Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte memandang Presiden SBY masih memiliki kekuasaan besar untuk menjaga demokrasi Indonesia. Salah satunya dengan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada di mana mekanisme pemilihan diwakili DPRD atau tidak langsung.
"Kuncinya di SBY dan pemerintah, mengembalikan semangat demokrasi. Masih ada 2 bulan untuk mewariskan warisan demokrasi. Indonesia dipuji sebagai demokrasinya bebas di Asia Tenggara. Kalau (pemilihan kepala daerah) jadi dikembalikan ke DPRD, SBY runtuhkan legacy (warisan) yang ia bangun," jelas Philips di Jakarta, Rabu (10/9/2014).
Philips juga mengkritisi bila partai-partai politik yang mendukung pemilihan tak langsung itu mengatakan penyelenggara pemilu kurang becus atau dapat terpengaruh politik uang. Ia menilai hal itu disebabkan pula oleh kandidat partai politik yang haus kekuasaan.
"Dari argumen partai yang ingin kembalikan pilkada ke DPRD seolah-olah masalah di KPUD. Mereka lupa yang jadi masalah itu parpol. Siapa yang beli dan ubah suara? Ya itu mereka. Bahwa parpol itu masalah penyelenggaraan pemilu," tegas dia.
Sementara itu, Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu Jojo Rohi menambahkan pemilu tidak langsung dianggap sesuai sila ke-4 Pancasila, kurang relevan. Malah hal itu menunjukkan tidak adanya konsistensi dalam tafsir peraturan.
"Dibilang bertentangan dengan sila ke-4 (Pancasila), ada bagian 'permusyawaratan dalam perwakilan', tapi seharusnya tidak memberangus hak konstitusi warga negara," terang Jojo.
"Noken itu bentuk paling murni, seorang pejabat harus dimusyawarahkan dan dipilih wakilnya. Tidak konsisten ketika landasan itu didasarkan sila ke-4 dan ditolaknya proses Noken," tandas Jojo.
Baca juga:
Ketua KPU: Pilkada Oleh DPRD, Masyarakat Bisa Jihad ke MK
KPK: Pilkada Lewat DPRD Timbulkan Korupsi Demokrasi
Din Syamsuddin: Jangan Ada Perasaan Dendam Putuskan RUU Pilkada