan melalui jalur prestasi pada 2022. Sama seperti ayahnya, Ridwan Kamil, Zara juga bercita-cita menjadi Arsitek.
Berbicara mengenai Inggris, sebenarnya seperti apa perkembangan Islam di sana sampai Zara disebut terbawa oleh pergaulan tempat kuliahnya? Berikut merupakan kondisi terkini muslim di Inggris yang dikutip dari berbagai sumber.Â
Muslim Inggris Terkonsentrasi di Perkotaan Tertinggal
Mengutip situs resminya Muslim Council Britain (MCB), Sabtu, 6 April 2024, mereka meluncurkan laporan terbarunya yang menyoroti lanskap demografis dan sosio-ekonomi umat Islam di Inggris dan Wales. Memanfaatkan data dari Sensus 2021 serta wawasan dari tahun-tahun sebelumnya, laporan menyebutkan bahwa populasi Muslim di sana masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan yang tertinggal.
Itu sebabnya, komunitas Muslim di Inggris masih memerlukan peningkatan perhatian dalam strategi peningkatan level pemerintah di masa depan. Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Inggris, Zara Mohammed, menyatakan bahwa terdapat kesenjangan dalam beberapa aspek kehidupan yang mengakar yang dihadapi oleh umat Islam Inggris dalam dua dekade terakhir.
Hal ini perlu adanya peran dari para pembuat kebijakan dan pemerintah Inggris untuk memastikan bahwa Inggris tidak akan mengecewakan generasi muda Muslim berikutnya ketika mereka berupaya menemukan rute dan akses yang lebih baik terhadap peluang dalam situasi Inggris yang penuh kesulitan baik dari segi politik dan ekonomi.
Â
Advertisement
Adanya Kesenjangan Sosial dan Ekonomi
Berdasarkan demografis, muslim di Inggris yang berusia di bawah 16 tahun jumlahnya hampir dua kali lipat dari keseluruhan populasi yang menunjukkan tren demografi kaum muda. Sedangkan untuk identitas, mayoritas Muslim di Inggris dan Wales adalah kelahiran Inggris (mencapai 50 persen), dengan sebagian besar (75 persen) mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Inggris.
Selain itu, lebih dari 90 persen umat Islam fasih berbahasa Inggris atau menganggapnya sebagai bahasa utama mereka. Dilihat dari segi pendidikan, data tersebut berbicara bahwa memang terdapat peningkatan yang signifikan dalam pencapaian pendidikan.
Disebutkan sebanyak 32,3 persen umat Islam memiliki kualifikasi tingkat sarjana pada 2021. Hal ini meningkat dibandingkan dengan 2011 yang hanya mencapai 24 persen yang sebagian besar didorong oleh partisipasi perempuan Muslim yang lebih besar dalam pendidikan tinggi.
Meskipun ada kemajuan dalam bidang pendidikan, terdapat kesenjangan sosial ekonomi di sana. Bayi baru lahir dari keluarga Muslim, sebagian besar dilahirkan di daerah tertinggal dengan prospek mobilitas sosial yang terbatas, terutama terlihat pada pekerjaan eselon yang lebih tinggi.
Rawan Penyerangan dari Kelompok Anti-Muslim
Selain adanya kesenjangan sosial dan ekonomi, Inggris juga rawan penyerangan oleh kaum anti-muslim. Mengutip BBC pada Sabtu, 6 April 2024, kasus anti-Muslim melonjak di Inggris sejak serangan Hamas.
Pemerintah Inggris mengutuk laporan baru-baru ini mengenai kasus kebencian anti-Muslim dan anti-Yahudi, yang menurut badan amal dan polisi telah meningkat hingga mencapai rekor tertinggi. Menteri Dalam Negeri, James Cleverly, melakukan tindakan untuk mengatasi hal tersebut dengan mengeluarkan lebih dari 117 juta GBP (sekitar Rp2 triliun) untuk melindungi masjid, sekolah Muslim dan pusat komunitas di Inggris dari serangan kebencian selama empat tahun ke depan, kata pemerintah.
Pengumuman ini muncul sebagai tanggapan atas kekhawatiran konflik Israel-Hamas yang memicu perpecahan di Inggris. Pendanaan tersebut, yang diumumkan pada awal Ramadhan, merupakan bagian dari paket dukungan untuk memberikan jaminan bahwa pelecehan, ancaman atau pelecehan anti-Muslim atau segala bentuk kejahatan rasial tidak akan ditoleransi.
"Kebencian anti-Muslim sama sekali tidak memiliki tempat dalam masyarakat kita. Kami tidak akan membiarkan peristiwa di Timur Tengah digunakan sebagai alasan untuk membenarkan pelecehan terhadap Muslim Inggris," ujar Cleverly. "Investasi ini akan memberikan kepastian dan kepercayaan kepada umat Islam Inggris," tambahnya.
Advertisement