Liputan6.com, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama akademisi dan aktivis anti-hukuman mati menyayangkan sikap pemerintah yang bersikukuh akan melaksanakan eksekusi mati gelombang II dalam waktu dekat.
Kepala Divisi Pembelaan Hak-hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia menyatakan, pemerintah tidak belajar dari eksekusi mati gelombang pertama yang sarat akan kekeliruan. Bahkan, dalam kasus 10 terpidana mati ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengabaikan sejumlah fakta yang membuktikan bahwa para terdakwa telah melalui proses hukum yang tidak fair dan cacat hukum.
"Bagaimana tidak, Mary Jane tidak bisa bahasa Inggris. Dia hanya bisa bahasa Tagalog, tapi di persidangan pertama dia hanya diberikan penterjemah bahasa Inggris," ujar Putri di kantor Kontras, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (24/4/2015).
Hal yang sama juga terjadi kepada terpidana mati asal Brasil Rodrigo Gularte. Menurutnya, Rodrigo hanya bisa bahasa Portugis, tapi dia diberikan pendamping penterjemah bahasa Inggris dalam persidangan.
"Saya fikir itu salah satu alasan cacat hukum yang bisa membatalkan proses hukum yang tengah terjadi pada terpidana tersebut," lanjut dia.
Selain itu, Rodrigo juga menderita masalah kejiwaan skezofrenia disorder dan bipolar psikopatik. Jika tetap dieksekusi mati maka Kontras menilai hal itu cacat hukum. Karena dalam hukum internasional disebutkan bahwa hukuman mati tidak dapat dilakukan kepada penderita sakit kejiwaan.
Persoalan lain juga terkait terlambatnya pemerintah memberikan penasehat hukum kepada sejumlah terpidana.
"Nah saya fikir hal-hal itu yang selama ini tidak pernah terungkap. Selama ini yang muncul hanya soal drug yang bisa membunuh warga Indonesia. Tapi tidak pernah muncul bahwa mereka (terpidana mati) diadili dengan proses hukum yang tidak benar dan berakibat fatal terhadap nyawa seseorang," jelas Putri.
Terkait eksekusi mati dalam waktu dekat ini, Putri menilai pemerintah sengaja memprosesnya dengan cepat karena banyak pihak yang melihat adanya indikasi cacat hukum. Sehingga dengan dieksekusinya 10 terpidana mati itu, ruang koreksi untuk pemerintah akan tertutup.
"Saya pikir ini sangat cepat. Rencananya baru kemarin, kemudian kedutaan sudah diminta merapat. Saya dengar Mary Jane sudah dipindah ke sel isolasi Nusakambangan. Jangan-jangan ini sengaja dipercepat oleh Kejaksaan karena banyak yang membicarakan proses peradilan yang tidak fair. Sehingga dengan segera dieksekusinya 10 terpidana tersebut, ruang koreksi pemerintah dalam hal ini Kejaksaan akan tertutup," pungkas dia. (Hnz/Ali)
Alasan Kontras Anggap Eksekusi Mati Tahap II Cacat Hukum
Persoalan lain juga terkait terlambatnya pemerintah memberikan penasehat hukum kepada sejumlah terpidana.
diperbarui 24 Apr 2015, 22:15 WIBDiterbitkan 24 Apr 2015, 22:15 WIB
Advertisement
Video Pilihan Hari Ini
Video Terkini
powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Hati-hati Penipuan, BP3MI Kepri Imbau Warga Tak Tergiur Tawaran Kerja dengan Gaji Besar di Kamboja
10 Film Indonesia yang Masuk Jajaran 30 Best ASEAN Films of 2024 Versi Asian Movie Pulse
Top 3 Berita Bola: Manchester United Dapat Tawaran Barter Pemain yang Sadis dari Barcelona
OJK Gencar Awasi BPR/BPRS, Biar Gak Gulung Tikar
6 Pasangan Artis Ini Putus Cinta di 2024, Ada yang Sudah Temukan Pengganti Baru
Didorong Artificial Intelligence (AI), Saham Magnificent Seven Bakal Terus Moncer di 2025
VIDEO: Libur Nataru, Kawasan Wisata Kuta Bali Macet Parah
Angelina Sondakh Umrah Pertama Kali Bareng Keanu Massaid, Berharap Bawa Perubahan Positif
Berapa Hari Lagi Tahun 2025? Ternyata Bertepatan dengan 1 Rajab 1446 H
Lewis Hamilton Berpotensi Bantu KTM Keluar dari Masalah Keuangan Agar Bisa Tampil di MotoGP 2025
Kebugaran Alex Rins Jadi Faktor Penting bagi Yamaha untuk bangkit di MotoGP 2025
Putin Minta Maaf atas Insiden Jatuhnya Pesawat Azerbaijan di Kazakhstan