Menyoroti Persepsi Warganet Terhadap Gerakan #KaburAjaDulu

Hasil penelitian Media Survei Nasional (Median) menunjukkan 53,7% responden setuju dengan gerakan #KaburAjaDulu.

oleh Tim Regional Diperbarui 25 Feb 2025, 13:30 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2025, 13:30 WIB
KaburAjaDulu
Hasil penelitian Media Survei Nasional (Median) menunjukkan 53,7% responden setuju dengan gerakan #KaburAjaDulu. (Liputan6.com/ Dok Median)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Tagar #KaburAjaDulu yang viral di media sosial Indonesia menjadi cerminan kekecewaan generasi muda terhadap kondisi sosial-politik dan ekonomi negara. Fenomena ini memicu pertanyaan menarik: bagaimana perbedaan persepsi dan respons antara generasi muda dan generasi tua terhadap tagar tersebut? Meskipun data spesifik yang membandingkan kedua kelompok ini masih terbatas, kita dapat menganalisis tren yang ada dan membuat inferensi berdasarkan informasi yang tersedia.

Generasi muda, yang tumbuh di era globalisasi dengan akses informasi yang luas, cenderung melihat #KaburAjaDulu sebagai simbol perlawanan terhadap berbagai permasalahan, seperti sulitnya mencari pekerjaan, ekonomi yang kurang stabil, dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Mereka mengekspresikan kekecewaan dan harapan untuk menemukan kehidupan yang lebih baik di luar negeri, dengan berbagai respons mulai dari berbagi tips pindah hingga mencari peluang kerja di negara lain.

Sebaliknya, meskipun tidak ada data eksplisit, kita dapat berasumsi bahwa generasi tua memiliki perspektif yang berbeda. Pengalaman hidup yang berbeda, nilai-nilai, dan ikatan yang kuat dengan tanah air mungkin membuat mereka lebih menekankan solusi di dalam negeri dan kurang cenderung meninggalkan Indonesia. Respons mereka kemungkinan lebih beragam, dipengaruhi oleh pengalaman dan pandangan mereka terhadap perubahan sosial.

Perbedaan Persepsi: Pengalaman dan Harapan

Perbedaan persepsi antara generasi muda dan tua terhadap #KaburAjaDulu kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan pengalaman hidup, nilai-nilai, dan harapan. Generasi muda, yang lebih mudah mengakses informasi global dan peluang internasional, mungkin lebih terbuka terhadap pilihan untuk pindah ke luar negeri. Mereka melihat peluang yang lebih besar di negara lain untuk mencapai impian dan cita-cita mereka.

Sementara itu, generasi tua, yang telah membangun kehidupan dan karier di Indonesia, mungkin memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan tanah air. Mereka mungkin lebih berfokus pada upaya memperbaiki kondisi di dalam negeri dan kurang tergoda untuk meninggalkan negara.

Perbedaan ini juga dapat dilihat dari perspektif nilai-nilai. Generasi muda cenderung lebih individualistis dan pragmatis, mencari peluang terbaik untuk diri sendiri tanpa terikat pada tradisi atau nasionalisme yang kaku. Generasi tua, di sisi lain, mungkin lebih menekankan nilai-nilai kolektivisme, nasionalisme, dan mempertahankan tradisi.

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fisipol UGM, Hempri Suyatna, mengatakan bahwa #KaburAjaDulu adalah cerminan sikap kritis generasi muda. Ia melihat tagar ini dari dua sisi: sebagai ungkapan kekecewaan dan juga sebagai potensi peluang jika mereka yang pergi ke luar negeri kelak kembali dan berkontribusi bagi Indonesia.

#KaburAjaDulu: Lebih dari Sekadar Kekecewaan

Ahli Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan, menyatakan bahwa #KaburAjaDulu bukan sekadar ungkapan anti-nasionalisme. Ia melihatnya sebagai bentuk keprihatinan dan kecintaan generasi muda terhadap masa depan Indonesia, dimana mereka mengekspresikan kekecewaan dan harapan perubahan melalui media sosial.

Pendapat ini sejalan dengan pandangan Dr. Hempri Suyatna yang menekankan bahwa tagar tersebut mencerminkan sikap kritis dan sindiran generasi muda terhadap situasi sosial-politik di Indonesia. Ia mencontohkan kekhawatiran akan efisiensi anggaran yang berdampak pada masa depan pendidikan, sehingga mendorong generasi muda untuk mencari peluang di luar negeri.

Oleh karena itu, #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar ungkapan kekecewaan, tetapi juga refleksi atas tantangan dan permasalahan yang dihadapi generasi muda Indonesia. Hal ini menunjukkan perlunya memahami konteks sosial dan politik dalam menafsirkan fenomena di media sosial.

Survei Median

Media Survei Nasional (Median), baru saja merilis hasil penelitian yang menunjukkan respons warganet mengenai dua isu yang sedang hangat belakangan ini, yaitu isu gerakan #KaburAjaDulu dan penangkapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Penelitian yang dilakukan itu menggunakan rancangan non-probability sampling dengan menyebar kuesioner google form di media sosial pada 21-22 Februari 2025, dengan target warganet berusia 17-60+ tahun. Hasilnya terkumpul 518 responden yang tersebar di 30 provinsi.

Dari hasil penelitian tersebut tergambar, sebanyak 85,7% responden warganet mengetahui tentang isu #KaburAjaDulu. Dari yang mengetahui, terlihat 53,7% merasa setuju dengan gerakan tersebut, dan 34,9% tidak setuju, dan 11,4% tidak jawab/tidak tahu. Publik yang setuju gerakan tersebut punya tiga alasan paling kuat, antara lain lapangan kerja sulit (18,3%), pemerintah dianggap kurang peduli rakyat (16,9%), dan mencari kehidupan yang lebih baik (10,8%).

Sedangkan publik yang tidak setuju gerakan Kabur Aja Dulu juga mempunyai tiga alasan paling kuat, antara lain dianggap sebagai sikap tidak bertanggung jawab (18,2%), semua persoalan ada solusinya (13,8%), dan cinta negeri walaupun banyak kekurangan (10,5%). 

Sementara itu, untuk isu penangkapan Hasto Kristiyanto, sebanyak 85,7% responden warganet mengaku mengetahui soal kasus penangkapan Hasto Kristiyanto, sementara 14,3% lainnya tidak mengetahui. Dari warganet yang mengetahui kasus penangkapan Hasto itu, sebanyak 55,8% menganggap penangkapan tersebut murni sebagai langkah hukum, 26,6% lainnya menganggapnya sebagai tekanan politik, dan 17,6% tidak menjawab. 

KPK punya bukti yang kuat (44,6%), menjadi alasan mengapa responden menganggap penangkapan Hasto adalah murni karena langkah hukum. Sedangkan warganet yang menyebut penangkapan Hasto sebagai tekanan politik beralasan karena PDIP adalah partai oposisi (28,3%), selain juga ada alasan konflik PDIP  dan Jokowi. 

Peneliti Senior Median Ade Irfan, Selasa (25/2/2025) mengatakan, penelitian tersebut sengaja dilakukan untuk menangkap persepsi masyarakat di media sosial terkait isu-isu kontemporer yang belakangan terjadi di Indonesia. Ade Irfan sendiri meyakini gerakan demonstrasi 'Indonesia Gelap' yang digaungkan mahasiswa menjadi akumulasi kekecewaan masyarakat terkait kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

"Sebelumnya juga banyak isu beredar termasuk soal kelangkaan gas melon, lalu kabur aja dulu, sampai demo, ini akumulasi," katanya. 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya