Kisah Tim DVI Menguak Identitas Korban Pesawat Jatuh

Tim DVI Indonesia punya pengalaman segudang. Mulai identifikasi korban Bom Bali I, tsunami Aceh, jatuhnya Sukhoi dan MH17 hingga QZ8501.

oleh Liputan6 diperbarui 04 Jan 2015, 02:25 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2015, 02:25 WIB
Kisah Tim DVI Menguak Korban Pesawat Jatuh
Tim DVI Indonesia punya pengalaman segudang. Mulai identifikasi korban Bom Bali I, tsunami Aceh, jatuhnya Sukhoi dan MH17 hingga QZ8501. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Bencana kerap menghampiri Indonesia. Baik itu bencana alam, kecelakaan kapal laut, musibah kebakaran maupun pesawat jatuh. Jatuhnya korban jiwa terlebih dengan jumlah korban yang besar tentu saja harus mendapat penanganan secara efektif, terutama untuk mengidentifikasi korban.

Tugas itulah yang diemban Tim Disaster Victim Identification. DVI adalah suatu prosedur standar yang dikembangkan Interpol (International Criminal Police Organization) untuk mengidentifikasi korban yang meninggal akibat bencana massal. Dan sejauh ini Tim DVI Indonesia telah membantu mengidentifikasi korban berbagai bencana massal. Mulai peristiwa Bom Bali I dan II (12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005), jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat (9 Mei 2012) hingga menangani kasus penembakan pesawat MH17 di Ukraina (17 Juli 2014)

Boleh dikatakan, indikator kesuksesan suatu proses DVI bukan didasarkan pada cepat tidaknya proses tersebut berlangsung, melainkan lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Namun di Indonesia, tahapan DVI terkadang menemui kendala. Misalnya mengumpulkan data antemortem (ciri-ciri fisik korban sebelum meninggal dunia) yang di antaranya meliputi sidik jari dan rekam medis.

Saat ini Tim DVI Polri pun menemui kesulitan dalam proses identifikasi jasad penumpang pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan Selat Karimata pada Minggu pagi 28 Desember 2014. Pencarian dan evakuasi memasuki hari ke-7. DVI Polri pun berpacu dengan waktu terhadap proses pembusukan jenazah penumpang. Mengingat, proses pembusukan jenazah akan menyulitkan pengidentifikasian jenazah.

Kendala seperti itu dikuak pula Tim DVI Markas Besar Polri saat menyambangi Kantor Redaksi Liputan6.com di Jakarta, beberapa waktu lalu. Berikut petikan penuturan 3 anggota Tim DVI, dokter patologi forensik AKBP Sumy Hastry Purwanti, ahli odontologi forensik AKBP drg Ahmad Fauzi, dan ahli DNA AKBP drg Lisda Cancer.

Masyarakat belum banyak yang mengetahui apa sebenarnya DVI?

DVI singkatan dari Disaster Victim Identification. Suatu metode untuk mengidentifikasi korban bencana yang meninggal dalam jumlah besar.

Seperti di film CSI (serial thriller Amerika Serikat, CSI: Crime Scene Investigation) yang mengidentifikasi tubuh korban?

Tujuannya memang untuk mengidentifikasi.

Lalu tugas DVI apa saja?

Tugas DVI ada 5 fase, fase 1 di TKP (tempat kejadian perkara), fase 2 di postmortem, fase 3 antemortem, fase 4 rekonsiliasi, fase 5 debriefing (analisa dan evaluasi).

Ada bagian khusus di DVI sendiri?

Dalam setiap fase DVI ada ahlinya masing-masing. Kami biasanya bekerja di fase 2, yaitu bekerjanya di kamar jenazah. Di kamar jenazah yang bekerja adalah ahli-ahli seperti dokter Hastry patologi forensik, kemudian dr fauzi ordontologi forensik yang mengindentifikasi melalui gigi, dan dokter Lizda di DNA.

Adanya DVI di Indonesia sejak kapan?

Sejak tragedi Bom Bali I 2002. Dan kami mulai bergabung dengan pusat DVI nasional tahun 2003.

Supermarket Bencana >>>

Supermarket Bencana

Pendaratan 2 Jenazah AirAsia di Pangkalan Bun
Tim SAR saat membawa jenazah penumpang AirAsia QZ8501 dari helikopter, Pangkalan Bun, Kalteng, Kamis (1/1/2015). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Supermarket Bencana

Sudah ada berapa kasus yang ditangani DVI?

