Kisah Para Srikandi Penjaga Hutan di Aceh Berpatroli untuk Mengatasi Deforestasi dan Perburuan Satwa Liar

Para perempuan di Aceh yang tergabung dalam tim penjaga hutan secara rutin berpatroli menyusuri hutan untuk memperlambat penggundulan hutan (deforestasi) selama bertahun-tahun.

oleh Putri Astrian Surahman diperbarui 09 Jun 2024, 02:00 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2024, 02:00 WIB
Anggota kelompok patroli hutan perempuan Aceh
Anggota kelompok patroli hutan perempuan menandai posisinya di perangkat GPS saat patroli hutan di Damaran Baru, Provinsi Aceh, Selasa, 7 Mei 2024. (dok. AP Photo/Dita Alangkara)

Liputan6.com, Jakarta - Di hutan lebat di kaki gunung berapi di Aceh, Indonesia, nyanyian siamang di pepohonan hutan yang rindang bercampur dengan gelak tawa tujuh srikandi penjaga hutan yang berjalan di bawahnya. Mengutip AP News pada Selasa, 4 Juni 2024, mereka berpatroli menyusuri hutan untuk memperlambat penggundulan hutan (deforestasi).

Satu jam setelah patroli, penjaga hutan melihat orang lain yang sedang berada di hutan tempat mereka patroli. "Kemana kamu pergi? Apa yang sedang kamu lakukan?" mereka bertanya dengan ramah kepada seorang pria yang lewat sambil membawa peralatan pertanian. "Ingat untuk tidak menebang pohon kemanapun kamu pergi, oke?" tambahnya.

Kegiatan patroli hutan ini adalah salah satu taktik yang digunakan oleh kelompok penjaga hutan yang dipimpin perempuan untuk melindungi hutan di desa mereka dari deforestasi dan perburuan liar. Usaha keras mereka berbuah hasil. Setelah berpatroli selama bertahun-tahun, kasus deforestasi menurun tajam. Kini, para penjaga hutan berbagi strategi mereka dengan kelompok lain yang dipimpin perempuan juga yang berupaya melindungi hutan mereka di seluruh Indonesia.

Sebagai negara kepulauan tropis luas yang membentang di garis khatulistiwa, Indonesia adalah rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia dengan beragam satwa liar dan tumbuhan yang terancam punah, termasuk orangutan, gajah, dan bunga hutan raksasa. Beberapa jenis flora dan fauna tersebut sangat langka keberadaannya.

740 Ribu Kilometer Persegi Hutan Hujan Indonesia Dideforestasi

Anggota kelompok patroli hutan perempuan saat patroli
Anggota kelompok patroli hutan perempuan saat patroli hutan di Damaran Baru, Provinsi Aceh, Selasa, 7 Mei 2024. (dok. AP Photo/Dita Alangkara)

Sejak 1950, lebih dari 285.715 mil persegi (740 ribu kilometer persegi) hutan hujan Indonesia (dua kali luas Jerman) ditebang, dibakar dan terdegradasi (kualitasnya menurun akibat pemanfaatan sumber daya berlebihan) untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kertas dan karet, pertambangan nikel dan komoditas lainnya, menurut kepada Pengawasan Hutan Global. Dalam beberapa tahun terakhir, deforestasi telah melambat, namun terus berlanjut.

Di Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, yang berbatasan dengan salah satu hutan hujan tropis terkaya di Asia Tenggara, banyak penduduk desa yang bergantung pada hutan untuk penghidupan mereka. Para petani memanen kopi dari semak-semak di lereng gunung dan air yang mengalir dari lereng gunung menyediakan air untuk minum dan memasak di desa.

Namun penggundulan hutan yang sembarangan akibat praktik pertanian yang tidak bertanggung jawab dan penyalahgunaan sumber daya hutan, telah menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap lingkungan hidup, kata Sumini, warga desa yang bertugas sebagai penjaga hutan. Pada 2015, hujan lebat memicu banjir bandang di desa tersebut yang memaksa ratusan orang mengungsi.

Ketika air surut, Sumini pergi ke hutan dan melihat daerah aliran sungai dipenuhi pohon yang telah ditebang secara ilegal. "Saya melihatnya dan berpikir, ‘inilah yang menyebabkan tanah longsor dan bencana'," kata Sumini dalam sebuah wawancara.

Sempat Ditentang Pemerintah Desa

Sumini (kiri) dan Muhammad Saleh (tengah) memasang pita merah di sekeliling pohon
Sumini (kiri) dan Muhammad Saleh (tengah) memasang pita merah di sekeliling pohon sebagai tanda agar penduduk desa tidak menebangnya, di bagian hutan yang telah dibuka oleh penduduk desa untuk dijadikan perkebunan kopi saat patroli hutan di Damaran Baru, provinsi Aceh, Indonesia, Selasa, 7 Mei 2024. (dok. AP Photo/Dita Alangkara)

Pemikirannya berikutnya adalah apa yang mendorong terciptanya patroli yang dipimpin perempuan. "Sebagai perempuan, apa yang ingin kita lakukan? Apakah kita harus diam? Atau bisakah kita tidak terlibat?"

Ide Sumini tergolong baru. Ia mengajak sesama perempuan di desanya untuk berpatroli. Tapi, niat baik Sumini sempat ditentang pemerintah desa yang secara tradisional patriarki, perempuan tidak boleh memimpin dan diatur berdasarkan hukum Islam. Namun setelah meyakinkan para pemimpin desa dan suami dari perempuan yang berminat, termasuk mengizinkan laki-laki menemani mereka berpatroli, akhirnya Sumini diizinkan membentuk kelompok tersebut.

Sumini mulai bekerja sama dengan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh untuk membantu mendaftarkan kelompok patroli tersebut secara resmi dengan izin perhutanan sosial. Itu memungkinkan masyarakat lokal untuk mengelola hutan mereka. Setelah izin diproses, yayasan mulai mengajarkan metode standar konservasi hutan kepada calon penjaga hutan, kata ketua yayasan Farwiza Farhan.

Pelatihan pertama, katanya, adalah belajar membaca peta dan mengajarkan metode standar kehutanan lainnya, seperti mengenali tanda-tanda satwa liar dan menggunakan GPS.

"Cara orang luar menjelajahi hutan sangat berbeda dengan masyarakat lokal. Mereka tahu, tapi belum tentu diterjemahkan ke dalam bahasa standar yang kita gunakan, seperti peta dan GPS," kata Farhan. "Menemukan dan menciptakan ruang di mana kita berbicara dalam bahasa yang sama ketika berbicara tentang hutan adalah kuncinya."

Taktik yang Dilakukan Sumini dan Kelompoknya Dinilai Lebih Efektif

Sumini, ketua kelompok penjaga hutan
Sumini, ketua kelompok penjaga hutan, merawat tanaman kopi di ladangnya di Damaran Baru, provinsi Aceh, Indonesia, Rabu, 8 Mei 2024. (dok. AP Photo/Dita Alangkara)

Pada Januari 2020, kelompok tersebut menggelar patroli resmi pertama mereka. Sejak itu, perjalanan bulanan mereka melintasi hutan berjalan rutin mencakup pemetaan dan pemantauan tutupan pohon, membuat katalog tanaman endemik, dan bekerja sama dengan petani untuk menanam kembali pohon. 

Mereka secara berkala mengukur setiap pohon dan menandai lokasinya, menandainya dengan pita peringatan agar tidak menebangnya. Ketika mereka melihat seseorang di hutan, mereka mengingatkan orang tersebut akan pentingnya hutan bagi desanya dan memberi mereka benih untuk ditanam. Sumini mengatakan taktik sederhana yang digunakan perempuan, dibandingkan dengan perlawanan yang kasar, lebih efektif dalam membuat masyarakat mengubah kebiasaan mereka. 

Contohnya, Muhammad Saleh (50) yang membakar sebagian hutan, berburu harimau yang bisa ia bunuh dan jual untuk membantu memberi makan keluarganya. Di hari lain, dia menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar atau menangkap burung untuk dijual di pasar.

Istrinya, Rosita (44) memohon agar dia tidak melanjutkan kebiasaannya. Dia mengingatkannya tentang hewan yang akan terdampak oleh tindakannya. Butuh waktu bertahun-tahun, akhirnya Saleh berhenti berburu dan menebang pohon dan mulai bergabung dengan istrinya berpatroli di hutan.

"Hutan kami tidak lagi mengalami deforestasi. Hewan-hewan sudah terjaga dan kami semakin terjaga," katanya. "Seluruh dunia merasakan dampaknya, bukan hanya kita."

Kini, metode yang digunakan oleh penjaga hutan diterapkan di tempat lain di Indonesia, seiring dengan organisasi lokal, organisasi non-pemerintah, dan yayasan internasional yang membantu menyatukan kelompok-kelompok kehutanan yang dipimpin perempuan.

Infografis Kebakaran Hutan dan Bencana Kabut Asap di Indonesia
Infografis Kebakaran Hutan dan Bencana Kabut Asap di Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya