Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan study tour sedang disorot tajam menyusul kasus kecelakaan bus pengangkut siswa SMK Lingga Kencana Depok yang menyebabkan 11 orang meninggal dunia. Pj. Gubernur Jwa Barat Bey Machmuddin pun akhirnya membatasi kegiatan yang sedianya untuk memberi pengalaman langsung kepada siswa.
Sejumlah orangtua siswa menanggapi beragam. Yang setuju dengan kebijakan tersebut rata-rata karena merasa study tour memberatkan kantong mereka.Â
"Akhirnya Doa para orang tua murid di kabulkan di daerah Jawa barat😂😂,,Yg selalu bikin pusing kata ibu kalau ada study tour nguras kantong di saat ada anak yg lain berbarengan dengan masuk sekolah,daftar ulang study tour,,Yg bikin pusing bapak2 kaum buruh😂😂di saat harga sembako melambung tinggi," tulis seorang warganet menanggapi unggahan akun Instagram @infojawabarat, 13 Mei 2024.
Advertisement
Banyak pula yang menganggap study tour dijadikan 'ladang bisnis' oknum dengan beragam asumsi. "Hanya untuk ladang bisnis ini pak pj ok kita kalkulasi dari iuran per anak di kali berapa bayar bus berapa kebanyakan sisanya banyak tuh duit kalo ga percaya tanya ajah pada kepsek nya," komentar warganet berbeda.
Tentu, tak semua orangtua sepakat dengan pembatasan, apalagi pelarangan study tour. Kiki, misalnya. Ibu dari anak lelaki berusia 9 tahun itu baru saja mengizinkan anaknya mengikuti kegiatan rihlah yang digelar di sekolah putranya. Kegiatan jalan-jalan itu merupakan agenda tahunan sekolah yang disampaikan detailnya minimal tiga bulan sebelum acara.
"Kemarin anak aku ke Tangerang. Satu tempat wisata aja, pulang pergi, karena anak aku masih kelas 3 SD. Kalau yang kelas 5--6 baru nginep di luar kota," tuturnya kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 16 Mei 2024.
Â
Â
Pentingnya Study Tour
Bagi Kiki, study tour tak masalah bagi orangtua sepanjang sekolah transparan dengan semua biaya yang akan dikeluarkan. Bila angka yang disodorkan masuk akal, sesuai dengan fasilitas yang akan didapat anak serta terjamin keamanan dan kenyamanan selama kegiatan berlangsung, orangtua lebih bisa menerima.
"Ada suratnya yang menyatakan mengizinkan, plus bayar. Tapi kalau enggak ikut, ya enggak perlu bayar," imbuhnya seraya menyebut 80 persen anak seangkatannya mengikuti kegiatan tersebut.
Di sisi lain, ia merasa kegiatan itu bermanfaat untuk memberinya pelajaran kemandirian. Meski ada guru dan pendamping, anak-anak akan diarahkan untuk mengelola kebutuhan pribadinya semandiri mungkin. Anak juga memiliki waktu bergaul dengan sebayanya dan belajar memposisikan diri.
"Lagian, kasihan kalau anaknya ga ikut jalan-jalan, sementara banyak temen-temennya yang ikut. Nanti dia diam aja sementara teman-temannya cerita-cerita pengalaman mereka. Kalau pulang study tour, biasanya kan pada cerita kan di kelas?" ucap Kiki.
Sementara itu, pengamat pendidikan Indra Charismiadji menegaskan bahwa study tour, dengan beragam istilah, berlaku di seluruh dunia, tak hanya di Indonesia. Program ini, kata dia, sangat penting karena akan memberikan experiential learning bagi siswa.
"Itu bagian dari pendidikan... Itu sangat penting dan sebaiknya tidak dihapus, karena beda kan, misalnya anak belajar tentang Monas dengan lihat di Youtube saja sama rasain tentang Monas, naik ke atas monumen. Itu kan rasanya beda," ucapnya saat dihubungi terpisah.
Advertisement
Benarkah Jadi Ladang Bisnis Oknum?
Meski begitu, Indra tak memungkiri terjadi penyimpangan dari tujuan utama study tour yang awalnya memberikan pengalaman belajar, malah jadi 'ladang bisnis', di sebagian sekolah. Orangtua yang diharapkan dukungannya berbalik jadi menentang.Â
"Apalagi dilakukan di sekolah-sekolah negeri yang harusnya semua kegiatan itu dibiayai pemerintah. Enggak boleh lagi ada sumbangan-sumbangan, bayaran ini itu," ucapnya.
