Andai Ada Kelas Nun Jauh di Sana

Sepanjang perjalanan, dia harus mewaspadai tebing yang sewaktu-waktu longsor dan jalan tertutup longsoran tanah dan bebatuan.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 23 Jun 2014, 14:51 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2014, 14:51 WIB
Andai Ada Kelas di Nun Jauh
Sepanjang perjalanan, dia harus mewaspadai tebing yang sewaktu-waktu longsor dan jalan tertutup longsoran tanah dan bebatuan.

Liputan6.com, Ende - Untuk mengajar, para SM3T itu harus mengatasi berbagai kesulitan. Mereka harus benar-benar punya daya juang tinggi. Tapi mereka bangga bisa memberikan sumbangsih untuk kemajuan bersama mencerdaskan anak bangsa Indonesia.

Sekop, ya Rokib Vitaya butuh sekop. Dengan sekop itu, sore hari dia membersihkan jalan dari Ratenggoji ke Detuara, Kecamatan Lepembusu Kelisoke, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jika tidak, keesokan hari dia kesulitan mengendarai msepeda otor pinjaman sampai ke sekolah.

Empat bulan sudah alumnus 2010 PGSD Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu jadi guru di SD Katolik di Detuara, 58 km dari Kota Ende, dalam program SM3T. Dia memang tinggal di rumah Mathias Tani di Retenggoji, tak jauh dari Detuara. Namun jika hujan, jalan tak bisa dilalui motor. Dia mesti jalan kaki lebih dari satu jam.

Kalaupun hujan, ia tetap perlu ekstra hati-hati. Sepanjang perjalanan, dia harus mewaspadai tebing yang sewaktu-waktu longsor dan jalan tertutup longsoran tanah dan bebatuan. Jalan dari dan ke Detuara tak beraspal, menanjak, dan berkelok-kelok. Kiri jurang, kanan tebing nyaris tegak dengan batuan rapuh.

Namun bagi lajang kelahiran 1985 asal Brebes, Jawa Tengah, itu, kesulitannya tak seberapa dibandingkan perjuangan sebagian siswanya di kelas V. Ya, siswa dari Datulate dan terutama Birjo harus berlari melalui jalan setapak 10 KM ke sekolah. Mereka berlari, terus berlari, agar tak terlambat. Sebagian mungkin belum sarapan atau cuma mengisi perut dengan setongkol jagung atau ubi bakar.

Mereka dua jam berlari ke sekolah dan jalan kaki tiga-empat jam saat pulang. Namun saat hujan, mereka mangkir. Jalan tak mungkin dilalui karena berubah jadi kali berarus deras. Apalagi sungai pun meluap.

 *Rokib Vitaya, peserta SM-3T 2011 yang menjadi pendidik di SD Katolik di Detuara, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Hujan, Sekolah Libur

Hujan berarti sekolah libur. Lihatlah, ruang berdinding bambu berpapan tulis tunggal untuk kelas II dan III itu. Terpaan angin dan tampias air membasahi para siswa. Dan, bagaimana pula siswa kelas I bisa belajar di bawah guyuran air di bangunan tanpa atap, tanpa dinding itu? Karena itu, Rokib memimpikan di Birjo ada kelas, sehingga para siswa tak perlu ke Detuara.

"Saya siap mendatangi mereka untuk belajar bersama, meski harus berlari ke Birjo," ucap Rokib.

Cara itu, tutur dia, bakal lebih efektif meningkatkan daya serap siswa. Betapa tidak? setelah berlari hampir dua jam, mungkin tanpa sarapan, energi anak terkuras sudah. Siang hari selepas sekolah, mereka mampir ke hutan mencari kayu api. Sampai di rumah pukul 17.00 Wita, badan capek. Tanpa listrik, tanpa buku, bukan perkara mudah bagi mereka untuk belajar, mengulang pelajaran di sekolah.

"Itulah tantangan terbesar bagi saya. Saya mesti mampu meningkatkan daya serap mereka," ucap Rokib.

Caranya? Bukankah baru sepatah dua kata bahasa Lio, bahasa ibu di kawasan itu, yang dia pahami?

"Saya mengulang-ulang pelajaran dengan bahasa tubuh. Cara itu lumayan efektif," ujar Rokib dengan mata berbinar.

Hilanglah Respons Negatif

Dia bangga jadi guru anak anak Detuara, Birjo, dan Datulate karena bisa merasa, meski sedikit sudah memberikan sumbangsih bagi kemajuan bersama. Itu pula perasaan Udin Riyadi. Alumnus 2009 PGSD Unnes itu mengajar di SD Belanggo Desa Likanaka, Wolowaru, yang bermedan lebih sulit lagi.

Atau juga Hidayat Fernando, alumnus 2011 Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Padang (UNP), yang mengajar di SMP Satu Atap Wolooja 3, Wolowaru. Mereka adalah tiga dari 244 orang angkatan pertama program SM3T di Kabupaten Ende, bagian dari 1.599 orang yang tersebar di hampir setiap desa di Provinsi NTT.a

Mula-mula muncul respons negatif. Mahasiswa di Kupang dan Ende demonstrasi menolak kehadiran mereka. Mahasiswa menilai penempatan guru itu permanen, sehingga mengurangi peluang sarjana lokal jadi guru di daerah sendiri.

"Namun setelah kami jelaskan, mahasiswa paham dan bisa menerima. Apalagi ada pula sarjana lokal peserta program ini dan di tempatkan di Manggarai," ujar Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Ende, Yeremias Bore.

Itu pula pendapat David Magnus Diroe, Kepala UPTD PPO Wolowaru, Ende. Dia malah berharap tahun depan pengiriman guru di fokuskan ke SD yang butuh lebih banyak guru sesuai dengan kebutuhan.

"Mereka amat membantu meningkatkan mutu pengajaran. Apalagi jika mereka dikirim sejak awal tahun pelajaran, tentu lebih efektif dan optimal," ujar Magnus.

Selain itu, menurut pendapat Bayu Wijanarko, Koordinator Kabupaten SM3T, perbaikan jalan, listrik masuk desa, dan buku menjadi variabel penentu pula peningkatan mutu pendidikan di kawasan terluar terdepan dan tertinggal tersebut.

Ketiga hal itu memungkinkan para guru, yang nyaris menjadi sumber ilmu satu-satunya bagi para siswa, untuk terus meningkatkan ilmu dan pengetahuan. Dan, peningkatan mutu guru tentu berpengaruh besar terhadap peningkatan kemampuan siswa.

 *Udin Riyadi, peserta SM3T tahun 2011 yang mengajar di SD Belanggo Desa Likanaka, Wolowaru, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Hidayat Fernando, peserta SM3T tahun 2011 yang mengajar di SMP Satu Atap Wolooja 3, Wolowaru, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

 (Advertorial)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya