Liputan6.com, Jakarta - Puncak rangkaian peringatan ke-25 tahun Diana Award berlangsung secara daring pada Kamis malam, 5 Desember 2024. Penghargaan yang dibuat atas keyakinan bahwa 'pemuda punya kekuatan untuk mengubah dunia' itu mengumumkan hampir 200 nama penerima penghargaan Diana Award 2024, dengan sepuluh di antaranya berasal dari Indonesia. Para penerima penghargaan yang berhak berusia 9--25 tahun.
Pangeran Harry bergabung dalam acara tersebut lewat video yang direkam sebelumnya, sedangkan sang kakak, Pangeran William hanya mengirimkan pernyataan secara tertulis. "Keyakinan ibu saya terhadap kekuatan generasi muda untuk mendorong perubahan positif terus menginspirasi saya," kata ayah dua anak itu dalam cuplikan video, dikutip dari NY Post, Jumat (6/12/2024).
"Apa pun tantangan yang kita hadapi, baik itu perubahan iklim, kesehatan mental, atau ketidakadilan sistemik, warisannya dan upaya generasi muda untuk menginspirasi tindakan lebih lanjut di dunia memberikan saya harapan," sambungnya.
Advertisement
Sementara, Pangeran William memuji para penerima penghargaan atas 'kebaikan dan kasih sayang' mereka. "Ibuku… akan sangat bangga padamu... Pada peringatan 25 tahun Diana Award yang istimewa ini, sungguh luar biasa melihat generasi muda dari seluruh dunia mendapat pengakuan," tulis calon raja tersebut.
Dalam acara itu, Laura Abigail Simbolon dari Jakarta mewakili salah satu penerima penghargaan dari Indonesia. Kiprahnya dalam mengelola limbah tekstil untuk mengatasi isu keberlanjutan dan inklusivitas lewat proyek Our Commuknitty mendapat pengakuan.
"Tujuan kami adalah untuk menciptakan ruang yang lebih ramah lingkungan, iklusif dan memingatkan semua orang bahwa semua bisa memiliki kekuatan untuk membuat perubahan," ucapnya dalam bahasa Inggris.
Pegiat Anti-bullying hingga Pendidikan Inklusif
Selain Laura, penerima Diana Award 2024 dari Indonesia lainnya adalah Agus Setiawan. Pendiri platform 'kitakorbanbullying' itu berupaya berkontribusi dalam mengatasi masalah penindasan melalui upaya pribadi dan profesional.
Mengutip laman resmi Diana Award, inisiatif itu dilatarbelakangi pengalamannya sebagai korban perundungan saat SMP. Platform tersebut kini sudah diikuti lebih dari 10 ribu pengikut dan telah memimpin inisiatif yang berdampak pada ribuan orang. Jaringannya telah mengunjungi lebih dari 200 sekolah dan lebih dari 100 sesi online untuk mengajarkan modul pendidikan anti-bullying.
Berikutnya adalah Adriana Viola Miranda. Direktur Regional Asia di ‘Global Health Focus’ (GHF) itu adalah dokter yang mengadvokasi untuk mendobrak hambatan terhadap akses layanan kesehatan. Dia telah memperluas jangkauan GHF ke negara-negara baru, memimpin berbagai kampanye, melatih lebih dari 4.000 pemimpin muda, dan membimbing 50+ siswa di seluruh dunia.
Menyusul di daftar penerima adalah Angelina Letizia Megan Chuadrey. Ia mendirikan ‘Youth Space’, sebuah inisiatif berbasis komunitas yang didedikasikan untuk menjembatani kesenjangan pendidikan di Indonesia. Lewat platform tersebut, ia memimpin berbagai proyek untuk mendukung generasi muda kurang mampu, termasuk menciptakan ruang belajar virtual selama pandemi dan menerbitkan buku anak-anak yang didistribusikan ke 21 panti asuhan.
Advertisement
Advokat Layanan Kesehatan hingga Udara Bersih
Darlene Febrian Simangungkalit juga berada dalam penerima penghargaan berkat proyek Semangat Sehat yang bertujuan untuk mengatasi kesenjangan layanan kesehatan di Indonesia dengan memberikan akses pemeriksaan kesehatan, konsultasi, dan pendidikan kesehatan gratis kepada penduduk daerah kumuh Menteng yang kurang terlayani. Ia termotivasi oleh kekhawatiran kesehatan ibunya.
Darlene juga bermitra dengan laboratorium, dokter, dan organisasi lokal untuk memberikan lebih dari 300 pemeriksaan, 17 jam konsultasi, 10 jam seminar, dan 350 paket sumbangan pengobatan. Dia juga menggelar seminar untuk generasi milenial, yang membahas masalah-masalah seperti kualitas tidur dan citra tubuh. Selain layanan kesehatan jangka pendek, Darlene juga menyediakan sumber daya seperti sphygmomanometer untuk perawatan jangka panjang dan mengatasi stigma seputar pemeriksaan HPV.
Sementara, Kharisa Putri Thampanuwat mendirikan ‘Sabun untuk Indonesia’ pada 2020 untuk meningkatkan kebersihan di komunitas kurang mampu di Indonesia. Hingga saat ini, lewat platformnya, lebih dari 13ribu batang sabun didistribusikan ke daerah kumuh di empat kota, yakni Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Malang.
Beda lagi proyek yang jadi fokus Maxmilian Halim lewat Klinair. Ia ingin mengubah kualitas udara di dalam ruang di sekolah-sekolah kurang sumber daya di Jabodetabek. Terinspirasi oleh kebutuhan untuk memerangi penyakit yang ditularkan melalui udara selama pandemi COVID-19, tim ini mengerahkan sumber daya, mengumpulkan USD7.000 melalui kemitraan perusahaan, untuk memproduksi 90 Kotak Corsi-Rosenthal, yang memberi manfaat bagi hampir 2.700 siswa.
Pegiat Hak Disabilitas hingga Aktivis Sampah
Misia Beatrice Ma juga masuk daftar penerima lewat platfom Capable Crafts. Ia menggandeng ratusan relawan di seluruh Indonesia untuk mendukung anak-anak penyandang disabilitas melalui lokakarya yang mempromosikan terapi seni, pameran, dan inisiatif penggalangan dana.
Upaya Misia telah mengumpulkan dana yang signifikan untuk mendukung berbagai sumber daya bagi yayasan tersebut, dan pendekatannya selalu menekankan inklusi dan menantang stereotip, membuktikan bahwa stigma dan kemiskinan tidak menentukan potensi. Dalam inisiatifnya yang lain, Misia juga berdonasi untuk panti asuhan dan paket makanan untuk para tunawisma.
Selanjutnya adalah Muhamad Rifath Karlian Guna, pendiri idediskusi. Kiprahnya dideskripsikan sebagai 'mengatasi kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan menggabungkan program literasi, penjangkauan digital, dan inisiatif akar rumput'.
Dimulai dengan kampanye di kampus, platform ini berkembang hingga mencakup sesi membaca "idebaca" dan drive buku "berbagiide", dengan mengirimkan buku ke sekolah-sekolah dan panti asuhan yang kurang terlayani. Dengan menjembatani kesenjangan dalam akses terhadap sumber daya dan mendorong dampak komunitas, ‘idediskusi’ telah membuat kemajuan dalam memberdayakan siswa.
Terakhir adalah Nayla Faiza Efendi. Pendiri ‘The Hemisphere Project’ itu fokus pada kelestarian dan pemberdayaan lingkungan. Bermasalah dengan krisis sampah di Indonesia, ia mempelopori inisiatif seperti proyek PLUME dan BLUE, mempromosikan praktik ramah lingkungan dan mendidik lebih dari 30.000 siswa di 53 sekolah di 37 provinsi.
Hemisphere juga mengembangkan inovasi, seperti sensor limbah Hawk Eye dan prototipe kapal pengumpul sampah. Berkolaborasi dengan LSM dan lembaga pemerintah, Nayla telah mengembangkan akses pendidikan lingkungan hidup dan bimbingan secara nasional.
Advertisement