Kalau dihitung-hitung cukup banyak. (Apalagi) Indonesia dikenal sebagai 'supermarket bencana'. Jadi ketika ada bencana di mana pun kami terlibat. Yang besar mungkin Bom Bali I dan II (2002 dan 2005). Kemudian tsunami Aceh (2004), gempa Padang (2009), Sukhoi (2012). Kami juga sempat ke luar negeri, penanganan MH17 (2014) dan forest fire (kebakaran hutan) di Victoria, Australia tahun 2009.



Bagaimana cara mengidentifikasi jenazah dengan bagian tubuh terpisah atau terbakar karena bom?

Dalam proses DVI, kami melakukan 2 metode, yaitu primer dan sekunder. Dalam metode primer itu kami menggunakan alat pengidentifikasi. Di primer yang pertama adalah sidik jari. Kedua dental record (rekam medis gigi) dan ketiga DNA (asam deoksiribonukleat). Untuk yang sekunder memerlukan data-data medis dan juga properti (benda atau barang yang dikenakan korban). Jadi kami membandingkan data-data tersebut.

Bagaimana korban terbakar dan tidak bisa diidentifikasi dengan sidik jari?

Umumnya untuk kasus yang terbakar, gigi yang dominan. Karena gigi bagian tubuh yang paling keras dan dalam kondisi tertentu gigi masih utuh. Mungkin kalau sidik jari sudah tidak bisa digunakan atau rusak dan DNA sulit. Sedangkan gigi cukup tahan terhadap panas. Jadi selama ini ketika kami menemukan korban terbakar, giginya masih utuh.

Cara mencocokkan data korban dengan anggota keluarga bagaimana?

Tentunya kalau kami menggunakan metode gigi kita membutuhkan data antemortem berupa dental record (rekam medis gigi) yang kita dapat biasanya dari dokter gigi korban , atau dokter gigi langganan. Kesulitannya adalah kalau korban tidak pernah ke dokter gigi atau tidak ada dental record, atau korban pernah ke dokter gigi tapi keluarga tidak tahu. Sebaiknya kalau kita ke dokter gigi keluarga juga tahu. Jadi ketika kita butuh data itu, kita bisa lacak ke dokter gigi tersebut.

Apa pentingnya identifikasi forensik?

DVI sangat mutlak dibutuhkan karena untuk kepentingan investigasi. Apalagi kami sebagai anggota Polri, kepentingan penyidikan itu yang lebih utama. Selain itu HAM (hak asasi manusia) juga yang meninggal wajib diidentifikasi. Baru kita memikirkan tentang hukum menyangkut asuransi, warisan, dan status pernikahan. Dan dampaknya luas sekali bagi kita dan masyarakat. Lebih baik kami bekerja dengan hati-hati dan jangan sampai tergesa-gesa untuk mengidentifikasi.

Lebih Terkenal di Luar Negeri >>>

Lebih Terkenal di Luar Negeri

12 Jenazah Korban Pesawat AirAsia QZ8501 Tiba Di Surabaya
Tim SAR gabungan kembali menerima 12 jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501 di Lanud TNI AL Juanda, Surabaya, Sabtu (3/1/2015). Total sudah 30 jenazah yang ditangani tim DVI di RS Bhayangkara Polda Jatim hingga Sabtu (3/1/2015). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Lebih Terkenal di Luar Negeri

DVI pernah dikirim ke luar negeri karena ada jenazah Indonesia atau mereka memang butuh DVI Indonesia?

Memang DVI Indonesia lebih terkenal di luar negeri. Setiap tahun juga kami diundang pertemuan Interpol di Lyon, Prancis. Dan kami presentasi tentang kasus di Indonesia dan otomatis ada bencana jatuhnya MH17 bahkan ada warga kita. Kami di-invite (diundang) dan kami sanggup ke sana dengan izin dari pemerintah, jadi kami ke sana.



Pengalaman Tim DVI Indonesia yang paling menantang?

Setiap kasus menantang karena punya kekhususan masing-masing. Dan bencana itu tidak hanya pesawat jatuh. Kapal tenggelam, kebakaran, (kecelakaan) kereta api itu sudah termasuk bencana, butuh metode DVI.

Pengalaman waktu ikut operasi DVI di Australia, di Victoria pada tahun 2009. Pada saat itu ada kebakaran hutan. Dan kami jadi tim DVI pertama yang diundang, maksudnya kami baru pertama kali ke sana untuk bergabung dengan tim-tim internasional di sana. Selain ke TKP yang sangat luas, suhu masih sangat panas, apinya baru padam. Kemudian kita bekerja sama dengan tim internasional yang notabenenya bahasanya bahasa Inggris, ada bahasa Belanda.