Ia juga mengakui bahwa anggaran yang dimiliki sekolah tidak memadai untuk membiayai semua program. Pasalnya, mereka bergantung pada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah.
"Pemerintah pun tahu, anggota legislatif tahu, itu berupa bantuan, jadi enggak cuku anggarannya. Terus yang nyukupin siapa sedangkan banyak daerah tidak memberikan dana bantuan tambahan lagi untuk memastikan biaya sekolah itu ter-cover?"
"Ini yang kemudian maraklah study tour-study tour ini yang tujuannya lebih kentara, kental komersilnya dibandingkan pendidikannya. Nah itu yang saya mengecam, saya tidak sepakat," dia menguraikan.
Indikasi komersial menguat, menurut Indra, salah satunya adalah banyaknya kecelakaan yang melibatkan rombongan pelajar terjadi. Karena prinsip bisnis itu adalah mendapatkan pendapatan setinggi-tingginya dengan biaya semurah-murahnya, siswa pun diminta membayar mahal tapi disiapkan fasilitas seadanya yang kualitasnya diragukan.
"Harusnya bicara tentang kegiatan seperti ini bukan profit, tapi keamanan, kenyamanan dari siswa karena mereka masih anak-anak ya. Jadi, belajarnya itu nyaman. Itu konsep paling penting dari study tour ini," ia menegaskan.
Â
Â
Transparansi Jadi Kunci
Rizqy Rahmat Hani, Ketua Kampus Pemimpin Merdeka yang merupakan unit Yayasan Guru Belajar, menyoroti soal tujuan edukasi yang tidak dijelaskan dengan terang. Proporsi rekreasi yang dominan dibandingkan pembelajaran akhirnya mengurangi efektivitas study tour sebagai alat pendidikan yang berharga.
"Penting bagi penyelenggara untuk meninjau kembali tujuan dan pelaksanaan kegiatan study tour, memastikan bahwa setiap kegiatan yang dilakukan benar-benar mendukung tujuan pembelajaran dan relevan dengan materi yang telah atau akan dipelajari siswa," ia mengingatkan.
Di sisi lain, sekolah perlu didukung orangtua dalam penyelenggaraannya. Dalam beberapa kasus, menurutnya, hal itu disebabkan ketidaktransparanan yang memicu kecurigaan orangtua bahwa ada proses negosiasi yang mungkin tidak diketahui para orangtua.
"Secara ideal, pemilihan penyedia jasa study tour seharusnya dilakukan melalui proses yang terbuka dan kompetitif, yang memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik siswa dan efisiensi biaya. Transparansi dalam pemilihan vendor dan penjelasan rinci tentang penggunaan biaya sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan integritas institusi pendidikan," kata Rizqy lagi.
Sekolah, sambung dia, juga idealnya memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan study tour. Menurut Rizqy, siswa harus diberi pilihan tentang lokasi dan jenis kegiatan yang mereka minati, yang akan membantu mereka merasa lebih terlibat dan termotivasi.
Advertisement
Susun SOP hingga Evaluasi Pasca-Study Tour
Setelah kesepakatan dibuat, perlu untuk menyusun Standard Operating Procedures (SOP) yang jelas untuk penyelenggaraan study tour. SOP ini harus mencakup kriteria pemilihan vendor, termasuk aspek keselamatan, keamanan, dan profesionalitas. Berikutnya, guru dan sekolah harus menyusun panduan untuk study tour yang menjelaskan tujuan, manfaat, dan logistik kegiatan.
"Panduan ini juga harus mencakup protokol keselamatan dan keamanan, serta tanggung jawab siswa selama kegiatan. Panduan ini akan membantu memastikan bahwa semua kegiatan berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan," ia menjelaskan.
Yang tak kalah penting adalah evaluasi dan refleksi setelah study tour yang melibatkan guru dan siswa. Proses ini, kata dia, tidak hanya untuk menilai apa yang telah berhasil dan apa yang perlu diperbaiki, tetapi juga untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan pengalaman mereka dan memahami lebih lanjut tentang penerapan ilmu yang telah mereka pelajari dalam konteks nyata.
"Study tour harus dirancang agar dapat diakses oleh semua siswa, tanpa membebani secara finansial. Hal ini mungkin memerlukan pencarian sumber pendanaan atau sponsor yang dapat membantu mengurangi biaya bagi siswa yang membutuhkan, serta memastikan bahwa kegiatan ini tidak eksklusif hanya bagi mereka yang mampu membayar," ucap Rizqy.