Kasus Paling Menantang

Mungkin kalau menantang kasus (jatuhnya pesawat) Sukhoi (di Gunung Salak, Bogor tahun 2012). TKP-nya cukup sulit. Jadi kemungkinan kami tidak bisa ke sana, jadi minta bantuan tim lain yang punya kemampuan ke sana.

Dan kesulitan tim lain itu tidak mengerti olah TKP DVI. Jadi ketika jenazah dibawa ke rumah sakit itu sulit karena tercampur. Harusnya kan 1 tubuh 1 kantong, tapi ini di satu kantong, tercampur-campur jadi kesulitan di kamar mayat.

Kasus-kasus yang lain mungkin kesulitan juga mencari data antemortem, di mana rata-rata warga negara Indonesia data giginya belum terekam dengan baik. Seperti misalnya mereka ke puskesmas. Di puskesmas juga pendataannya kurang optimal, kalau di luar negeri kendala di bahasa. Kebetulan kami yang dikirim ke sana pernah kuliah di luar negeri, sehingga otomatis bahasa tidak begitu menjadi masalah.

Peralatan yang dimiliki DVI Indonesia sama dengan yang di luar?

Peralatan kita standar internasional. Seperti (alat uji) DNA kami cukup baik, odontologi juga cukup baik. Saat di MH17 (Ukraina) alat gigi yang kami bawa juga cukup canggih.

Menurut kami, DVI Indonesia tidak kalah dengan luar negeri. Dari segi skill, knowledge, pengalaman, dan lain-lain.

Ada pengalaman mistis?

Banyak. Ya seperti terkunci di kamar jenazah, tertidur di samping jenazah. Dimimpikan jenazah (justru) jadi petunjuk kalau memang misalnya jenazah seorang wanita, tinggal di mana, punya anak berapa biasanya hadir di mimpi, sebagai petunjuk. Mungkin saking seringnya bersentuhan dengan jenazah jadi kayak insting, jadi kayak teman. Kalau tidak terungkap jadi sakit tidak asa tenangnya, ke bawa mimpi.

Identifikasi dan Pengakuan Internasional >>>

Identifikasi dan Pengakuan Internasional

Tim DVI Kumpulkan Data Antemorten Penumpang AirAsia QZ8501
Tim Disaster Victim Indentification (DVI) melakukan pengumpulan data antemortem di Posko DVI, Bandara Juanda, Surabaya, Rabu (31/12/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)


Identifikasi dan Pengakuan Internasional

Untuk identifikasi korban berapa lama?

Kalau waktu memang tidak bisa ditentukan. Biasanya rata-rata 2 minggu sampai 2 bulan, tergantung kasus. Tapi kalau MH17 kemarin pemeriksaan di kamar jenazah selesai dalam waktu 1 bulan, tapi setelahnya di DNA-nya itu yang lama. Seperti di Australia (kebakaran hutan) sampai 3 bulan. Kalau Sukhoi (pesawat jatuh di Gunung Salak, Bogor) kami butuh 2 minggu. Dan di Indonesia memang beda. Kalau belum selesai kita tidak boleh pulang, harus di situ sampai selesai, perintah atasan.

Apa bedanya dengan luar negeri?

Di luar mereka disiplin waktu memang dan ada hitungannya sendiri...Kalau di Indonesia tergantung perintah.



Dalam beberapa kasus berbeda, kondisi tubuh jenazah berbeda. Ada cara berbeda untuk identifikasi?

Sebetulnya sebagai dokter forensik, apa pun kasusnya itu tetap kami periksa. Pertama, sebelum periksa ke bagian odontologi (identifikasi pemeriksaan gigi) dan sampel DNA, kami periksa dulu apakah betul bagian tubuh tersebut atau seluruh tampak tubuh itu betul tubuh manusia...Barulah odontologinya dan ahli DNA mengambil sampel masing-masing bagian tubuh.

Itu kalau korban terbakar. Kalau penanganan korban di kapal atau tenggelam, seperti apa?

Cepat, setelah hari kedua ketiga, apalagi di laut (pembusukan jasad korban lebih cepat). Dan penanganan korban sama semua tampaknya.

Pengakuan Internasional

Sampai saat ini negara mana saja yang sudah meminta bantuan DVI Indonesia?

Kemarin Australia (kebakaran hutan di Victoria), MH17 (pesawat ditembak jatuh di Ukraina) juga. DVI bisa dibilang salah satu yang terbaik di dunia. Kami juga tim pengajar kelas internasional DVI, peserta dari berbagai negara Asia-Pasifik. Dan kami tim instrukturnya

DVI Indonesia dipertimbangkan di mata dunia, apa yang membuat jadi seperti itu?

Kami kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas.

(Ans)

Simak video lengkapnya di tautan ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya